Rumah Literasi

  • Artikel
  • Cerpen
  • Esai
  • Novel Online
  • Sejarah Islam
  • Warisan Literasi
    • Kiai Kocak
    • Biografi
    • Novel
    • Buku
    • Komik
  • Tentang Saya
Enaknya punya Teman Ngopi seorang pejabat. Ilustrasi Generate Gemini.


Di dalam KBBI, teman/te·man/ n bisa berarti: 1 kawan; sahabat: 2 orang yang bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan); lawan (bercakap-cakap): 3 yang menjadi pelengkap (pasangan) atau yang dipakai (dimakan dan sebagainya) bersama-sama.

Ngopi tidak saya temukan penjelasannya di kamus. Yang ada mengopi/me·ngo·pi/ v minum kopi.

Jadi, Teman Ngopi itu apa artinya? Ya, ribet, ‘gak ada di KBBI soalnya. Namun, arti ngopi sendiri masih bisa dilacak di kamus lain, yaitu KBPS; Kamus Besar Perasaan Saya. Maksudnya, saya rasa, Teman Ngopi bisa diartikan sebagai orang yang sering duduk bersama-sama untuk minum kopi.

Ada makna baru dari frasa Teman Ngopi ini. Dan, sepertinya ia sudah jadi semacam metodologi. Kira-kira dua tahun ke belakang lah, saat frasa ini sering diucapkan oleh orang yang sering nongkrong dengan Teman Ngopi. Maknanya pun lebih spesifik sebagai cara atau pendekatan kepada orang yang kerap duduk bersama-sama minum kopi untuk sama-sama membicarakan hal penting.

Ada pesan penting yang tersembunyi di balik frasa Teman Ngopi di sini. Jadi, apa pun masalah yang sedang dihadapi lembaga, sekrusial apa pun masalah itu, jalan keluarnya adalah Teman Ngopi. Makanya, ia jadi semacam problem-solving methodology.

Namun, ada makna tersembunyi di balik frasa Teman Ngopi. Makna itu sangat halus, halus sekali. Sudahlah halus, tersembunyi pula dia. Karena itu, ia hanya bisa dirasa oleh orang yang sanggup membaca konteks atau rahasia di balik realitas seperti Hamdani Firman. Makna apa itu? Pertama, makna arogansi. Seolah, di tangannya semua masalah bisa selesai hanya dengan lobi kepada pejabat Teman Ngopi.

Kedua, bermakna good relationship. Menunjukkan bahwa ia orang hebat yang luas jaringan, punya koneksi, dan banyak relasi. Jadi, frasa Teman Ngopi itu semacam ajang untuk menunjukkan bahwa ia dikenal banyak kalangan di lingkungan pejabat. Untuk sekadar mengundang mereka jadi pembicara saja, cukup diundang melalui pesan What'sApp, selesai urusan.

Kasus sebuah lembaga di negara Konoha boleh jadi relevan untuk diangkat sebagai permisalan. Satu kali, lembaga di negara Konoha itu dirundung problem. Ruwet! Ruwet! Ruwet! Para pejabat berembuk mencari solusi. Buntu.

Namun, di saat semuanya menemui jalan buntu itu, salah seorang dari mereka nyeletuk.

“Siapa pejabat di bagian itu?”

“Bapak Fulan bin Fulan, Pak.”

“Lah, itu mah, Temen Ngopi saya!”

Byar! Semua lega. Wajah-wajah yang tadinya kusut masai berubah semringah.

Dua hari kemudian, wajah yang tadinya semringah kembali lagi kusut masai. Sebab, ternyata ada keliru analisis. Pada saat audiensi, ternyata pejabat itu bukan Teman Ngopi, melainkan Teman Mancing. Memang, Teman Ngopi dan Teman Mancing beda-beda tipis. Masalahnya lagi, Teman Mancing itu masih marahan gara-gara joran pancingnya dibikin patah.

Bila patah joran itu karena menahan tarikan cupang babon, mungkin pejabat itu memaafkan. Lha, ini patah gara-gara digunakan buat menggebuk kecoa. Saking takut dan panik, tak sadar dia gunakan joran Teman Mancing-nya itu buat menggebuk.

Apes memang pejabat di lembaga negara Konoha ini, kecoanya nggak mati, joran patah dua. Lebih apes lagi, ternyata, setelah ditegesin kecoanya kecoa mainan dari bahan karet. Sejak itulah Teman Mancing ini belum mau berdamai.

“Sama kecoa karet aja Bapak takut! Pejabat apaan, itu!” Hardik Teman Mancing sambil memandangi jorannya.

“Habis, mirip kecoa banget, Pak.” Jawab si pejabat lembaga.

“Diem, lu! Jawab aja!” 

Seminggu kemudian, lembaga itu disegel. Padahal, semua sumber daya sudah dikerahkan. Dari Teman Ngopi, Teman Mancing, sampai Teman Ngarit sudah dilobi. Ya, mau bagaimana lagi, ternyata Teman Ngopi, Teman Mancing, dan Teman Ngarit berbeda kubu dengan pejabat lembaga di negara Konoha.

Sekarang, semua pejabat lembaga di negara Konoha itu berpikir rasional. Pelan-pelan mereka sadar, bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan Teman Ngopi. Akan tetapi, memilih ikut barisan sama-sama berdiri pada Legal Standing yang tepat karena sudah tercerahkan.

Tahniah.

Begitulah Hikayat Teman Ngopi yang tertukar.


Depok, 30 November 2025.
Sesapan terakhir ngopi tengah malam. Pahit, tapi kaya relaksasi.

 

Dummy buku biografi Mualim Awab.


BUKU saya, “Matahari Terbit di Kampung Kami” dituding memuat poin-poin kesalahan oleh penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok (1952-1982) Asal-usul, Tantangan, dan Pengembangan”. Tudingan itu—lebih tepatnya asumsi—bahkan dilontarkan langsung kepada saya. “Ini salah fatal,” begitu katanya.

Baiklah.

Rupanya, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” bukan saja sekadar menginventarisir poin-poin “salah fatal” dari buku saya itu. Penulis ini juga rajin sekali mewacanakan tudingan kesalahan-kesalahan itu kepada beberapa orang. Saya tahu dari informasi yang sampai kepada saya. Misalnya, saat pengajian Subuh di Masjid Nur Hidayat, Kekupu, kesalahan-kesalahan itu dibeberkan di hadapan Ketua PDM Kota Depok.

Informasi berikutnya saya dapat dari salah seorang ahli waris Mualim Awab. Saya memang sedang dekat dengan salah satu dari ahli waris Mualim Awab sejak mendapat izin menulis biografi beliau pada Desember tahun lalu. Entah dapat kabar dari siapa penulis ini tahu bahwa saya menulis biografi tokoh pembaru di Rawadenok ini. Rupanya, kepada ahli waris Mualim Awab ini, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” juga menyampaikan tudingan poin-poin kesalahan seperti yang disampaikannya kepada Ketua PDM Depok. Maka, saat ia tahu biografi itu saya yang menulis, ia berkata, “Buku yang kemarin saja banyak yang salah!” Pahit, sih rasanya di-jugde begitu. Tapi, ya ditelan saja.

Sebab sudah terlatih menikmati sesapan kopi pahit favorit pendamping menulis, sepahit apa pun tudingan itu, rasanya ia memang lebih pahit dari kopi saya. Pahitnya kopi saya hanya sampai di lidah, tak sampai turun ke hati. Lidah memang tajam, lebih tajam dari sembilu. Maka, pahitnya kena sayatan lidah, pahitnya bertahan lama untuk dilupakan.

Ada alasan lain mengapa sebetulnya saya malas menanggapi tudingan “salah fatal” itu. Pertama, satu poin tudingan “salah fatal” yakni soal H. Nipan tidak bisa dibuktikan. Sebab, setelah dalam satu kesempatan penulis ini saya pertemukan dengan narasumber saya untuk menjelaskan sosok H. Nipan ini, malah penulis inilah yang “salah fatal”. H. Nipan yang dimaksud narasumber saya, berbeda dengan Nipan yang dimaksud penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” Salah orang ternyata penulis ini. Ini seperti “Jaka Sembung naik ojek, kagak nyambung, Jek!”

Lebih detail tentang jawaban saya tentang H. Nipan dan dua poin lain jawaban saya, silakan baca di sini:

https://www.adung.my.id/2025/05/h-nipan-dan-h-saprin-sorotan-tajam-buku.html

https://www.adung.my.id/2025/05/1961-sorotan-tajam-buku-matahari-terbit.html

https://www.adung.my.id/2025/05/muhasim-dan-gerakan-tani-sorotan-tajam.html

Kedua, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” setahu saya bukan penulis—dalam arti orang yang sejak muda memang giat menulis buku serta bukunya beredar di pasaran—melainkan ia hanya terbiasa menulis laporan rapat, notulen, atau urusan surat menyurat. Sejak muda, ia banyak mengisi posisi sebagai sekretaris, terutama di Muhammadiyah. Maka, menjadi maklum bila komposisi bahasa “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” terasa kaku dan menjemukan. 

