Berkah Menulis
“Saya ingin meluluskan cita-cita itu, Pak. Tetapi bukan haji, hanya umrah.”
SETIAP peristiwa hampir selalu bersanding dengan jalan pengantar. Hanya saja, tidak setiap pengantar selalu membutuhkan alasan. Begitulah kosakata Qurban Bayrami menjadi pengantar yang tidak membutuhkan alasan bagaimana saya bisa berkunjung ke Turki. Setidaknya alasan itu penting untuk memuaskan rasa penasaran. Saya sendiri penasaran, bagaimana bisa ke Turki? Di sinilah alasan bersanding dengan sebab, sebab hampir mustahil bila ukurannya adalah isi dompet, impossible saya bisa pergi ke sana.
Anda pasti pernah mendengar riwayat Nabi SAW tentang amalan yang dapat meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Itulah jawaban pintasnya. Iya, betul. Silaturrahim. Silaturrahim lah yang menjadi jalan bagi impossible menjadi possible dalam soal saya ke Turki yang paling pas untuk memberi alasan.
Sebenarnya, pengalaman ke Turki hanya satu keping saja dari kepingan-kepingan dunia puzzle miliki saya. Keping-keping puzzle itu berserakan, tak berbentuk, dan sukar untuk dimengerti. Saya berusaha menyusunnya menjadi sebuah gambaran hidup yang dapat bercerita pada siapa saja. Adapun nanti cerita itu menarik atau membosankan, bukan saya yang harus menilai apalagi memaksa bahwa cerita itu harus menarik atau membosankan.
Sekali lagi harus saya katakan, ini puzzle hidup saya yang paling tidak masuk akal jika ukurannya adalah fisik materi. Bagaimana saya ke Turki? Itu pertanyaan ringkas. Namun pertanyaan seringkas itu menuntut jawaban nonmateri yang tak cukup dengan satu dua paragaraf. Sekian keping puzzle yang telah berdebu harus disusun dengan bantuan memori yang kian cepat hilang bila tidak segera direka ulang.
Ada dua puzzle major untuk menjawabnya; puzzle pengajian dan puzzle menulis. Dua puzzle ini beranak pinak dengan kepingan-kepingan puzzle yang berserak-serak. Ia bercerai-berai tanpa bentuk seperti saudara tanpa ikatan yang saling mengenali. Puzzle pengajian yang menjadi core puzzle akhirnya bertemu dengan puzzle buku. Ia dipertemukan oleh takdir setelah sekian lama tali relasinya terputus.
Satu masa, ada pemilik bengkel motor meminta saya mengajar mengaji. Ini puzzle intinya yang menutup seluruh badan takdir. Saya menyanggupi permintaan itu yang berarti membentuk sekeping puzzle. Materinya seputar dasar-dasar tentang iman, Islam, dan ihsan dikaitkan dengan dunia kerja. Acapkali diselingi dengan ngaji biasa saja berupa tadarrus melancarkan bacaan Quran.
Meskipun hanya materi dasar, tak berarti saya merasa cukup mampu membawakannya. Tidak, saya belajar lagi, saya ngaji lagi, saya mendalami kajian-kajian rutin yang pernah saya ikuti dari guru tafsir saya Allahyarham KH. M. Awab Usman. Membaca kembali buku-buku terkait materi-materi dasar itu dari koleksi yang saya miliki. Pada puzzle bagian ini, spirit pada kewajiban ‘belajar sepanjang hayat’, ‘belajar dari buaian sampai liang lahad’, menggugah kesadaran buat dinyalakan lagi lebih terang.
Begitulah kemudian pengajian digelar setiap malam Jumat. Saya lupa persisnya, berapa lama pengajian itu berlangsung sampai kemudian diistirahatkan di akhir 2007. Bukan hanya pengajian yang diistirahatkan, pada satu titik, relasi pun benar-benar terputus, benang silaturrahim tak bertemu simpulnya lagi. Satu-satunya yang menyambungkan hanya Supra Fit, kemurahan hati Tuan dan Nyoya pemilik bengkel yang menemani saya beberapa waktu lamanya.
Tahun 2011 buku saya Rehat Bersama Kyai Kocak (RBKK) terbitan Indie Publishing diluncurkan. Cikal bakal buku ini adalah status-status Facebook saya tentang karakter kiai kolot yang ‘ngeselin’, jail, kolot, kampungan, tapi cerdas. Musuhnya adalah produk pemikiran kelompok liberal. Hampir 100 % konten RBKK adalah cerita konyol buat ‘ngeledekin’ pemikiran nyeleneh yang konon proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Pemikiran liberal yang nyeleneh ini menjadi inspirasi kejailan karakter Kiai Adung; tokoh di balik sang kiai yang kolot dan jail itu. Sebenarnya, buku ini adalah kritik pada faham rusak itu dengan pendekatan humor. Topik liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme yang berat itu saya kemas menjadi bacaan ringan yang menghibur.
RBKK dicetak seribu eksemplar dengan biaya urunan saya, teman, dan Indie. Dijual di Gramedia dan direct selling. Saya pikir bakalan tidak laku. Betul. Apa ada orang yang mau baca buku model begitu? Rupanya, takdir berkata RBKK habis di Gramedia, habis direct selling.
