Abdul Mutaqin (Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta)

SHAMSI Ali; Grand Imam Islamic Cultural Center, New York, 96th Street and 3rd AV Manhattan. Ketua Yayasan Masjid Al-Hikmah, Queen, New York. Direktur Jamaica Muslim Center New York. Anggota Board of Directors dan Senior Vice Chairman The Muslim Foundation of America, Inc. Pendiri The Imams Council of New York City (ICNYC). Ambassador of Peace dari International Religious Federation pada 2002. Anggota Majelis Syuro para imam di New York.

Bertemu dan mendengarkan ceramah Grand Imam Masjid New York, USA, Imam Shamsi Ali terasa dicerahkan. Lebih dari lima tahun mengikuti kiprah dakwah beliau lewat media, saatnya bertemu, menderas langsung pemikirannya tanpa sekat online.

Menyimak ceramah inspiratif Imam Shamsi sepanjang satu jam lima belas menit tak terasa menjemukan. Sesuai kapasitasnya, topik yang diurai masalah pelik menyangkut persoalan mendasar yang belakangan diabaikan segelintir kaum intelek muslim, khususnya di Indonesia. Saya sungguh beruntung bisa hadir di forum Imam Shamsi sebagai undangan.

Satu hal yang diurai Imam Shamsi dengan amat lugas adalah persoalan Islamic Worldview. Ini salah satu kelemahan umumnya umat Islam. Seharusnya, Islamic Worldview menjadi identitas seorang muslim yang paling autentik, menjadi karakter. Takdir manusia di bumi adalah khalifah. Dan Islamic Worldview, menghendaki seorang muslim mengambil peran sebagai penentu. Dia tidak boleh inferior, tidak punya kepercayaan diri, minder. Tidak boleh.

Dalam dunia akademis, penjelasan Imam Shamsi ini sangat penting bila dikaitkan dengan fenomena pelajar muslim yang belajar di Barat atau Amerika. Banyak dari mereka kehilangan identitas sebab mengadopsi pola pikir yang sudah terbaratkan (westernized). Dari A sampai Z, framework berpikirnya, termasuk dalam pemahaman tentang Islam, pun Islam dalam Worldview Barat Kristen.

Sosok intelektual yang salah pakai baju dalam pemikiran Barat atas Islam banyak terjadi. Islamic Studies yang ditawarkan Barat tidak mungkin seperti Dirasah Islamiyah ala Universitas Madinah atau Al-Azhar. Jika diperhadapkan dua lulusan itu, mereka sama-sama belajar Islam, yang satu lulusan Barat, yang satu lulusan Kairo, keduanya pasti punya diferensiasi pemikiran yang mencolok. Yang satu belajar Islam dalam framework Barat, satunya lagi belajar Islam dalam framework Syari’ah. Contoh ekstremnya, lulusan Barat sangat mungkin bisa menerima problematika gay dan lesbianisme sebagai persoalan biasa, fitrah, dan boleh-boleh saja. Sementara yang satu hampir dipastikan berpikiran sebaliknya. 

Di sinilah kiprah sosok Imam Shamsi hadir. Menurutnya, seorang intelektual muslim boleh saja belajar, menetap, bergaul, bahkan mencari penghidupan di Barat atau Amerika. Tetapi karakter autentiknya sebagai muslim tidak harus berubah, pemahaman Islamnya tidak harus berpaling kiblat, bahkan sebaliknya, ia harus bisa mengubah framework dan hegemoni Barat Amerika tentang Islam yang banyak keliru disebabkan memandang Islam sebagai ancaman yang harus dijinakkan. Cara untuk menjinakkannya, salah satunya dengan pendekatan studi pemikiran.

Imam Shamsi menyuguhkan contoh-contoh konkret sejak beliau di Pakistan, Saudi, sampai Amerika, khususnya New York dan Washington DC. Imam Shamsi berhasil mengambil peran membawa pesan Islam yang autentik ke dalam dunia besar meninggalkan kampung kelahirannya Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Open Minded dan Public Speaking Skill

MENYIMAK ceramah Imam Shamsi tidak sedang mendengarkan narasi cerita fiksi tentang Islam yang terbuka, ramah, sekaligus jawaban problem modernitas pluralistik di negeri Paman Sam. Imam Shamsi menyajikan fakta-fakta riil sepanjang menjadi Grand Imam Masjid New York dalam relasi antara Islam, Yahudi, Katolik, Kristen, Hindu, Agnostik, bahkan ateis Amerika. Meski demikian, seakan-akan Imam Shamsi sedang membacakan novel yang ditulisnya sendiri lengkap dengan plot, alur, tokoh, konflik, klimaks, antiklimaks, sampai ending yang memukau.

Dari pergulatan interfaith itu, tidak sedikit Imam Shamsi menjadi sarana hidayah yang mengantar banyak penganut Yahudi, Katolik, Kristen, Hindu, Agnostik, bahkan ateis, memutuskan bersyahadat di hadapan Imam Shamsi. Begitu juga sudah banyak orang Amerika pengidap islamophobia menjadi pembela Islam di tangan Imam Shamsi setelah melalui proses dialog yang sangat terbuka. Sekali lagi, fakta-fakta itu dinarasikan begitu hidup, seperti cerita dalam novel fiksi ilmiah yang sama sekali tidak menjemukan. 

