Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

HARI-hari ini begitu melelahkan nalar. Banyak hal yang membuat sakit hati datang beruntun. Ambiguitas begitu gampang muncul dari sumber paling dekat di sekitar kita. Kadang begitu menusuk, mengoyak jantung sampai ke dasarnya yang paling dalam. Luka yang ditimbulkannya sukar ditutup perban argumentasi. Darah yang keluar memerahkan hampir semua dinding luka yang menganga.

Soal apa ini? Ini soal rasa kemanusiaan. Kalaulah malu untuk dikatakan soal ukhuwwah islamiyyah, soal kesetiakawanan iman, atau soal simpati dan empati atas dasar ihsan. Sebut sajalah sekali lagi soal kemanusiaan, biar terkesan tidak eksklusif dan berbau radikal.

Siapapun boleh setuju, boleh juga tidak. Manusia modern dengan perangkat IT yang canggih sebagai alat telusur informasi namun memilih gagap, seperti membayangkan gagapnya manusia zaman batu memegang gadget, itu naif beribu naif. Sembarang menyebut sesuatu sebagai hoax di tengah kemudahan mengakses informasi sambil mendengkur, adalah contoh kegagapan dan kenaifan level paling rendah. Saya bisa memilih redaksi sedikit lebih halus buat mengungkapkan soal gagap dan naif ini. Tapi saya lebih memilih diksi radikal daripada kemayu untuk soal kemanusiaan yang mengoyak nurani.

Masih belum mengerti? Mengertilah, ini soal darah, soal kehormatan, soal nasib saudara seiman, soal hidup mati mereka di tangan para zalim durjana. Di mana pun. Tidak harus di provinsi Xinjiang, tanah kelahiran Muslim Uyghur. Dahulu, Xinjiang adalah wilayah kekuasaan Dinasti Ottoman, Turki, yang direbut bangsa Cina. Jadi tidak heran jika Uyghur mayoritas muslim sekaligus minoritas etnik Cina yang sekarang sedang menjadi perhatian dunia.

Uyghur begitu sering disebut banyak orang dalam setahun terakhir. Mengundang simpati begitu banyak pihak selain penguasa Cina sebagai pihak yang disorot karena dugaan melakuan genosida atas etnis Uyghur. 22 negara telah mengecam Cina. Semuanya negara sekuler, ramah LGBT, dan banyak penduduknya yang ateis dan agnostik. Tidak ada Indonesia dari 22 negara itu. Mengapa? Tak tahulah. Mungkin sedang mendengkur sehabis nonton film Kungfu Master sampai larut. Atau sibuk membuat stempel "Uyghur is Hoax" yang dirafalkan seperti mantra pengusir roh jahat.

Ukhuwwah seperti membeku dalam freezer di mana iman tak cukup lagi memprovokasi buat memanaskan lisan sekadar mengucap kata prihatin. Malah sebaliknya, biarpun sesama muslim, banyak orang sinis mendengar solidaritas Uyghur disebut-sebut. Tidak sedikit pendidik dan penyeru kebajikan di atas mimbar, nyatanya tertinggal dari seorang Ozil penyepak bola yang tak terampil berceramah sambil mengutip kitab suci dan qaul Baginda Nabi. Ilmu sepak bola Ozil lebih mendidik mengajarkan empati meski ia jarang mengenakan sorban. Menyakitkan memang, tapi beribu kali lebih menyakitkan nasib saudara kita muslim Uyghur dengan seabrek testimoni dari komunitas berkemanusiaan.

Kebekuan ukhuwwah sudah sampai pada taraf 'ndablek'. Ada entitas yang mempersoalkan mazhab yang dianut muslim Uyghur hanya untuk sepotong empati. "Apakah muslim Uyghur bermazhab salaf? Bukankah kita dilarang duduk satu majlis dengan ahlul bid'ah?" 

Ya Rabb, ini ada apa sih sebenarnya dengan makhluk yang katanya paling mulia penciptaannya? Bukankah tidak ada produk gagal dalam setiap penciptaan-Mu Ya Rahman?

Aneh ya, gregetan kita seperti salah tempat dan harus tumpah pada sesama muslim untuk urusan hidup mati saudara muslim kita yang lain. Bagaimana pun juga, ini tidak elok, seperti tidak eloknya Gus Yaqut 'digaplok' Emak-emak dalam urusan simpati pada muslim Palestina.
"Lalu kau pikir, dgn berkalung kafieh, Palestina tiba2 merdeka gitu? Jaaan .... plelekthek tenan dengkulmu!" tulis Gus Yaqut pada akun@GPAnsor_Satu.

Kireina, pemilik akun @Umnia77 membalas dua kali lebih sadis cuitan Gus Yaqut.
"Lalu kau pikir, dg brbaju loreng2, nyawer dangdutan, ngawal gereja, bubarin pengajian .. Israel akn insyaf gitu?"

Apakah ukhuwwah memang sudah sebeku itu hingga amunisi seperti milik Kireina harus dinyalakan untuk mencairkannya terus menerus?

So, empati pada penderitaan yang menimpa kemanusiaan memang hanya menyembul dari kedalaman hati nurani. Keadaan memaksa empati tidak harus angkat bedil lalu diarahkan tepat di jidat penguasa Cina. Cukup jangan bilang hoax masalah Uyghur atau minimal tutup mulut rapat-rapat tak usah bersuara, daripada menunjukkan rendahnya literasi empati secara verbal di depan khalayak dengan keyword 'hoax'.

Semoga hati nurani itu masih bersuara di zaman akhir sebelum kiamat, puncak segala penyesalan diratapi.

Selamat rihat.
Meruyung, Kamis 19 Desember 2019.