Gadis kecil itu Dyah namanya. Nama yang cantik, secantik rambut, paras, dan suaranya. Dan, lesung pipinya menggemaskan saat tersenyum. Belum lagi matanya yang jeli dengan buku mata yang lentik, mirip bulu mata burung unta. Tahi lalat hitam legam di kelopak mata kirinya, menguatkan citra wajah Dyah yang kian elok. Kakinya ramping, serasi dengan tubuhnya yang kurus. Sempurna. Sayang, potensi fisik Dyah sedemikian rupawan itu, harus berkeliaran di belantara kehidupan yang keras. Tumit kaki rampingnya yang keseringan tidak bersandal pecah-pecah, kusam, dan kering.
Kaki Dyah lincah menyusuri kehidupan keras jalan beraspal beton sepanjang stasiun kereta Depok yang panas. Atau menerobos hiruk-pikuk terminal dan pasar lama yang bising. Keringat dan debu menyatu di tumitnya pada kemarau yang gerah atau lumpur pasar saat musim penghujan mengundang becek yang bau. Itu sebabnya tumit Dyah jadi jelek dan kusam.
Namun Dyah tidak peduli akan kecantikan fisik. Tumit yang cantik biar selaras dengan wajahnya bukan impian. Beban hidupnya sudah teramat berat. Gadis kecil itu tidak pernah disadarkan dari sekadar memikirkan kecantikan tumit. Lagi pula, tumit baginya adalah takdir bahwa ia harus menapak di tanah meski tanah kotor berlumpur. Dengan tape recorder yang digendongnya, Dyah mengamen di stasiun, pasar, atau di tiap perempatan lampu merah. Uang receh atau selembar dua lembar ribuan yang sudah kumal dia kumpulkan. Itulah ‘kecantikan’ tumit yang dihasilkan dari langkah kaki yang kepanasan dan kehujanan itu.
“Dyah tidak sekolah?” tanyaku waktu itu sambil menunggu kereta ke Kota.
Aku memang rutin ke Kota tiap dua pekan untuk urusan masa depanku. Hari itu aku berbincang tentang sekolah, topik yang selama ini aku simpan tiap kali bersama Dyah. Sekian lama menyimpannya, akhirnya aku tanyakan juga sebelum jadwal keretaku tiba dan kami berpisah.
Aku memang rutin ke Kota tiap dua pekan untuk urusan masa depanku. Hari itu aku berbincang tentang sekolah, topik yang selama ini aku simpan tiap kali bersama Dyah. Sekian lama menyimpannya, akhirnya aku tanyakan juga sebelum jadwal keretaku tiba dan kami berpisah.
“Tidak, Om. Dyah harus ngamen.”
Tiba-tiba aku merasa bersalah pada sistuasi yang aku ciptakan sendiri. Pertanyaanku bisa jadi menusuk perasaan Dyah, gadis kecil korban ketidakadilan yang mencolok di pojok-pojok stasiun yang pengap. Dyah bagian dari anak-anak miskin berkeliaran kehilangan aksara karena tidak sekolah. Kehilangan gembira karena harus mengamen. Kehilangan harga diri karena harus mengemis atau dipaksa mengemis. Kehilangan nilai karena harus nyopet atau dipaksa menjadi copet. Tidak jarang, mereka kehilangan iman karena dimurtadkan. Dyah benar-benar anak “yatim sosial” dari sistem ekonomi yang memiskinkan mereka.
“Ngamen, kan bisa sore.”
“Lagi pula, Dyah enggak mau sekolah.”
“Nanti, Om bisa bantu carikan sekolah gratis. Sekolah itu penting. Paling enggak, Dyah bisa bertemu teman-teman, bisa belajar dan bermain bersama-sama,” kataku.
Aku mengira Dyah tidak mau sekolah karena urusan biaya. Bisa jadi karena persoalan itu, pertanyaanku tidak juga dijawab dengan segera. Barulah saat aku sedikit mendesaknya, Dyah bicara lagi.
