Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta). UDARANYA bersih, segar. Hawanya sejuk. Tanahnya rimbun oleh pepohonan. Beberapa bagian dari konturnya masih berupa hutan, lembah, dan ngarai. Pada ketinggian tertentu, jurang menganga, topografi khas daerah pegunungan. Suara tonggeret bersahutan memecah sunyi.
Saya dan Kiai Miftah. Foto koleksi Kiai Miftah Pada Sabtu 10 Februari kemarin, di atas Commuterline, kami bertemu. Saya senang sekali. Sesederhana itu bahagia menyeruak. Cukup dengan bertemu setelah hampir tiga puluh tiga tahun tak bersua. Terasa betul, pertemuan yang tidak direncanakan, bahagianya autentik. Tidak semua perjumpaan sama hangatnya, sama bahagianya. Tidak. Boleh jadi karena sepanjang pengalaman bergaul, ada wisdom di sana meski seberat butiran debu. Sebaliknya, mungkin saja ada perjumpaan yang tidak pernah diharap-harap meski sudah berhadapan muka. Itu karena, boleh jadi ada unwish di masa yang lalu. Saya sudah mengenali saat kali pertama bersitatap di Commuterline itu. Seulas senyum saya berikan. Tapi, dia belum merespons. Tidak mengapa pikir saya, asalkan dia masih menyimpan wisdom , dia pasti mengenali. Mungkin karena perubahan fisik dan umur, atau karena takut salah orang, dia bergeming dalam acuh. Memang, waktu kerap menjadikan gerak respons melambat perlahan, apa