Isi “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” memang penting, pake banget, penting banget. Akan tetapi, karena tidak disajikan dalam gaya penulisan yang apik seperti umumnya buku-buku sejarah yang ditulis oleh penulis yang paham bagaimana teknik menulis yang baik, maka “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” kurang sedap dibaca, kaku, dan kurang menarik. Redaksinya lebih cocok disebut laporan hasil notulen rapat, bukan buku sejarah.

Di mana-mana, orang malas membaca buku sejarah karena sejarah itu membosankan—kecuali para peminat sejarah untuk keperluan riset atau guru sejarah yang mau tidak mau harus membaca buku sumber sebelum mengajar. Selebihnya, buku sejarah jarang dibaca orang. Apalagi buku sejarah yang disajikan dengan bahasa kaku, kering dari background, korelasi yang kurang kuat antar satu peristiwa dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya, dan miskin dari unsur cita rasa bahasa yang menarik karena keterbatasan kosakata penulisnya. Buku sejarah seperti ini, jangankan dibaca orang, dilirik saja tidak. Sudahlah kebanyakan orang malas membaca buku sejarah karena ia membosankan, apatah lagi buku sejarah yang ditulis macam laporan yang kering dari estetika bahasa. 

Ketiga, tadinya, saya enggan menanggapi lagi sebab tanggapan sudah pernah saya tulis. Tapi, kok penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini makin berisik ngomongin penilaian“salah fatal” itu kepada beberapa orang. Terlebih, draft buku Biografi Mualim Awab pun disangkutpautkan dengan buku saya sebelumnya sebagai bahan menimbang kualitas draft tersebut. 

Sebelumnya, saya sudah titip pesan kepada komunikator salah seorang ahli waris, cukuplah hanya ahli waris saja dulu yang tahu supaya saya bisa konsentrasi menyelesaikan naskah ini. Tapi, ya sudahlah. Kadung sudah ada orang lain yang tahu, biarlah. Lagi pula, draft biografi ini sudah rampung. Dan sekalian saja saya promosikan di sini.

Tapi rupanya, karakter penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini memang segalanya ingin tahu dan ingin mengomentari apa saja, bahkan pada hal yang belum ia tahu. Misalnya, saat tahu biografi yang saya tulis berdurasi 540-an halaman, responnya cukup menggelikan. Katanya, bukunya saja yang membahas sejarah Muhammadiyah Depok sepanjang 30 tahun hanya 150 halaman. Lah, meraba fisik draft biografi saya saja belum, sudah membandingkan dengan setipis level “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” Aduh, ini sama saja menelanjangi diri sendiri sebagai penulis yang tidak mengerti anatomi sebuah buku.

Di samping itu, ada yang membuat saya bertanya-tanya. Sudahlah menyatakan: “Buku yang kemarin saja banyak yang salah!” Namun, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini berkali-kali menelpon salah seorang ahli waris Mualim Awab meminta draft buku ini. Untuk apa?

Jadilah saya menaruh “buruk sangka”. Kalau bukan untuk mengorek sesuatu yang dipandangnya salah dari draft biografi itu, apa lagi coba? Feeling saya berkata, boleh jadi karena ada konflik yang diketahui penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” dari perjalanan hidup Mualim Awab yang paling pahit sepanjang Mualim Awab bergelut di Persyarikatan yang sebaiknya tidak boleh banyak orang tahu, maka, ia merasa perlu buru-buru membaca draftnya. Namun, boleh jadi feeling saya salah. Semoga memang feeling saya salah.

Akan tetapi lebih dari itu, katakanlah, asalkan poin tudingan “salah fatal” yang ditunjukkan itu nantinya bisa diuji, dan ternyata ia benar, it’s okay. Sebagai penulisnya, saya tidak keberatan mengakui dan akan merevisi. Namun, bila ternyata tudingan “salah fatal” itu malah berbalik, mau disikapi bagaimana lagi tudingan itu selain saya anggap saja sebagai angin lalu.

Baik. Saya akan beralih pada poin yang masih berhubungan dengan topik ini. Saya mulai dari hal sederhana, soal diksi (pilihan kata) “fatal”.

Saya belum bosan belajar menulis, termasuk belajar diksi. Bila merujuk kamus, fatal/fa·tal/ artinya 1 mematikan; 2 tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan); dan 3 menerima nasib (tidak dapat diubah lagi); celaka.

Ini arti dasar “fatal” menurut kamus.

Dari tiga arti di atas, arti kedua; “tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan)” mungkin bisa dipaksakan untuk dipakai memahami tudingan “salah fatal” atas buku saya; “Matahari Terbit di Kampung Kami.”

Mengapa saya sebut diksi “fatal” itu dipaksakan untuk dipakai memahami tudingan atas buku saya? Ya, karena kesalahan pada buku—baik typo, kesalahan data, informasi, atau kesalahan redaksi—bukan kesalahan fatal. Sebab, ia masih bisa diperbaiki sepanjang ada proses “revisi”. Rasa-rasanya, penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” tidak paham penggunaan diksi “fatal”, baik dalam ucapan maupun tulisan.

Saya beri contoh penggunaan diksi “fatal” yang tepat dan tidak tepat dalam kalimat supaya tambah jelas.

Contoh 1:

Saat Budi melintas di perlintasan kereta, HP-nya jatuh. Beberapa saat kemudian, Fajar Utama Solo melintas dan melindas HP Budi. HP Budi remuk. HP Budi rusak fatal.

Diksi “fatal” pada kalimat di atas tepat, sebab HP yang remuk itu umumnya sudah tidak bisa  diperbaiki.

Contoh 2:

Informasi pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta pada surat pengajuan proposal skripsi Saudara tertulis 1960. Ini salah fatal. Seharusnya 1962. Silakan direvisi sebelum Saudara ajukan pada fakultas.

Diksi “fatal” pada contoh 2 kurang tepat, sebab informasi tahun yang salah pada surat pengajuan skripsi masih bisa direvisi atau diperbaiki.

Jelas, ya?

Jadi, bilapun harus menuding kesalahan pada sebuah buku, ya bilang saja “salah” atau “keliru” tanpa diikuti kata “fatal”. Kalau mau, gunakan diksi “serius” untuk menunjukkan bahwa kesalahan itu memang substansial.

Lalu, apakah sebuah buku boleh dituding salah oleh seorang kritikus buku?

Boleh. Sangat boleh. Sebuah buku apabila sudah di-publish, maka ia menjadi milik publik. Publik berhak menuding, mengkritik, bahkan mengoreksi. Sambil menunjukkan poin-poin yang dinilai sebagai kesalahan, ini sangat bijak. Bilamana poin kesalahan itu terbukti valid—berdasarkan data dan fakta—bukan berdasarkan interpretasi, persepsi, atau asumsi pribadi pengkritik dengan tidak mengabaikan faktor di luar dirinya, tudingan seperti ini harus diperhatikan. 

Proses revisi merupakan langkah memerhatikan. Bahkan, dalam proses penerbitan buku, proses revisi bisa berlangsung berkali-kali. Di sinilah peran editor bekerja. Saya, beberapa kali diberi masukan untuk memperbaiki redaksi dari satu paragraf atas buku saya yang sedang diproses. Lain waktu, bahkan saya diminta mengubah alur dan menambahkan setting dari karya novel yang sudah di-ACC penerbit sebelum naik pracetak. Dan, bijaknya seorang editor, apabila saya sebagai penulis dapat menjawab dugaan kesalahan pada naskah dengan reasoning yang meyakinkan, sang editor memberikan apresiasi.

“Okay, kalo begitu. Sebagai editor, saya belum menangkap pesan paragraf ini.”

Dicapailah kompromi; perlu revisi redaksi agar tidak menimbulkan mispersepsi pembaca. Saya mengerti, saran editor diperhatikan.

Baik. Sekarang, saya lanjut ke poin sederhana soal kesalahan dan proses revisi dalam sebuah buku.

Tudingan “salah fatal” saya hindari bila terpaksa harus menilai sebuah buku. Saya ambilkan contoh dari “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sendiri. Saya punya dua versi. Edisi perdana yang belum ber-ISBN terbit pada 2020, diterbitkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok. Edisi kedua sudah ber-ISBN, terbit pada 2022, diterbitkan oleh Penerbit Irfani.

Dua edisi ini saya dapat dari membeli, bukan gratisan. Sebagai penulis, saya menghindari dari mendapat buku gratisan—kecuali diberi sebagai hadiah—karena saya tahu cara menghargai penulis. Dua puluh delapan buku yang sudah saya tulis, cukup memberi arti betapa menulis buku itu bukan pekerjaan sesimpel merebus mie instan untuk mengatasi kelaparan di tengah malam. Maka, membeli buku adalah bentuk penghargaan atas jerih payah seorang penulis. Meskipun begitu, saya tidak terlalu pelit buat memberi hadiah buku saya kepada beberapa sahabat yang saya pandang perlu mendapatkan tanpa harus mereka mengeluarkan uang.