Semua keberhasilan itu tidak lepas dari sikap open minded dan membuka diri untuk berdialog Imam Shamsi. Sikap itu pula yang memecah kebuntuan tiga kelompok muslim yang paling kuat di New York; Afro American, Arab, dan Subcontinent yang ketiganya merasa sebagai yang paling mampu memimpin komunitas muslim Amerika. Imam Shamsi piawai menempatkan diri di tengah yang dapat diterima semua kalangan muslim Amerika, termasuk Afro American, Arab, dan Sub Continent itu.

Didukung kemampuan public speaking Imam Shamsi yang mampu 'menyihir' orang kafir menjadi muslim, pembenci Islam menjadi pembela Islam, bahkan seorang Rabi Yahudi Amerika dibuatnya tercengang lalu mengubah pandangan negatifnya pada Islam setelah intens bertemu Imam Shamsi, adalah anugerah besar. Di sini, dalam persepsi saya, Imam Shamsi berhasil memaknai kemampuan public speaking-nya sebagai guidance dalam konsep learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together dalam masyarakat multietnik seperti Amerika.. Bahwa manusia dengan berbagai ras, bahasa, keyakinan, dan latar belakang sosial, pada dasarnya menyukai harmoni dan membenci disharmoni. Nah, senjata untuk untuk memecah kebuntuan seberat islamophobia sekalipun salah satunya dengan dialog, keterbukaan, open minded, dan public speaking skill seperti yang dimiliki Imam Shamsi.

Role Model yang Literat

Subjektivitas saya sampai pada pengakuan, Imam Shamsi adalah role model intelektual yang memegang teguh Islamic Worldview meskipun beliau hidup dan berkarir di pusat liberalisme dan penganut sekulerisme paling megah; USA. Beliau begitu lentur, tetapi tidak kehilangan identitas. Beliau orang ‘kecil’ berotak besar yang tidak inferior berhadapan dengan hegemoni peradaban Barat Amerika yang sering diagung-agungkan banyak orang yang pada saat yang bersamaan, si pengagung merasa kerdil dan menyerah untuk bisa sejajar dengan peradaban Barat Amerika. 

Seorang role model memang tidak bermental inferior. Dia tidak pernah menundukkan kepala saat berbicara, berdiri sejajar di forum bergengsi, dan leluasa menyampaikan pesan seperti keyakinannya yang dipegang teguh. Critical thinking-nya tetap hidup meskipun sebagai minoritas dalam keyakinan, komunitas, dan pemikiran. 

Imam Shamsi sampai pada capaian sedemikian itu karena budaya literasinya yang kuat. Literasi budayanya pun mengakar dari tanah Bulukumba, Islamabad, Jeddah, New York, dan Washington DC. Intelektualitasnya pun begitu literat. Buah pikir dan tulisan-tulisannya bertebaran di berbagai media. Beberapa buku seperti “Dai Muda di NYC”, (GIP, 2008), “True Love in America”, (GIP 2010), “Sons of Abraham”, (Beacon Press, 2013 USA), “Menebar Damai di Bumi Barat”, (Mizan 2014), “Anak-Anak Ibrahim” (Mizan 2014), dan “7 Tokoh Dunia”, (Gramedia 2016) telah menginspirasi banyak orang.

Anak Bandel 

Imam Shamsi mengaku sebagai anak bandel waktu kecil. Usia SD, sudah jadi 'panglima perang' para penggembala, menggenggam parang berkelahi sesama penggembala lain di kampungnya karena persoalan sepele. Sang ayah terusik, mau jadi apa Shamsi kecil kelak dengan kebiasaan berkelahinya itu jika tidak segera ditangani. Shamsi yang bandel itu lalu dititipkan sang ayah di Pondok Darul Arqam Muhammadiyah Gombara, Sulawesi Selatan.

Di Darul Arqam Gombara itu karakter Imam Shamsi ditempa. Satu hal yang diingat Imam Shamsi dari pondoknya adalah menu makan nasi dengan kecap dan garam, menu yang saat ini mungkin dianggap menu ‘terbelakang’, kurang gizi, menu makanan orang miskin papa. Tapi bagi Imam Shamsi, menu itu dirasakannya sudah luar biasa, menu yang selalu memanggilnya untuk menyicipnya lagi di Amerika.

Manusia memang terombang-ambing dalam qudrah Allah. Manusia tidak berdaya jika sudah berhadapan dengan kehendak takdir-Nya. Seperti Imam Shamsi, 'santri menu kecap', anak bandel itu sudah berada pada takdir berikutnya sebagai Imam Muslim paling berpengaruh di New York, Amerika Serikat. Imam Shamsi adalah a revered Qur'an scholar dan ahli Perbandingan Agama yang fasih berbicara Inggris, Arab, dan Urdu. Pada 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014, Imam Shamsi terpilih sebagai salah satu dari 500 Muslim paling berpengaruh di dunia oleh Studi Islam Royal Center Strategis di Yordania dan Universitas Georgetown. Entah kapan akan lahir lagi 'Shamsi Ali' yang lain seperti Grand Imam Islamic Cultural Center, New York itu.

Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Namun kata kunci dari Lecture with Imam Shamsi Ali adalah memegang teguh Islamic Worldview, open minded, public speaking skill, dan role model yang literat. Kata kunci ini begitu penting untuk menghadapi problem dunia yang kian keras.

Selamat rihat untuk bekal menulis esok hari.

Selasa, 17 Desember 2019
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta.