Allahuyarham Abdul Latief Rahmani Meskipun kamu tidak membaca surat perpisahan ini, semoga doa-doa ayah sampai kepadamu. Kamu panggil aku dan istriku “ayah” dan “bunda”. Tidak mengapa, Nak. Ayah senang. Begitu juga Bunda. Sungguh kami akan merindukan lagi dipanggil demikian. Tapi, rindu tinggallah rindu, sebab suaramu tak akan lagi menyapa kami. Ada sekat yang memisah kita, antara barzakhmu yang tenang setenang telaga bening, dengan dunia kami yang hiruk pikuk dan bising. 24 tahun silam, kamu lahir di lantai semen rumah kakek dan nenekmu. Rumah sederhana keluarga kita, tempat ayah merasakan manis dan pahit bersama empat saudara kandung ayah dibesarkan. Begitu banyaknya, ayah tak bisa menghitung, apakah manisnya yang sedikit, ataukah pahitnya yang banyak. Tapi itu tidak penting. Sebab, seberapa banyak dan sedikitnya pahit dan manisnya kehidupan kami, selalu ada yang bisa kami banggakan. Bolehlah sedikit kamu tahu, orang bebas menilai kita orang tak berpunya, tapi ayah dan mamakmu, sert