Pada halaman 25 edisi perdana “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...”, pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta disebutkan berlangsung pada 1960. Ini jelas-jelas salah. Kesalahannya terlalu terang benderang, bahkan a historis. Rupanya, kesalahan ini disadari—entah oleh penulis atau editornya, atau kedua-duanya. Maka, pada halaman 34 edisi kedua terbitan Irfani, kesalahan ini sudah direvisi, bahwa Asian Games IV di Jakarta berlangsung pada 1962. 

Dari kasus yang paling dekat dengan “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” ini, tidaklah berlebihan, bahwa bagi saya tidak ada kesalahan fatal pada buku. Lebih elegan bila disebut ada kesalahan serius. Meskipun demikian, kesalahan serius ini, pun bisa diselesaikan. 

Kepada penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sejujurnya saya ingin mendengar, bagaimana ia menjelaskan soal Asian Games IV 1960 dan 1962 ini setajam ia menuding “salah fatal” buku saya. Tapi, tak usahlah dijawab. Saya sudah prediksi jawabannya; typo!

Tapi jangan salah, typo soal data tahun itu tidak boleh diabaikan. Apalagi menyangkut peristiwa penting yang berskala global sekelas Asian Games. Bagi saya yang memegang dua edisi “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” tidak akan sampai pada kesimpulan “salah fatal”. Namun, akan menjadi problem bagi pembaca kritis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” yang hanya memiliki edisi perdana saja. Boleh jadi setelah pembaca ini menelusur dan menemukan data bahwa Asian Games IV berlangsung pada 1962, bukan 1960, boleh jadi dia akan menuding. Apalagi di era digital hari ini, di mana kesalahan sekecil debu saja bisa dideteksi dalam hitungan detik. Itu karena perpustakaan maya buka 24 jam nonstop. 

Sedikit menyinggung draft biografi Mualim Awab, soal nama ibu beliau. Saya menemukan fakta berbeda. Pada “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...”, ibu Mualim Awab disebut bernama Tirah, berasal dari Kampung Kekupu. Dari perkawinan Usman dengan Tirah, lahir anak-anak; Kidin, Sidik, Imah, Jaelani, Zakaria, Awab, dan Bahrudin. Tidak ada perbedaan Informasi pada kedua edisi yang masing-masing terdapat pada halaman 17 dan halaman 23. Akan tetapi, dari wawancara dengan ahli waris Mualim Awab, ibu beliau bernama Saiah, bukan Tirah. Lha, jadi, ibu Mualim Awab itu sebenarnya siapa, Tirah atau Saiah?

Nama Tirah tetap saya cantumkan mengambil dari “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” sebagai sumber rujukan primer yang saya kutip. Namun, saya memberikan catatan keterangan tambahan berdasarkan informasi ahli waris sebagai narasumber yang menyebut Saiah lah nama ibu Malim Awab yang benar.

Begitulah cara saya mengkompromikan dua informasi berbeda. Saya tidak kuasa menyatakan penulis “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok ...” salah fatal, atau ahli waris Mualim Awab yang salah fatal mengenai siapa nama ibu Mualim Awab. Sebab, boleh jadi Tirah dan Saiah itu adalah sosok yang sama. Kasus seperti ini banyak dijumpai dalam alam kehidupan “orang doeloe”. Sebagai contoh, kakeknya bapak saya bernama Isnaen. Satu waktu saya bertanya saat menulis buku Tarawih Terakhir.

“Pak, Isnaen itu apanya Pak Debel?” tanya saya. Saya ingin tahu, sebab dahulu —saat saya masih SMP kelas 1—ada arisan Keluarga Besar Pak Debel. Saya sering ikut bapak hadir di acara arisan ini.

“Pak Debel, ya Pak Isnaen!” Jawab bapak terkekeh.

Nah!

Keep your writing spirit alive, Abdul!

Depok, 30 November 2025.

Melepaskan rasa pahit di antara rinai hujan sore yang sejuk.
Berjabat tangan dengan Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar, Ph.D. Gara-gara foto ini dibilang akrab banget sama Rektor oleh Om Faizin. Foto milik UIN Jakarta.


"Saya sudah siapkan kapling mufaraqah"
_______________________________________

Selasa, 18 November 2025, di Aula Mukti Ali, saya terkejut-kejut. Pertama, terkejut dengan sosok Ketua Yayasan. Setahu saya, Ketua Yayasan Syarif Hidayatullah bukan dia. Saya kenal wajah, postur, gaya bicara, dan pembawaan Ketua Yayasan. Rasanya, belum lama sosok ini menjabat. Tapi, kok sudah ganti orang? Ini siapa lagi?

Di aula Mukti Ali saat acara berlangsung pun, pertanyaan masih menggantung di benak saya. Karena subjek saya adalah Sejarah Kebudayaan Islam, jadi teringat sistem pergantian khalifah yang terjadi di dalam keluarga istana Daulah Bani Umayyah. Lah, kok jadi mirip Daulah Bani Umayyah? Batin saya mengeluh.

Ah, bodo amat. Lagian, saya bukan orang penting yang harus tahu suksesi struktural yayasan. Siapa elu, Dul? Jawab saya sendiri dalam hati.

Saya beneran ketinggalan kereta, kurang update. Teman sejawat boleh jadi sudah jauh kemana-mana, sementara saya masih duduk termangu di buritan. Kemarin—sekira seminggu berlalu—sempat samar-samar mendengar cuitan. Embusan angin mengantar cuitan itu sampai ke ujung telinga: "Ketua Yayasan yang baru, sarungan." Barulah pada hari Selasa itu saya ngeh soal "sarungan". Oh, maksudnya "pakai sarung".

Kedua, terkejut soal undangan pertemuan pada hari Selasa itu. Perihalnya jelas tertulis: “Undangan dari yayasan”. Tapi, undangannya berkop MTs Pembangunan dan ditandatangani bukan oleh Ketua Yayasan. Mata saya memicing, sekadar memicing. Loh, kok? Jadi, siapa yang mengundang? Ah, biarlah, itu soal teknis. Hal kecil seperti ini memang sering luput kecuali bagi orang yang aktif berorganisasi dan akrab dengan nomenklatur surat menyurat.

Undangan via WA di Grup kali pertama diposting pada 17 November 2025 pukul 07. 46 WIB. Ada catatan tambahan pengantar pada postingan: “mohon hadir tepat waktu dan ada daftar hadir kegiatan ini”. Undangan diulangi sehari kemudian, pada 18 November 2025 pukul 14.57 WIB. Bismillah, saya harus hadir. Pukul 15.33 WIB Aula Mukti Ali masih belum terisi separuh. Imbauan diulangi dengan bahasa foto dibubuhi caption: “Ayoo bapak dan Ibu.”

Ketiga, terkejut—lebih pasnya ‘tersengat—dengan diksi “kalian” yang digunakan Ketua Yayasan saat menyampaikan nada tegas mengenai polemik Yayasan dengan UIN yang sedang berlangsung. Diksi “kalian” ini boleh jadi tak terpikirkan bagi siapa pun. Tapi bagi saya, tidak. Saya memikirkan diksi “kalian” itu sampai malam. Boleh jadi karena setiap hari saya biasa bermain dengan diksi-diksi. Dari diksi yang bermakna sopan sampai yang kasar, dari yang mendikte sampai intimidatif, sedikit banyak saya tahu. Apalagi saya hadir saat diksi “kalian” itu digunakan di forum briefing itu.

Semula, saya menaruh harapan besar pada briefing hari itu. Pastilah ada hal mendasar dengan hadirnya sosok bersarung sebagai Ketua Yayasan yang baru. Apalagi saat isu integrasi terus menggelinding bagai bola salju, berharap sangat kehadirannya akan memberikan kesejukan agar para guru bisa tetap fokus melaksanakan tugas-tugas pokok tanpa harus berurusan dengan polemik. Sebab hemat saya, soal isu integrasi yang memicu polemik bukan domain guru, itu domain para pemangku kebijakan. Maka, saya sebagai guru—juga guru-guru di semua unit—hanya berharap semuanya berakhir dengan baik.

Akan tetapi, harapan pada briefing hari itu jauh panggang dari api. Bahkan ada sikap Ketua Yayasan yang lebih menyengat dari diksi “kalian” itu. “Saya sudah siapkan kavling mufaraqah”. Begitulah bunyinya. Kalimat itu disampaikan dengan sangat meyakinkan kepada para guru. Tentu, yang dimaksud kavling mufaraqah diperuntukkan bagi guru yang tidak tunduk pada sikap dan visi Yayasan. 

Rasanya ingin berteriak: "Emaaaak!" Hanya saja, rasanya tidak perlu. Teriakan hanya bikin gaduh. Masih ada nalar sehat dan second opinion. Saya masih menyimpannya untuk memutuskan di mana kaki harus berdiri bila benar-benar datang saatnya harus memilih.

20 tahun 5 bulan sudah mengabdi di MP, waktu yang cukup untuk menikmati harmoni di ujung karier. Namun, hati rasanya masygul—seperti perempuan hamil tua yang sedang terengah-engah menanggung beban wahnan ‘ala wahnin—diberi pilihan mufaraqah oleh orang yang ibaratnya baru “dua hari dua malam” jadi Ketua Yayasan. Otak terasa mengkeret kusut masai, hati gundah gulana, dan air muka berubah keruh mendapati informasi sedemikian rupa.

