ENTAH di mana Dyah sekarang. Aku ingat-ingat, sudah hampir dua puluh tahun lebih aku tidak menjumpainya lagi di stasiun sejak aku lulus kuliah. Hari ini aku merindukannya karena putriku menjadi jembatan penghubung kenangan itu. Hari terakhir bertemu Dyah, usianya lebih kurang seumuran putriku sekarang. Aku benar-benar rindu warna rambut dan suara cengkoknya saat ia mengamen. Lebih-lebih, aku rindu pikiran dewasanya.

Aku merasa Commuterline masih melaju kencang. Aku tengah terbuai melamunkan Dyah. Hingga kecepatan kereta mulai diturunkan masinis, aku masih melamunkan gadis itu yang kubayangkan dia sudah menjelma menjadi gadis dewasa. 

Suara gesekan roda kereta di atas rel berdenyit, disusul aroma besi terbakar menyeruak menyadarkanku. Rupanya stasiun tujuanku sudah hampir sampai. Commuterline melambat. Tapi aku masih seperti sedang bercengkrama dengan Dyah, sementara putriku sudah berdiri bersiap-siap untuk turun.

“Ayah, sudah sampai!” seru putriku mengingatkan.

“Oh! Sudah sampai?”

“Eh, Ayah ngelamun, ya?”

“Ah, eng ... enggaak,” kataku salah tingkah. “Ayo turun!” kataku menghapus jejak lamunan di rona wajahku yang memerah.

Ya, aku melamun, melamunkan Dyah sejak dari Stasiun Depok Baru hingga Pasar Senen. Begitu dalam aku melamunkannya. Aku melamunkan sekolahnya. Jika Dyah benar-benar jadi nyantri, mungkin Dyah sudah jadi santri senior atau bahkan sudah menjadi ustadzah di pondok. Hari ini, saat aku mengantar putriku kembali ke pondok setelah liburan semester, seolah aku sedang mengantar Dyah meluluskan harapannya menjadi santri seperti keinginannya dahulu.

Aku melamunkan lagi uang lima puluh ribu pemberianku buat membeli obat tetangganya yang sakit. Susah payah aku memaksa sampai Dyah menerima uang itu. Ini yang benar-benar aku lamunkan, bagaimana bisa, Dyah yang susah payah mencari uang untuk sesuap nasi dengan mengamen, tetapi masih memikirkan buat meringankan beban orang lain?

Empati Dyah yang sedemikian itu aku perbandingkan dengan putriku. Sering perbandingan itu berakhir dengan ketakutan. Aku takut, putriku yang menikmati pendidikan dan buaian, serta pendampingan dari Ayah Bundanya, tidak memiliki empati seperti Dyah yang lahir dari keterbatasan-keterbatasan. Bila itu terjadi, aku tak menyalahkan putriku, melainkan kegagalanku sebagai orang tua.

Sebab itulah aku begitu bersemangat saat putriku memutuskan untuk memilih pondok selepas lulus SD. Boleh dibilang, ini keputusan berani dari putriku yang ‘rumahan’ memutuskan berpisah dari keluarga dalam ukuran jarak sejauh Depok-Yogyakarta. Kerap aku membayangkan, malam-malam putri pertamaku ini menelpon sambil menangis minta dijemput pulang. Atau ngambek tidak mau kembali ke pondok saat liburannya usai. Betul, aku betul-betul khawatir itu terjadi. Tapi rupanya tidak. Aku senang karena putriku kerasan. Aku bangga padanya. Aku juga bangga pada pondoknya yang berhasil mengikat hati putriku.

Antrian mengular. Boarding terasa melelahkan. Akhirnya sampai juga di pintu boarding pass. Aku keluarkan KTP dan tiket. Namun sedetik kemudian aku terkejut.

“Pak, maaf. Jadwal keberangkatan Bapak, baru esok malam,” kata petugas.

Putriku yang berdiri di samping kaget. Aku bahkan lebih kaget.

“Hah?”

“Iya. Ini lihat. Di tiket Bapak, tertulis keberangkatan tanggal 12 pukul 09.00. Sekarang, kan baru tanggal 11, Pak.”

“Astaghfirullah!”

Aku hampir tidak percaya. Aku seperti orang yang tengah tidur nyenyak dibangunkan keras-keras. Kaget, bingung, linglung, dan tidak percaya jadi satu. Aku bahkan merasa seperti orang yang tidak bisa membaca tanggal keberangaktan. Aku bolak-balik tiketku, kubaca berkali-kali jadwal keberangakatan, seakan-akan bisa mengubah waktu keberangkatan menjadi hari ini. Berkali-kali aku lakukan itu. Tapi, semua tak mengubah segalanya. 

Dalam hati, aku mengutuki costumer service tempat aku membeli tiket. Jangan-jangan, dia salah memasukkan tanggal keberangkatan saat aku memesan. Tapi, apa iya? Bisa jadi malah aku yang salah memilih tanggal. Ya, Tuhan. Mengapa bisa jadi misschedule begini?

Kupandangi putriku yang masih terlihat kebingungan.

“Kak, Ayah enggak ngerti. Kita salah jadwal. Jadwal keberangkatan kita besok malam,” kataku.

“Terus? Kan, besok kakak harus sudah masuk pondok, Yah. Gimana dong?”

“Ayah akan telpon mudir. Ayah akan jelaskan alasan keterlambatan Kakak masuk pondok. Ini bukan kesalahan Kakak, kok. Ini kesalahan ayah saat memesan tiket.”

Malam itu kami kembali ke rumah dengan menyisakan pertanyaan sederhana yang tidak bisa aku pecahkan tentang muisschedule itu.[]