Dyah mengaku, dia pernah mengikuti sekolah relawan di terminal. Dyah senang sekali. Dari sana Dyah bisa membaca dan berhitung. Dyah juga mengenal dunia luar dari buku cerita yang dibacanya tiap kali sekolah usai. Hanya saja, sedang asyiknya dia belajar, sekolahnya digusur. Teman-temannya bubar tidak kembali lagi. Guru relawannya pun pergi entah kemana.
“Enggak, Om. Makasih. Dyah mau mondok saja. Ingin nyantri.”
Aku surprise. Jadi, ini masalahnya.
“Dyah mau mondok?” tanyaku menegaskan. Aku takut salah dengar.
“Iya.”
“Kenapa enggak sekolah umum saja?”
“Biar ngerti agama.”
“Oh, begitu.”
Aku tersenyum. Jawaban Dyah yang ingin mondok agar ngerti agama, menurutku jawaban dewasa dan logis dari anak seusia Dyah. Memang demikian silogisme berlaku jika ingin mengerti agama, harus nyantri, harus mondok, tidak belajar di sekolah umum. Apalagi terus berkubang di sekitaran stasiun, terminal, dan pasar.
Keretaku hampir datang. Pengumuman dari kepala stasiun menggema bahwa kereta jurusan Kota akan segera tiba dalam lima menit. Kulihat calon penumpang mulai berdiri merapat mendekati peron.
“Oh, iya, Om. Dyah mao tanya.”
“Tanya apa?”
“Apa sih arti, Isy kariiman aw mut syahiidan?”
“Dapat dari mana dapat kalimat itu?”
“Kemarin, di kereta ada kakak-kakak pakai jilbab. Mereka ngomong, tapi Dyah enggak ngerti bahasanya. Terus, Dyah hafal kalimat itu dari mereka. Artinya apaan, Om?”
Kepada Dyah aku jelaskan. Pendek saja. Dyah mengangguk.
Belum sempat aku melanjutkan obrolan, Dyah pamit pergi. Dyah bilang dia harus bawa uang lebih hari itu. Katanya ada tetangganya yang sedang sakit. Dyah ingin membelikannya obat.
Ya Tuhan. Gadis kecil itu sungguh berhati emas.
Mataku panas, lalu lembab. Aku merembes. Hampir saja air mataku jatuh sebelum aku sambar dengan selembar tisu. Aku seperti sedang diberi kuliah surah Al-Maun oleh seorang gadis pengamen. Sesak sekali dadaku rasanya.
Kuraba dompetku. Kuambil selembar lima puluhan.
Dyah keras kepala. Anak itu tidak pernah mau menerima uang pemberianku. Sejak dulu, sejak pertama kali kami bertemu dan bersahabat. Dia bilang, untuk dapat uang, orang harus kerja. Jangan meminta atau mengharap belas kasih orang. Tuhan memberikan otak, tangan, dan kaki untuk bekerja. Jika otak, tangan, dan kaki tidak digunakan bekerja tetapi dapat uang, itu bukan rezeki, itu barang temuan, bukan hak milik.
Aku seperti ditampar dipermalukan. Aku, heran, siapa yang mengajari Dyah prinsip hidup demikian mandiri itu. Dia bukan saja tidak mau mengemis, tapi juga menolak pemberian.
“Dyah, uang ini bukan untukmu. Om titip bantu belikan obat untuk tetangga Dyah. Terimalah.”
Dyah ragu. Gadis kecil itu menatapku. Aku meyakinkannya setengah merajuk.
“Kalau Dyah menolak, sama saja menutup jalan buat Om berbuat baik.”
Dyah menyerah.
Gadis kecil itu berlalu. Senyumnya dititipkan padaku, manis sekali. Aku menikmatinya dengan bangga sebab Dyah telah memberiku pelajaran hidup hari itu. Entah, pengalaman hidup apalagi yang didapatnya hari ini.
Keretaku tiba. Aku terbang di atas rel meninggalkan Dyah yang sudah menghilang.
Bersambung ...
0 Comments
Posting Komentar