Untunglah, pada hari Sabtu, 22 November 2025 saya hadir di Aula Harun Nasution, UIN Jakarta. Saya datang dengan nalar sehat dan second opinion, dengan dada lapang, tanpa beban psikologis, tanpa intimidasi, dan tanpa dering telepon. Saya datang dengan gembira. Saya lihat, beberapa dari teman-teman ada juga memenuhi undangan Rektor dengan gembira seperti saya. Aula Harun Nasution telah mengembalikan spirit daya survive saya di MP.  

Begitu gembiranya saya datang, saya masih sempat mencandai sepasang suami istri hasil pertemuan dari kisi-kisi "Kurikulum Cinta" di Madrasah Tsanawiyah. Saya yang mengenakan masker, berseloroh kepada mereka selepas turun dari berboncengan motor. Dengan wajah yang saya serius-seriuskan, saya berujar:

"Hei, pakai masker!" Kata saya sambil membulatkan mata.

Sang istri dengan wajah melongo, mata sedikit membulat, dan mulut agak setengah terbuka memandang sang suami lalu memandang saya dengen ekspresi polos. Saya bisa membaca isi kepalanya, bahwa masker memang diperlukan saat itu untuk sedikit menutup identitas supaya tidak ketahuan. Hihihihi. Sang suami yang melihat istrinya mirip orang shock berusaha menghibur. Ini suami yang baik, ia hadir di saat istrinya membutuhkan pegangan.

"Ah, sudahlah. Nanti juga bakal ketahuan!" Kata sang suami mantap. Ini jawaban suami banget. Jawaban suami siaga.

Buhahahahahahah, kena lo gue ledekin, seru saya dalam hati. Tawa saya pecah, namun tidak berwujud sebab diredam balutan masker. Saya membayangkan di alam hayal diri saya joget-joget sambil menciumi masker melihat respons mereka berdua. 

Di aula Harun Nasution, ada juga teman saya yang tampak kurang gembira. Aura wajah mereka tegang seperti orang sedang membuka toples yang tutupnya terlalu kencang dipulir. Bahkan, ada wajah-wajah dari mereka yang seputih lobak. Boleh jadi karena mereka salah satu yang menerima dering telepon, diminta pulang meninggalkan acara sementara pantat mereka sudah leyeh-leyeh di atas kursi aula.

Bagi saya, briefing di aula Andalusia itu pada Selasa 18 November 2025 adalah sejarah. Datang pada Sabtu, 22 November di Aula Harun Nasution bertemu Rektor dan menerima SK juga sejarah. Kedatangan Rektor UIN Jakarta di Hari Guru Nasional di pelataran Madrasah Pembangunan pada Selasa, 25 November 2025 adalah juga sejarah. Dan, sejarah ini bertambah sempurna pada hari Selasa di Hari Guru Nasional. Lebih kurang 70 jam setelah saya menerima SK Rektor, para guru dan Tendik yang belum sempat mengambil SK-nya pada hari Sabtu, berbondong-bondong datang mengambil. Kata seorang kawan saya berseloroh, “Ini seperti Fathu Makkah.”

Soal hari Sabtu atau hari Selasa, itu hanya soal waktu. Bagi saya, siapa yang duluan dan belakangan itu tidak penting lagi diperdebatkan. Semuanya sudah tercatat sejarah. Tidak penting juga mendengarkan lagi narasi-narasi dukungan atau penolakan. Lebih tidak penting lagi menyediakan telinga untuk menyimak apologi meskipun mulut sang apologis berbusa-busa. Bahkan hari ini catatan sejarah bertambah satu paragraf. Kamis, 27 November 2025, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menteri Agama datang berkunjung menginjak latar Madrasah Pembangunan. Bukankah ini sejarah?

Hari ini bertemulah simpul nalar sehat, second opinion, dan kedatangan Pak Menteri.

Kamis, 27 November 2025.

Sambil menikmati suapan terakhir Bakmi di LAB. MIPA Jabir ibnu Hayyan Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.




Biarlah, menggunting itu tugasnya para penjahit dan tukang cukur saja, memangsa karakternya raja hutan saja. Jangan kau menggunting, jangan kau memangsa. Bila levelmu belum sampai maqom mu’allim, jadilah mudarris yang ketiadaanmu dirindukan siswa dan kehadiranmu diinginkan sejawat.

Selamat Hari Guru untuk Abdul. Ehehehehe. Sekali-sekali mengucapkan selamat untuk diri sendiri. Lucu juga, sih. Tapi, ya, mau gimana, emang saya guru. Meskipun boleh jadi belum memiliki “Jiwa Guru”. Selamat Hari Guru juga untuk kerabat; Ida Karimah, Mas Hery, Isy Karimatunnisa, Fikra Hawa, dan Mikal Zidna Fajwah. Juga untuk semua sahabat saya yang berprofesi guru. Selamat Hari Guru, ya. Semoga terus bahagia. 

Nah, Jiwa Guru ini mahal. Hanya “guru beneran” yang bisa memiliki perangkat lunak ini. Tentu, memiliki Jiwa Guru tidak bisa dibeli dengan uang, ditukar dengan gelar akademik, digadai oleh SK jabatan struktural di sekolah, atau hadiah karena koneksi sebab dekat dengan pengambil kebijakan. Bukan. Jiwa Guru itu hadir sendiri karena keikhlasan, penghayatan pada peran, dan amanah pada tanggung jawab ilmu dan pengabdian. 

Di Hari Guru 2025 ini, saya kok tertarik dengan sebuah artikel di https://www.albayan.ae/. Judulnya itu, loh: “Al-Mudarris wa Al-Mu’allim”, Pengajar dan Pendidik. Amany Fathi—sang penulis—memulai artikelnya dengan pertanyaan cukup penting. “Di mana dan bagaimana kita dapat menemukan seseorang yang melampaui tugas profesionalnya semata sebagai “pengajar (mudarris)” menuju sebutan “pendidik (mu‘allim)”? 

Fathi berpendapat, bahwa seorang pengajar pada umumnya bukanlah seorang pendidik yang berhasil. Adapun pendidik adalah “sayyidul mudarrisin”, penguasanya para pengajar. Perbedaan yang mendasar, mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada para siswa dengan cara apa pun, dan tugas ini terbatas pada studi dan pencapaian ilmiah lebih daripada aspek lainnya. Sementara pendidik adalah pengajar sekaligus pembina, pembimbing, ayah, saudara, dan sahabat—yang selalu ditemukan siswa di sisinya dalam semua situasi dan berbagai keadaan. 

“Lābudda an natakhallā fī dākhilinā ‘an waṣf al-mudarris, wa nartaqiya jamī‘an ilā musammā al-mu‘allim, wa nujassidahu qawlan wa fi‘lan, wa huwa ḥaqqan mā yaḥtājuhu al-ṭalabah.” Kata Fathi lebih tegas. Artinya lebih kurang begini: “Kita harus melepaskan dalam diri kita sebutan “pengajar (al-mudarris)” dan naik bersama menuju sebutan “pendidik (al-mu‘allim)”, serta mewujudkannya dalam ucapan dan tindakan. Itulah yang benar-benar dibutuhkan para siswa.”

Berat, berat ini.

Sependek pemahaman saya yang terbatas memahami maksud tulisan Fathi ini, boleh jadi, seorang mudarris masih akrab dengan anasir-anasir yang tidak terhubung langsung dengan kebutuhan siswa. Beda dengan mu’allim yang benar-benar fokus mendampingi siswa-siswa yang—dianggap—nakal, pemalu, lemah, tidak peduli, dan berbagai karakter di samping kecerdasan, bakat, dan minat yang berbeda-beda. 

Seorang muallim memperlakukan mereka sebagai anak-anaknya, sebagai amanah yang dipikulkan di pundak yang tak terelakkan. Boleh jadi, karena muallim ibarat memilih profesi para nabi untuk berdiri di sisi mereka. Maka, seorang muallim lah yang umumnya memiliki Jiwa Guru, sebagaimana jiwa-jiwa para Nabi yang diserap sebatas sisi manusiawinya.

Zaman terus berubah. Harus diakui, perubahan zaman itu sedikit banyak membawa pada pergeseran nilai-nilai, tidak terkecuali pada alam pendidikan. Dahulu, pendidik adalah segalanya dalam kehidupan seorang murid; ia merupakan teladan pertama, tempat kepercayaan yang tak tertandingi, dan sosok yang dihormati serta dihargai oleh semua orang. Sifat-sifat ini dibangun pendidik untuk dirinya melalui perilaku yang ia jalani dengan ketulusan, rasa tanggung jawab, dan amanah. Namun hari ini keadaan tampak berbeda, dan kita semua melemparkan kesalahan pada perkembangan dan perubahan gaya hidup, serta pada generasi masa kini. Dan hal itu benar, tetapi hanya sebagian. 