RBKK ini membawa berkah bagi saya. Pada 2013 naskah ketiganya diterbitkan Pustaka Al-Kautsar. Berturut-turut empat seri Kiai Kocak diterbitkan penerbit major itu pada 2014, 2015, dan 2016. Saya menikmati talks show dan peluncurannya di panggung Islamic Book Fair di Jakarta dua kali, sekali di Bandung, dan sekali di Surabaya, dan tentu saja royalti. Ini sama sekali di luar dugaan bahwa Kiai Kocak cukup mendapat tempat di hati pembaca. Semuanya berjalan begitu saja seakan Kiai Kocak menemukan jalannya sendiri. Royalti Kiai Kocak menjadi keberkahan buat urusan mondok putri saya. Alhamdulillah. Untuk semuanya, saya sungguh-sungguh berterima kasih pada Pustaka Al-Kautsar dan awak redaksi yang terlibat langsung menerbitkan Kiai Kocak.
Tetapi, yang mempertalikan saya pada Turki adalah RBKK terbitan Indie Publishing itu. Dalam persepsi orang Cina, bisa jadi itu yang disebut ‘hoki’. RBKK adalah hoki sebagai cara Allah mempertemukan saya kembali dengan pemilik bengkel setelah dia membaca RBKK. Facebook lah yang menyambungkan relasi yang terputus itu. Kami bertemu, mengikat lagi relasi yang terputus, dan menjalankan suatu amanah.
Pada satu kesempatan usai meeting, sebelum pulang saya sempat menitip salam untuk Sang Tuan. Saat itu Sang Nyonya mengiyakan dan mengucap Insya Allah akan menyampaikan salam saya. Namun betapa saya menyesal pada kesempatan meeting berikutnya. Tahulah saya bahwa Tuan dan Nyonya pemilik bengkel itu sudah tidak lagi hidup bersama. Saya terkejut sekaligus menyesal tanpa mengerti mengapa saya harus menyesali atas apa yang mereka alami. Tetapi penyesalan saya sebatas khawatir jika titipan salam itu menyinggung perasaan.
Meskipun sejenak rasa ingin tahu saya menggeliat sekadar bertanya mengapa mereka harus berpisah, perasaan itu berhasil saya redam. Saya kira itu bukan hal penting untuk saya. Buat apa kepo? Tetapi rasa kepo itu menggelitik lagi pada satu kesempatan usai meeting Sang Nyonya menyampaikan sesuatu yang membuat saya menahan napas seakan tidak percaya.
Sang Nyonya menyampaikan, dahulu sebelum berpisah dengan Sang Tuan, mereka bercita-cita menghajikan saya. Tetapi cita-cita itu mengawang-awang seiring status mereka yang berubah. Saya memaklumi dan tetap mengucap syukur bahwa Sang Tuan dan Nyonya pernah membangun cita-cita mulia itu untuk saya. Adapun cita-cita itu tidak kesampaian, sepenuhnya bukan salah siapa-siapa. Memang, pada dasarnya manusia hanya diberi porsi oleh Allah untuk bergerak berikhtiar sampai pada stasiun rencana. Adapun untuk sampai pada stasiun tujuan, hanya Allah yang punya wewenang. Jika Allah berkehendak, tidak ada kekuatan apa pun yang dapat menahannya barang seinci.
“Saya ingin meluluskan cita-cita itu, Pak. Tetapi bukan haji, hanya umrah.”
Saya bungkam. Saya harus menjawab apa? Apakah ini mimpi?
Payah rasanya saya menahan agar mata tidak menitik. Dahulu sewaktu pengajian masih berjalan, Tuan dan Nyonya begitu murah hati pada saya. Rupanya ia masih menyimpan kemurahan hati itu untuk beberapa waktu lamanya sampai kemudian RBKK menjadi perantara cita-citanya ditegaskan lagi secara langsung berhadapan. Sebenarnya, andaikan sang Nyonya tidak membukanya lagi, saya pun tak tahu. Rasanya, Sang Nyonya pun tidak salah bila memetieskan cita-cita itu sampai membeku sepanjang waktu dan menjadi cerita miliknya saja sampai ia tak ingin lagi mengingatnya. Alasan apa kemudian yang mendorongnya membukanya lagi pada saya, hanya Sang Nyonya yang mengerti
Cara Allah mempertemukan saya dengan Sang Nyonya, mengunjungi dua Tanah Suci dan Turki, dibuka jalannya kembali oleh literasi menulis. Bukan maksud saya berkata bahwa menulis adalah satu-satunya pengalaman yang membentuk sekeping puzzle hidup saya pada bagian ini, tetapi sampai juga pembuktian motivasi menulis, ”Menulislah! Tak ada ruginya” ternyata ada benarnya.
Pagi ini saya ingin membuat prasasti. “Tulis saja hikmah hidupmu dengan ketulusan. Kelak Allah akan menuliskan garis hidupmu yang tak terbayangkan!”
Selamat menulis di sela liburan semester.
Meruyung, Selasa, 24 Desember 2019.
0 Comments
Posting Komentar