"Saya heran dengan yang berpayah-payah menulis novel. Padahal beli aja, cuma 80 ribu."
Paragraf pendek di atas adalah kutipan. Tentu penulisnya yang lebih memahami maksud dan tujuannya.
Seorang penulis senior berkata, buku yang baik itu punya daya gugah, daya ubah, dan daya pikat. Rasanya ini berlaku untuk buku apa pun, baik fiksi maupun nonfiksi, atau bukan buku jenis keduanya (fiksi bukan nonfiksi juga bukan) semisal buku tabungan.
Oleh karena buku itu ibarat bangunan ide, gagasan, dan informasi yang disusun secara sistematis, logis, dan runtut maka dia bisa menjadi alat buat menggugah, mengubah, memikat, bahkan bisa menginspirasi sekian banyak orang. Di tangan seorang penulis, buku bisa melahirkan buku, novel melahirkan novel, bahkan sanggup melahirkan penulis-penulis baru.
Sebaris atau dua baris paragraf pun, bisa memiliki tiga daya di atas, bergantung kualitas pesan kepada pembaca. Bahkan bisa jadi efeknya jauh lebih dahsyat daripada membaca sebuah buku. Bayangkan, hanya dalam beberapa detik sebuah paragraf sudah bisa membuat pembacanya tergugah, terpikat, dan lalu mengubah perilaku, berarti begitu efektifnya paragraf tersebut daripada harus membaca 690 halaman 'Ayat-ayat Cinta'-nya Habiburrahman atau "Dunia Sophie"-nya Jostein Gaarder yang setebal 785 halaman.
Untuk beberapa alasan, paragraf "Saya heran dengan yang berpayah-payah menulis novel. Padahal beli aja, cuma 80 ribu." cukup menarik. Meskipun pendek, paragraf di atas tidak mungkin ditulis sekadar ditulis. Ada maksud dan tujuan di balik itu. Seperti sudah disinggung, yang memahami maksud dan tujuannya tentu sang penulis.
Bagi saya, paragraf di atas tidak saya abaikan karena beberapa hal. Pertama, paragraf itu mengubah asumsi sedikit orang bahwa menulis karya fiksi seperti novel itu mudah. Ia mengonfirmasi bahwa menulis novel itu justru tidak mudah. Seorang novelis harus berpayah-payah menulis cerita. Untuk apa berpayah-payah? Untuk menciptakan daya gugah, daya ubah, dan terutama daya pikat pada alur dan plot, karakter, konflik, dan ending cerita yang disajikan. Dan untuk melahirkan novel yang demikian itu dia harus, mengamati, merasakan, merekonstruksi, lalu meramunya menjadi bangunan cerita sesuai konsep yang sebelumnya sudah disiapkan. Singkatnya, menulis novel itu butuh riset. Setelah dilempar ke pasaran, di sanalah nasibnya akan ditentukan. Bisa jadi ada ribuan novel jatuh harganya hanya seperempat dari delapan puluh ribu dengan banyak alasan, salah satunya karena tidak punya daya pikat. Masih beruntung, bisa jadi ada yang benar benar tidak laku meski harga bandrol sudah didiskon berkali-kali.
"Nulis fiksi itu kan gampang. Cuma ngandelin imajinasi doang. Gak perlu mikir."
Paragraf ini juga kutipan. Juga pendek. Tapi sependek itu saja ‘anatomi’ paragraf tersebut, kesan 'kurang ajar' nya panjang, sepanjang dia belum terlupakan. Seharusnya bisa cepat terlupakan, tetapi rupanya, 'daya ganggunya' membuat kesan kurang ajar itu semakin sulit dibuang manakala membaca kutipan paragraf pendek 'berpayah-payah' di atas. Penulisnya bukan orang biasa. Memang seorang penulis buku-buku ilmiah, khususnya fiqih yang menjadi kosentrasi dan keahliannya.
Apa mungkin karena keahliannya yang mentereng itu mendorongnya bersikap ‘tasahul’ dalam menilai dan cenderung meremehkan karya fiksi? Bisa jadi ini hanya asumsi saya, sebab paragraf ini pun hanya sang penulis yang memahami maksud dan tujuannya. Hanya saja hati tetap bertanya, apa mungkin menulis fiksi gak perlu mikir? Cuma ngandelin imajinasi doang? Segampang itukah buat menulis sebuah karya fiksi?
Kedua, harga delapan puluh ribu tidak harus dimaknai sebagai meremehkan nilai sebuah novel. Bisa jadi angka di atas merupakan simbol keprihatinan betapa apresiasi terhadap karya fiksi belum sebanding dengan keringat imajinasi "berpayah-payah" yang sudah diperas dalam proses kreatif sampai novel itu bisa dinikmati pembaca. Lebih prihatin lagi manakala hanya tujuh atau sepuluh persen dari delapan puluh ribu itu yang menjadi hak royalti yang dinikmati penulisnya.
Ketiga, terlepas dari murah atau mahal, bahkan laku atau tidak laku sebuah novel, bisa jadi penulisnya tidak seluruhnya kehilangan makna. Tapi harus pula dimengerti, ini bicara soal novel yang memang pantas disebut novel yang ‘sehat’. Seperti apa bentuknya? Misalnya sebuah novel dijadikan objek kajian untuk karya ilmiah seperti skripsi atau tesis, padahal novel itu kurang laku di pasaran. Di belakang hari, novel itu malah mengantarkan seorang mahasiswa dapat menyelesaikan studinya, bisa mengenakan toga serta pakaian kebesaran wisuda, dan sudah sah menyandang gelar sarjana. Bayangkan, berapa orang kemudian yang sudah dibuat bahagia karenanya? Nah, bisa jadi ini bentuk keberkahan sesungguhnya dari sekadar nilai royalti berupa uang. Itulah royalti yang tidak akan putus diterima penulisnya melampaui masa kontrak penerbitan novel tersebut berakhir.
Menulis novel memang harus berpayah-payah. Jika saja menulis karya fiksi seperti novel misalnya gak pake mikir, cukup mengandalkan imajinasi doang, kasihan sekali keberadan Fakultas Sastra di seluruh dunia.
Lomba Menulis Esai dan Buku Sumber Belajar
Menyambut Pesta Literasi HUT Madrasah Pembangunan ke-46
Menyambut Pesta Literasi HUT Madrasah Pembangunan ke-46
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta
0 Comments
Posting Komentar