Jangan lupa, manusia tetaplah manusia; jiwa manusia masih merupakan jenis yang sama sejak Adam ‘alaihi as-salām dan tidak berubah. Perilaku manusia juga tetap serupa di seluruh dunia. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Dan lagi-lagi, Fathi seperti mencabik kesadaran bahwa Jiwa Guru boleh jadi belum menyatu dalam diri saya bersamaan Hari Guru hari ini. Sebab kata Fathi, pendidik lah yang telah menanggalkan senjatanya, melepaskan perangkatnya, dan meninggalkan wibawanya. 

Maka, seharusnya betapa malu setiap kita yang diberi Selamat Hari Guru membaca artikel Fathi hari ini bilamana ia masih bermain-main dengan anasir-anasir yang memalingkan wajahnya dari tugas-tugas mendidik menjadi sekadar mengajar. Apatah lagi masuk dalam labirin “Low Politic” yang secara vulgar dan agresif menggunting dalam lipatan, “memangsa” teman sejawat. 

“Hai, Abdul! Biarlah, menggunting itu tugasnya para penjahit dan tukang cukur saja, memangsa karakternya raja hutan saja. Jangan kau menggunting, jangan kau memangsa. Bila levelmu belum sampai maqom mu’allim, jadilah mudarris yang ketiadaanmu dirindukan siswa dan kehadiranmu diinginkan sejawat.” Begitulah nurani saya bicara sendiri.

Selamat Hari Guru Nasional 2025 para guru. Bahagia dan sejahteralah dari dunia sampai akhirat. Aamiin.

Ciputat, 25 November 2025.

Laboratorium MIPA Jabir ibn Hayyan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.


Sharing menulis dengan santri Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo. Foto milik Media Informasi MBS.

Literasi menulis sebagai distingsi MBS Ki Bagus Hadikusumo. Ia akan menjadi pembeda dari semua MBS, bahkan dari semua pondok pesantren milik Muhammadiyah seantero negeri.

Rabu berlalu, 22 Oktober 2025 kemarin adalah Hari Santri Nasional. Bagi dunia pesantren, Hari Santri seperti “Hari Raya” meskipun tidak sesakral Idul Fitri atau Idul Adha. Akan tetapi, substansi sebagai “Hari Raya”, Hari Santri sebangun dalam ekspresi ungkapan gembira dan rasa syukur. Perlu ditegaskan, bukan dalam konsep tasyri’ yang dimaksud sebagai “Hari Raya” pada Hari Santri di sini.

SMP Muhammadiyah Boarding School (MBS) Ki Bagus Hadikusumo, Jampang, Bogor menggelar pun upacara pada Hari Santri. Boleh jadi, nuansa upacara di SMP MBS Ki Bagus Hadikusumo dan di pondok-pondok Muhammadiyah berbeda nuansanya dari pondok-pondok milik NU, PERSIS, atau pondok-pondok lain sesuai warna, dan karakter masing-masing saat Hari Santri diperingati.

Usai upacara, SMP Ki Bagus Hadikusumo menggelar seminar menulis. Ini sesuatu banget. Sebagai pondok Muhammadiyah yang mengusung tagline Berkemajuan, literasi menulis sepantasnya menjadi kebutuhan mendesak bagi santri MBS Ki Bagus Hadikusumo. Maka, mengagendakan Hari Santri Nasional dengan seminar Literasi Menulis seperti kemasan dan isi yang sangat serasi.

Sejujurnya, agak “kelabakan” diberi kesempatan menyampaikan materi seminar kamarin itu. Rasanya kurang maksimal karena waktu persiapan yang singkat. Namun, “daya tarik” dunia kepenulisan yang bikin nagih, saya penuhi juga kesediaan hadir di MBS berbekal pengalaman acara yang sama di kesempatan yang lalu-lalu di berbagai forum. Dan, mendapati tiga ratusan lebih santri mengikuti seminar ini, saya mengira-ngira, Dewan Mudir sedang mempertimbangkan literasi menulis sebagai distingsi MBS Ki Bagus Hadikusumo. Ia akan menjadi pembeda dari semua MBS, bahkan dari semua pondok pesantren milik Muhammadiyah seantero negeri. Why not, Abah?

Bila sejenak kita menengok karakteristik Peradaban Islam, ia berbicara pada akal dan hati sekaligus, membangkitkan perasaan dan pemikiran dalam waktu yang sama — dan ini merupakan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh peradaban mana pun dalam sejarah (Al-Siba’i, 1999: 70-75). Karena itu, menulis sebagai produk akal dan hati merupakan ciri dari peradaban Islam, peradaban ilmu. Ilmu pengetahuan itu sendiri dihimpun secara sistematis dalam koleksi buku dan kepustakaan Islam sehingga peradaban Islam dapat disebut sebagai peradaban buku atau peradaban teks yang berasal dari al-Qur’an (El-Fadhl, 2020: 6).

Maka tidak heran, perpustakaan dalam peradaban Islam masa keemasan baik di Timur (Baghdad, Mesir, dan Syam) maupun di Barat (Andalusia) menyimpan koleksi buku yang sangat melimpah. Khazain al-Qushur yang dibangun Khalifah al-Aziz (Daulah Fathimiyah) punya kapasitas 40 ruangan besar dengan jumlah koleksi kepustakaan mencapai 1.600.000 (satu juta enam ratus ribu buku, dokumen, manuskrip, dan lain-lain). Dari jumlah koleksi itu, 600.000 (enam ratus ribu) di antaranya terdiri dari buku-buku teologi, tata bahasa, kamus dan ensiklopedia, kebudayaan, sejarah, geografi, astronomi, matematika, dan kimia. Khusus buku-buku mengenai matematika dan astronomi, terdapat 6.000 (enam ribu) buku. Buku-buku lainnya terdiri dari salinan (copy) dari berbagai subjek, baik salinan buku-buku keagamaan, sejarah, dan sastra (Hak, 2020: 138).

Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), perpustakaan era Abbasiyah memiliki beragam koleksi dari berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansekerta, dan lainnya. Koleksi perpustakaan ini tercatat dalam kitab al-Fihrist dan al-Kasfī karya Hajj Khalifah. Dalam al-Fihrist karya Ibn al-Nadīm juga disebutkan bahwa jumlah koleksi Bayt al-Hikmah mencapai lebih dari 60.000 (enam puluh ribu) buku, jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran masa itu. Bahkan penataan buku-buku di perpustakaan Bayt al-Hikmah—selain yang menjadi milik khalifah—diatur berdasarkan klasifikasi ilmu pengetahuan (subjek) yang disusun oleh Ibn al-Nadīm (Rohana dkk., 2021:15–33).

Khalifah al-Hakam II pada dekade akhir abad ke-10 M membangun perpustakaan di Cordova, Perpustakaan Khalifah al-Hakam II. Jumlah koleksinya mencapai 400.000 (empat ratus ribu) koleksi buku. Menurut Mehdi Nekosten, jumlah koleksinya lebih besar lagi, mencapai 600.000 (enam ratus ribu), diperuntukkan bagi publik. Selain bukti jumlah nominal, kebesaran dan kelengkapan perpustakaan ini digambarkan juga dengan sebuah legenda bahwa “tidak ada buku yang tidak dapat ditemukan dalam perpustakaan al-Hakim ini.”(Hak, 2020: 136).

Karena ini, saya punya alasan keharusan menulis. Alasan itulah yang saya beberkan dalam seminar singkat kemarin dengan keywords; mengapa santri harus menulis. Pertama, menulis itu melanjutkan tradisi para ulama. Ulama itu sangat dekat dengan dunia santri. Dan santri, sangat dekat dengan karya-karya tulis para ulama, bukan? Jadi, mengapa santri belum juga menggerakkan pena secara serius melanjutkan tradisi para ulama dalam khazanah peradaban Islam?

Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam karyanya Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’, menyebut Imam Ibnu Jarir —penulis tafsir al-Thabari dan Tarikh al-Thabari—menulis setiap hari sebanyak 14 lembar. Jika dihitung jumlah hari dalam 72 tahun masa hidup beliau dikalikan dengan 14 lembar per hari beliau menulis, maka total karya yang beliau tulis mencapai sekitar 358.000 lembar (Abu Ghuddah, 2012: 78). Ajiib!

Imam al-Zuhri, bahkan menulis segala sesuatu yang ia dengar. Ketika kemudian orang-orang membutuhkan ilmunya, semua orang menyadari bahwa Imam al-Zuhri adalah orang yang paling berilmu di antara manusia. Saking gandrungnya Imam al-Zuhri menulis, sampai sedang melaksanakan thawaf pun, beliau membawa papan atau lembaran-lembaran catatan dan ditertawakan sahabat al-Zuhri  sebab kebiasaan menulisnya itu (adz-Dzahabī, 2012: juz 5, hal. 332).

Kedua, dunia santri adalah dunia ilmu, dunia belajar, sedangkan menulis memperdalam dan mengokohkan ilmu. Imam Malik menyarankan, seorang penuntut ilmu harus menulis sebagai cara mengikat ilmu yang sudah dipelajari. Kata beliau:

Al-‘ilmu ṣhaidun wa al-kitābatu qayduhu
Qayyid ṣuyūdaka bil-ḥibāli al-wāthiqah
Famina al-ḥamāqati an taṣīda ghazālah
Wa tatrukuhā bayna al-khalā’iq ṭāliqah
(Syāhīn, 2017: 259).

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.

Dengan kebiasaan menulis, santri tidak akan kehilangan jejak ilmu yang telah dipelajari di kala ia lupa. Bilamana suatu saat ia lupa, tulisan bisa membantu mengingat kembali.

Memang, tampak ada hubungan yang kuat antara sifat lupa manusia dan menulis. Akan tetapi, sebagaimana sering disebut banyak orang: Innahu mina an-nisyāni, wa summiya al-insānu insānan li nisyānihi—sesungguhnya (nama itu) berasal dari kata lupa (nisyān), dan manusia dinamakan insān karena sifat lupanya—secara linguistik dipertanyakan oleh Ibnu Miskawaih.

Iinsān—berasal dari kata “al-uns” yang bermakna “keakraban” atau “keserasian”. Hal itu karena manusia secara fitrahnya cenderung akrab dan bersosialisasi, bukan makhluk yang liar dan menjauh. Dari sifat itulah nama insān (manusia) diserap dalam bahasa Arab, kata penulis kitab Tahẕīb al-Akhlāq ini.

Demikian pula komentar Ibnu al-Jauziyah yang mengoreksi kata insān sebagaimana pendapat sebagian orang—berasal dari kata nisyān (lupa), dan bahwa manusia dinamakan insān karena sifat lupanya, begitu pula nās (manusia) dinamakan demikian karena mereka suka lupa”—maka pendapat ini tidaklah benar sama sekali. (Ibnu al-Qayyim, 1989: 101).

Meskipun demikian, sifat lupa yang melekat pada manusia, adalah bagian dari sunnatullah bahwa menulis itu penting terlepas dari masalah linguistik ada atau tidak hubungan antara insān dan nisyān.

Ketiga, menulis melatih berpikir kritis dan terstruktur. Sebenarnya, berpikir kritis dan terstruktur sudah menjadi pola pengajaran di pondok pesantren. Santri juga belajar Mantiq sebagai landasan berpikir kritis dan terstruktur. Hanya saja, kemampuan berpikir kritis dan terstruktur itu lebih dominan diekspresikan lewat orasi (khitobah), saat mereka muzakarah, dan menyampaikan argumentasi (istidlal) yang meyakinkan saat membahas suatu masalah dalam tradisi pesantren.

Sementara, berpikir kritis dan terstruktur melalui media tulisan masih belum tumbuh subur di kalangan santri. Seyogyanya,  santri pondok-pondok Muhammadiyah ibarat HAMKA-HAMKA muda zaman milenial meskipun pada ujungya tidak seluruh santri punya passion menulis. HAMKA adalah prototype kaum santri yang fasih lisan dan penanya. Nûn, wal-qalami wa mâ yasthurûn harusnya bukan hanya ayat suci yang menjadi slogan santri Muhammadiyah, melainkan spirit menulis yang hidup karena ujung pena mereka yang terus menari-nari.

Keempat, menulis termasuk bagian dari dakwah. Bahkan, jangkauan dakwah lewat media tulisan mampu menembus dinding-dinding primordial, batas wilayah, serta ruang dan waktu. Apalagi di era keterbukaan hari ini di mana orang bisa mengakses informasi yang nyaris tanpa tidur, kehadiran tulisan yang bermuatan dakwah amat diperlukan. Hindun binti Musthafa Syarifi menegaskan, sesungguhnya penulisan ilmu membantu para dai untuk menyebarkannya ke berbagai penjuru bumi, karena mudahnya ilmu itu dipindahkan di antara manusia—terutama pada masa modern (Syarifi, 2016). Maka, Santri dengan kemampuan dakwahnya, dengan khazanah literatur turats yang melimpah akan sangat membantu rujukan dakwah lewat tulisan. Tulisan santri di internet, nilainya akan berbeda dari tulisan seorang content creator belaka.

Kelima, menulis menjaga warisan pesantren. Banyak kearifan pesantren, kisah kyai, metode ngaji, dan nilai adab yang akan hilang jika tidak ditulis. Dengan menulis, santri mendokumentasikan sejarah dan tradisi pesantren, agar tetap hidup dan dikenal generasi berikutnya.

Ayo santri MBS Ki Bagus! Jadikan literasi menulis sebagai distingsi keunggulan santri milenial.

Di antara Ustaz Ajat Sudrajat, S.Pd.I Kepala SMP Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo dan Ustaz Restu Kurniawan Wibawa, Media Informasi MBS.  Foto milik divisi Media MBS.

Depok, 27 Oktober 2025.
Ba'da Isya yang sejuk, lewat pkl. 00.16, sedangkan mata tak jua bisa dipejamkan.


Rujukan:


Abu Ghuddah, Abdul Fattah. 2012. Qīmatuz-Zamani ‘inda al-‘Ulamā’. Beirut: Dar Al-Basyair Al-Islamiyah.
adz-Dzahabī, al-Imāmi Syamsi ad-Dīn Muḥammadi bni Aḥmadi bin ‘Uṯmān. 2012. Siyar A‘lāmi an-Nubalā’. Beirut: Muassasah Al-Risalah.
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. 1998. Tafsir Al-Mu'awwidzatain. tanpa kota: Dar al-Hadits.
Al-Siba’i, Mustafa. 1999. Min Rawa’i Hadharatina. Beirut. Dar Al-Warraq.
binti Mustafa Syarifi, Hindun. 2016. ”Al-Dakwah bi al-Kitabah”. https://www.alukah.net/sharia/0/98523/الدعوة-بالكتابة-وسيلة-الكتابة-الدعوية/. Diakses pada 24 Oktober 2025.
El-Fadl, Khalid Abou. 2002. Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab. terj. Abu Abdullah. Jakarta: Serambi, 2002.
Hak, Dr. Nurul, M.Hum. 2020. Sains, Kepustakaan, Dan Perpustakaan Dalam Sejarah Dan Peradaban Islam (Klasik, Pertengahan, Modern). Pati. Maghza Pustaka.
Rohana, R., Lubis, L., & Ridwan, R. (2021). Gerakan Penerjemahan Sebagai Bagian Aktivitas Dakwah dan Keilmuan di Dunia Islam (Tinjauan Historis Gerakan penerjemahan pada Masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun). Jurnal Ilmu Perpustakaan (Jiper), 3(2), 15–33. https://doi.org/10.31764/jiper.v3i2.4418. Diakses pada 25 Oktober 2025.
Syāhīn, Muḥammad ‘Abd as-Salām. 2017. Ḥāsyiyatu asy-Syaikh Ibrāhīm al-Bayjūrī ‘alā syarhi al-‘Allāmah Ibn al-Qāsim al-Ghazzī ‘alā matni asy-Syaikh Abī Syuja‘. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.


Berada di antara peserta didik, Asni Rusli mahasiswi IIQ peserta PLP, dan Dosen Pembimbing Eka Naelia Rahmah, MA. Foto milik Asni Rusli.

Setelah menyelesaikan kuliahmu nanti, pulanglah. Makassar butuh guru SKI seperti kamu. Kamu bukan pseudo teacher, kamu autentik teacher.
HARI ini, Rabu 24 September 2025, hari terakhir mendampingi mahasiswi IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) Jakarta. Asni Rusli menyelesaikan program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) dengan catatan kemajuan yang sangat berarti. Mumtazah.

Asni hanya salah satu mahasiswi IIQ Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama semester 7 (tujuh) dari beberapa pendahulunya yang mengambil lokasi Madrasah Pembangunan sebagai laboratorium praktik mengajar yang saya dampingi. Asni meninggalkan kesan tersendiri buat saya bahwa seorang guru seharusnya memang seorang pembelajar. Asni menunjukkan indikasi demikian.

Asni berhasil melalui proses kemajuan terampil mengajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang sangat baik. Setiap pertemuan saya catat kelebihan dan kelemahannya. Kelemahannya saya minta diperbaiki pada pertemuan berikutnya. Kelebihannya harus diperkuat dengan inovasi baru meskipun skalanya kecil semisal mengganti metode pembelajaran. Asni mampu menerjemahkan masukan-masukan itu pada kelas berikutnya.

Saya harus katakan ini. Bagaimanapun, saya pernah menjalani proses—dahulu namanya program PPL—pada 25 tahun yang lalu saat mengambil fakultas dan jurusan yang sama di UIN Jakarta. Pertama kali masuk kelas menjalani program ini, calon guru yang masih hijau —belum punya pengalaman real teaching—banjir keringat dingin sekujur dahi. Dua jam pelajaran yang hanya 80 menit seakan berlangsung berjam-jam lamanya. Akan tetapi, di tangan Guru Pamong yang smooth—seperti pamong saya dulu—semua proses bisa dijalani. Keringat dingin perlahan hilang, percaya diri tumbuh, bahkan punya tempat di hati peserta didik.

Saya tidak tahu kesan Asni saat saya mendampinginya dalam 15 kali pertemuan sebelum ia ujian. Dalam catatan saya, Asni terampil memanfaatkan berbagai pendekatan mengajar, penilaian autentik berbasis digital, dan memadukan games dan pembelajaran. Dan, ini kata kunci capaian Asni di PLP-nya. Rasanya, saya perlu banyak belajar lagi. Karena itu, Asni tidak pernah saya ditempatkan sebagai pseudo teacher di kelas saya.

Mengapa?

Umumnya, siswa menilai SKI subjek yang amat membosankan, susah, dan tidak menarik. Akan tetapi, Asni berhasil keluar dari spektrum itu dan berhasil menyajikan pembelajaran SKI dengan begitu menyenangkan. Sejak lima menit pertama ujian sampai akhir jam belajar, peserta didik masih riang, aktif dari satu aktivitas kelompok beralih menyelesaikan evaluasi berbasis games. Asni cerdik memanfaatkan jam belajar krusial dengan kecenderungan siswa seusia kelas tujuh yang umumnya menyukai games.

Apa penilaian saya pada Asni berlebihan? Tidak. Inilah pengalaman pertama saya menjadi Guru Pamong di mana pada akhir sesi, beberapa siswi menangis sebab Asni pamit bahwa hari ini adalah kesempatannya mengajar yang terakhir. Ada yang memeluk Asni, meminta tanda tangan, dan apalah lagi saya tidak tahu karena izin lebih dahulu meninggalkan kelas beberapa menit setelah bel berbunyi.

Kepada Dosen Pembimbing Asni, Eka Naelia Rahmah, MA saya sampaikan harapan agar Asni diarahkan konsentrasinya untuk mengambil SKI sebagai subjeknya nanti. Feel Asni sebagai guru SKI sudah dapat sejak ia baru mengikuti program PLP. Saya percaya, semua guru dengan mengampu subjek apa pun harus kreatif, inovatif, dan adaptif dengan perkembangan teknologi. Asni sudah cukup potensial di sini.

Eka Naelia Rahmah, MA yang juga dosen SKI, semoga melihat Asni seperti penilaian saya hari ini.

Selamat Asni. Setelah menyelesaikan kuliahmu nanti, pulanglah. Makassar butuh guru SKI seperti kamu. Kamu bukan pseudo teacher, kamu autentik teacher.

Rabu, 24 September 2025

Catatan guru SKI. Cepat sekali waktu bergulir. Rasanya usia sudah di ujung karier.



Dari kiri ke kanan: Artawijaya, Pustaka Al-Kautsar (moderator), Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), dan Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun) dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

PADA Kamis, 4 September 2025, permohonan wawancara melalui pesan WA masuk ke ponsel. Dikirim oleh seorang guru SMA Swasta di Depok.Wawancara dibutuhkan untuk siswa yang sedang mengikuti program Exploring Dream Career. Siswa kelas 10 di sekolah tempatnya mengajar sedang membutuhkan narasumber penulis non-fiksi.

Semula ingin menolak. Pertimbangannya sederhana, rasanya belum pantas menerima permintaan wawancara untuk tema kepenulisan. Hanya karena wawancara itu untuk membantu siswa yang sedang menggarap programnya; “Exploring Dream Career“, tak kuasa menolak. Menolaknya, seperti menolak siswa sendiri. Apatah lagi, siswa ini ingin menjadi penulis.

Rabu, 10 September 2025, di lobby Madrasah Pembangunan, wawancara berlangsung hangat. Untunglah, diizinkan pula menggunakan ruang lobby yang nyaman itu untuk sesi wawancara ini. Beberapa pertanyaan kunci dan penting susul menyusul. Beberapa di antaranya soal trik, tips, dan jadwal menulis.

Saat ditanya, apakah punya jadwal khusus menulis? Saya jawab, tidak. Menulis bisa kapan saja dan di mana saja. Di kelas, di sela-sela menunggui murid mengerjakan ulangan, itu kesempatan menulis. Di kereta atau di atas pesawat saat perjalanan jauh, “jari-jari bergerak sendiri”. Apalagi pada waktu-waktu senggang, di situlah “keyboard menulis dengan sendirinya”.

Soal ide menulis, bila badan, otak, dan hati sedang fresh apa saja bisa ditulis. Tinggal dipilih, ide mana yang paling menarik dan punya values untuk diselesaikan. Jadi, waktu dan ide menulis itu fleksibel. Adakalanya ia datang sendiri tanpa diundang, adakalanya, diundang pun ia tak datang-datang. Akan tetapi, menulisnya tidak berhenti, terus saja mengalir seperti air.

Saat ditanya, apa modal utama agar bisa jadi penulis? Saya memilih modal yang paling murah; banyak membaca, telaten mengamati dan menghayati peristiwa serta fenomena, dan pengalaman melakukan sesuatu. Buku-buku fiksi maupun non-fiksi saya lahir dari sini.

Ada satu hal yang lupa saya sebut saat wawancara; yakni tidak buta huruf. Maksud dengan tidak buta huruf adalah punya skill menulis dan mau menulis. Bila skill menulis bagus tapi tidak mau menulis, tidak akan lahir itu tulisan barang satu kalimat pun. Bila kemauan menulis begitu besar yang besarnya segede gaban pun, tapi skill menulis belum punya, yang lahir cuma pertanyaan-pertanyaan: saya mau nulis apa, ya? Mulainya dari mana, ya? Setelah ini, apa lagi, ya? Kok, gak jelas gini, ya kalimatnya? Dan seterusnya, dan seterusnya. Maka, orang harus belajar dan berlatih menulis agar punya skill yang memadai untuk mewujudkan harapan menjadi penulis.


Nuraini Razak (disamping kanan saya) dan dua rekannya mendampingi sesi wawancara, Rabu 10 September 2025. Foto milik Nur Aini Razak.

Saya hampir setuju seratus persen, bahwa menulis itu bukan bakat, melainkan keterampilan. Karena menulis itu keterampilan, maka untuk menjadi terampil menulis, orang harus tekun belajar dan berlatih. Apa perlu punya guru menulis? Perlu, meskipun dengan autodidak orang bisa menjadi penulis, seperti HAMKA misalnya. Masalahnya, tidak semua orang bisa seperti HAMKA dalam hal tulis menulis.

Sesi wawancara cukup panjang. Sepersepuluh isinya disinggung di sini. Abéng Teubri, fotografer madrasah berbaik hati mengambilkan gambar kami di akhir sesi. Bila sesi foto di tangan ahlinya, yakin, tidak ada ada foto yang “tidur” sambil berdiri.|

Sabtu, 13 September 2025, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok menggelar acara “Peluncuran Buku & Workshop Konten Digital”. Buku Kumpulan esai “Menjaga Nyala Api Pembaruan” tulisan kader-kader Muhammadiyah Depok diluncurkan dan dibincangkan.

Menyumbang tulisan berjudul Hilf al-Fudhul di Tanah Jawa dalam buku ini, sejujurnya untuk menjawab tesis “organisasi adalah perkara bid'ah yang tidak ada pada masa Nabi” yang sering dituduhkan sebagian saudara dari manhaj sebelah. Faktanya, pada usia 20 tahun, Muhammad SAW sudah berorganisasi sebelum diangkat menjadi rasul dengan keterlibatan beliau dalam Hilf al-Fudhul. Hampir semua kitab-kitab sirah menyinggung Hilf al-Fudhul. Jadi, dengan pendekatan sejarah, Hilf al-Fudhul sejatinya sudah menggugurkan tesis di atas.

Hanya saja, boleh jadi karena persoalan teknis, keterbatasan waktu, dan sumber daya, saat sesi perbincangan, buku “Menjaga Nyala Api Pembaruan” hanya dibincangkan “tipis-tipis”, bahkan terlalu tipis. Lain waktu, buku ini perlu dibedah lebih fokus, agak serius, laiknya acara bedah buku di mana yang dikupas benar-benar isi buku. Buku itu dikupas seperti menguliti mangga hingga keluarlah dagingnya.

Satu hal yang merisaukan, kesadaran literasi—dalam konteks menulis dan segmentasi perbukuan—anggota Persyarikatan Muhammadiyah Depok di semua level belum menampakkan kepedulian yang berbanding lurus dengan jargon yang diperkenalkan Muhammadiyah sebagai organisasi “Gerakan Pencerahan” yang gaungnya sampai ke “langit”. Sebagai anggota majelis, kerisauan itu terasa sekali, risau rasanya memanggul jargon “Gerakan Pencerahan” sementara jarak orang Muhammadiyah Depok dengan budaya literasi begitu menganga. Sedangkan pencerahan itu adalah kawan karib literasi. Sesi Tips dan Trik Menulis Sejarah Muhammadiyah Lokal yang saya bawakan pun terasa kurang greget.|

Sabtu, 20 September 2025 kemarin, berkesempatan menghadiri undangan khusus dari Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Acara bertajuk Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Acara yang digelar di Ruang HB Jassin, Lt. 4 Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat agak unik bila dilihat dari angka 3 dan 6. Angka 36 usia dan milad Pustaka Al-Kautsar, angka 63 usia dan milad Pak Tohir, owner Pustaka Al-Kautsar. Dua angka yang unik dan keren bila dibolak-balik; 36 dan 63.

Undangan dikhususkan untuk para penulis, penerjemah, komikus, dan keluarga besar Pustaka Al-Kautsar. Meskipun sejak 2017 belum menulis lagi untuk penerbit ini, dihubungi via telepon oleh Ustaz Artawijaya untuk hadir, hati rasa berkembang-kembang, artinya saya masih direken. Ustaz Artawijaya, editor buku saya “Kiai Kocak vs Liberal” masih ingat saya. Ahahaha …

Sepanjang pulang, di atas Commuterline, buku “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” serius saya baca. Dan, tersentaklah saya, ternyata keluarga besar Pak Tohir itu masih ada aroma-aroma Muhammadiyah-nya, kuat aroma Al-Irsyad-nya. Boleh jadi, keluarga besar dari Hadramaut, Yaman, dari etnis Masyaikh ini sangat dekat dengan pemikiran Syekh Ahmad Surkati, ideolog Al-Irsyad dan pemasok pikiran-pikiran tajdidiyah. Jadi, ada dua arus pemikiran keagamaan keluarga besar Pak Tohir; Al-Irsyad dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah dan Al-Irsyad memang punya hubungan historis yang cukup akrab. Dikisahkan, dalam perjalanan kereta api menuju Surabaya, Syekh Ahmad Surkati tertarik untuk berkenalan dengan seorang pemuda yang saat itu sedang membaca Majalah Al-Manar. Anak muda itu adalah KH. Ahmad Dahlan. Kedua tokoh ini kemudian menjalin persahabatan.

Keduanya, bahkan sempat mendiskusikan rencana mendirikan Muhammadiyah. Diskusi mereka berlanjut pada surat resmi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kepada Syekh Ahmad Surkati pada Maret 1938 berisi pertanyaan tentang al-din, al-dunya, sabilillah, dan qiyas. Kalangan Irsyadi menyebut jawaban Syekh Ahmad Surkati untuk surat resmi ini sebagai “Fatwa kepada PP Muhammadiyah.” Muhammadiyah sendiri menggunakan jawaban Syekh Ahmad Surkati itu sebagai salah satu acuan dalam Sidang Tarjih 1938. Pada 1941, PP Muhammadiyah juga menulis kesannya, “… pandangan-pandangannya (Ahmad Surkati) memperkuat dan mendorong kebenaran perjuangan Muhammadiyah.”

Sebaliknya, Syekh Ahmad Surkati menyebut KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah Ahmad dan Nashiruddin Dahlan. Syekh Ahmad Surkati mengatakan, “… Mereka mengembangkan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah dan pembela agama yang cerdik.” (Siaran Majelis Dakwah Al-Irsyad, No. 4, 1973, hal. 22-35; lihat juga Himpunan Putusan Tarjih, PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 1967, hal. 275-277). Narasi ini bisa dibaca pada https://www.alirsyad.or.id/ahmad-surkati-al-irsyad-dan-muhammadiyah/.

Ayah Pak Tohir, Allahuyarham Mochamad Bawazir adalah orang yang supel dalam bergaul dengan banyak tokoh agama Cilacap, baik dari kalangan NU, Masjumi maupun Muhammadiyah dan sering mendiskusikan soal-soal agama (hal. 18). Ini menunjukkan, bahwa ayah beliau adalah sosok yang sangat terbuka dalam pemikiran keagamaan.

Lebih dari itu, paman Pak Tohir, Allahuyarham Umar Bawazir adalah aktivis Muhammadiyah Kabupaten Cilacap sejak zaman Kolonial Belanda. Umar Bawazir bahkan berinteraksi dekat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman, putra terbaik Muhammadiyah. Akhir hayat aktivis Muhammadiyah ini patut disebut heroik, patut disebut syahid. Umar Bawazir dituduh “ekstremis”, dituduh musuh negara. Peristiwanya berlangsung pada Agresi Belanda II kisaran 1947-1948 (hal. 12-13). Umar Bawazir dikabarkan di buku Pak Tohir ini gugur ditembus peluru Belanda sebab tuduhan “londo ireng”, alias pribumi Jawa yang berkhianat menjadi kaki tangan Belanda. Innā lillāhi wa-innā ilaihi rāji‘ūn.|

Buku “Menerbitkan Kebenaran” bukan saja enak dibaca. Bahasanya mengalir. Bangunan narasinya hidup, seakan melibatkan pembaca masuk dalam setiap peristiwa. Untuk hal ini saya tidak heran, sebagai buku otobiografi di tangan seorang dengan literasi menulis yang sangat kental, menulis bukanlah soal, meskipun Pak Tohir sendiri berkata menulis itu pekerjaan susah. Akan tetapi, pekerjaan susah di tangan orang yang tepat, ia menjadi mudah.

Menghadirkan pembicara sekelas Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun), dan Ust. Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), “Menerbitkan Kebenaran” menjadi lebih hidup. Hikmat Kurnia menyebut buku ini dengan kalimat sederhana, ”Membaca Pustaka Al-Kaustar, ya, membaca Pak Tohir. Membaca Pak Tohir, ya, membaca Pustaka Al-Kautsar”.

Buku di mata Hikmat adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

Sudat pandang Hadi Nur Ramadhan mengingatkan saya soal kriteria buku yang bagus menurut Bambang Trim. Meskipun Hadi beranjak dari Komik “Alam Kubur” karya Abu Mahdi—nama pena Pak Tohir—tapi kriterianya ngena banget. Hadi pernah memberikan komik itu kepada seorang perempuan di sebuah tempat. Perempuan itu mengenakan rok pendek—kata Hadi, dia tidak melihat paha perempuan itu, ia hanya tahu paha perempuan itu terbuka. Haaa, dasar anak muda.

Melihat judul komik itu, perempuan itu berujar, “Mas, judul bukunya serem, ya.” Entah apa yang ada di benak Hadi, diberikannya komik itu kepada perempuan ini. Hadi mengaku punya kebiasaan mencantumkan nomor HP pada semua koleksi bukunya. Apa yang terjadi, tiga bulan setelah itu, Hadi menerima telepon dari perempuan ini yang mengaku ia sudah mengenakan hijab, tergugah dari komik Abu Mahdi. Maka, bila saya sambungkan dengan kriteria buku bagusnya Bambang Trim, buku bagus itu punya tiga daya; daya pikat, daya gugah, dan daya ubah. Hadi mengabarkan kepada kita bahwa komik “Alam Kubur” punya daya pikat, daya gugah, dan daya ubah.

Apakah otobiografi “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” punya tiga kriteria tadi? Saya butuh waktu untuk menyelesaikan membacanya. Akan tetapi, daya pikat sudah tampak dari cover-nya yang artistik.


Artawijaya dan Ahmad Faris BQ dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Ahmad Faris BQ, penulis buku “Letters From Turkey” terbitan Salsabila, melengkapi substansi bedah buku Pak Tohir. Faris punya Islamic Historical Style yang sangat kuat sepanjang mengisi 20 menit bicara. Boleh jadi karena saya mengampu Sejarah Kebudayaan Islam di madrasah tempat saya mengajar, menikmati betul gaya Faris hari itu. Gaya Faris bicara kemarin, plek ketiplek dengan bahasanya yang renyah dalam “Letters From Turkey”. Kecerdasan verbalnya sama persis dengan kecerdasan penanya.

Sense of humor Faris juga hidup. Saat doktor lulusan Hubungan Internasional, Universitas Ankara, Turki ini bercerita tentang dialog seorang anak pada bapaknya penganut teori Darwin dan ibunya penganut paham Adam dan Hawa perihal dari mana asal-usul mereka, seperti membawa pulang tawa dari Taman Ismail Marzuki untuk diulang di kamar tidur.


Berada di antara para penulis Pustaka Al-Kautsar pada Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bedah buku yang berkesan di akhir pekan. Begitulah seharusnya buku dibincangkan. Alfu mabruk untuk Pak Tohir dan Pustaka Al-Kautsar. Selamat Milad ke-63 dan ke-36. Semoga bertambah berkah sebab menjaga nyala api literasi untuk mencerdaskan umat. Ini seperti momen literasi untuk saya dan Pak Tohir.|

Ahad, 21 September dengan rinai hujan yang berserak-serak.
Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Kavling Mufaraqah
  • Hari Guru dan Labirin Low Politic
  • "MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"
  • 5 Alasan Santri Harus Menulis
  • Hikayat Teman Ngopi yang Tertukar
  • Secangkir Kopi Pahit Mengurai Salah Fatal
  • Three Cycles of Certainty
  • Autentik Teacher
  • Momen Literasi Dan Pak Tohir
  • Rindu

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Blog Archive

Subscribe

Popular Posts

  • Kavling Mufaraqah
  • Hari Guru dan Labirin Low Politic
  • "MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Copyright © Rumah Literasi. Designed & Developed by OddThemes