Mendadak Muthawif
Tubuh terasa melayang. Air mata meleleh. Tangan refleks bertakbir lalu sujud syukur diiringi deru mesin pesawat Turkish. Di sela sujud syukur yang syahdu itu, saya berbisik, “Nyonya, saya sudah di Madinah.
MENJADI khatib Jumat, I’dain (dua hari raya), atau Khusufain (gerhana matahari dan bulan) sekaligus menjadi imam meskipun dadakan, bisa jadi saya siap jika keadaan benar-benar memaksa. Sejak masih di bangku Madrasah Aliyah, saya ingat betul, guru saya Ustadz Drs. Slamet Suryanto (Allahuyarhamuh; semoga Allah merahmati dan melapangkan kuburnya) sudah menanamkan tanggung jawab bahwa seorang siswa Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah harus punya nyali buat berkhutbah. Beliau memberi gambaran situasi, “Jika misalnya pada satu masjid di hari Jumat khatib berhalangan, waktu Jum’at sudah lewat masuk, jamaah sudah gelisah, tetapi tidak ada satu pun jamaah yang mampu menggantikan berkhutbah sedangkan Anda ada di sana, naiklah ke mimbar. Sempurnakan rukun Jumat hari itu.”
Pesan itu saya maknai betul. Lalu, kesempatan memberi ruang yang cukup untuk saya menjalankan pesan itu di belakang hari. Forum-forum pelatihan dai dan khatib ada beberapa saya ikuti. Seiring waktu, kesempatan naik mimbar sungguhan mulai diasah. Maka jika hari ini mendadak imam atau mendadak khatib di saat genting, bismillah sanggup meskipun harapan selalu mewanti-wanti semoga jangan pernah saya menemui darurat khatib di manapun kesempatan saya berjumat.
Tapi bagaimana kalau tiba-tiba mendadak muthawif?
Di kampung saya, untuk berceramah walimatussafar (semacam resepsi atau pengajian umum untuk meminta doa restu saat akan berangkat naik haji) saja akan dianggap ganjil apabila mubalig yang menyampaikan ceramahnya belum berhaji. Demikian pula halnya dengan ceramah walimatulursy (resepsi perkawinan) akan dipandang kurang afdal apabila yang menyampaikan tausiyahnya adalah mubalig yang masih bujangan. Argumentasinya simpel, bagaimana mau menjelaskan pada banyak orang soal haji sedangkan dirinya sendiri menginjak tanah haram saja belum pernah? Bagaimana orang yang belum kawin akan memberi nasihat tentang perkawinan kepada banyak orang?
Sekilas, argumentasi di atas masuk akal. Idealnya, ceramah tentang haji atau umrah disampaikan mubaligh yang sudah melaksanakan ibadah ke tanah suci. Demikian pula halnya dengan ceramah perkawinan dibawakan oleh mubaligh yang sudah kenyang merasakan asam garam dan pahit getirnya hidup berumah tangga. Soal idealisme pentingnya kepaduan ilmu dan amal yang menjadi basic argumentasi di atas memang meyakinkan dan berterima.
Namun tidak berarti idealisme itu lalu dibentuk menjadi prasasti sebagai pakem yang tidak boleh sama sekali dilangkahi. Adalah tidak keliru apabila haji dan umrah ditempatkan sebagai domain ilmiah pada satu sisi dan didudukkan sebagai amaliyah praktis pada sisi yang lain. Bisa jadi seorang mubalig sudah menguasai ilmu tentang haji dan umrah dan piawai menjelaskannya kepada umat, hanya saja dia belum berkesempatan melaksanakan amaliyah haji dan umrah itu di tanah suci. Apakah mubalig seperti ini dinilai tidak pantas bicara mengupas tentang haji dan umrah?
Pakem seperti itu tidak boleh menjadi rumus baku untuk perkara haji dan umrah sebab keduanya terikat syarat khusus yaitu “man isthtatha’ta ilayhi sabiila’; bagi mereka yang datang kemampuan mengerjakannya. Apabila pakem ini kemudian menjadi rumus baku, maka semua mubalig yang menyampaikan tausiyah tentang hakikat perceraian, maka dia harus lebih dahulu merasakan getirnya perceraian. Yang lebih ekstrem, adalah tausiyah pada keluarga jenazah yang masih berkabung. Apa menyampaikan tausiyah pada malam takziyah harus mubalig yang sudah pernah merasakan mati?
Ada berapa banyak orang berhaji tiap tahun atau berumrah tiap bulan di negeri kita? Banyak sekali. Dari sekian banyak orang itu, ada berapa banyak di antara mereka yang fasih menjelaskan ilmu manasik haji dan umrah kepada jamaah pengajian misalnya? Di sinilah berlaku sunnatullah bahwa ada orang yang dilebihkan Allah dalam ilmu dan kefasihan pada satu perkara dan ada orang yang diberi kelonggaran melaksanakan perkara tersebut tetapi tidak cukup kesiapan untuk menjelaskan kepada umat sebab keterbatasan dalam ilmu dan kefasihannya. Tentu, berbahagialah mubalig yang punya kesempatan berkali-kali ke tanah suci sedangkan ilmu dan kefasihannya tentang rukun Islam kelima itu juga mumpuni.
Takdir pernah meminta saya mandadak muthawif. Saya tentu bukan main terkejut. Ini bukan mendadak khatib dan mendadak imam, ini mendadak membimbing jamaah melaksanakan ibadah umrah. Petaruhannya besar. Di sini saya menyadari, saya masih terbelenggu pada persepsi di atas. Persepsi saya masih seperti persepsi orang kampung saya, belum bergeser. Bagaimana saya harus membimbing jamaah umrah ke tanah suci sedangkan saya belum sekalipun umrah?
Begitulah. Tapi kemudian saya menjawabnya optimistik karena mendadak muthawif adalah bagian dari cara Allah menguji siapa pun yang Dia kehendaki. Jika ‘undian’ kehendak-Nya itu jatuh pada saya, belum tentu kesempatan itu datang untuk kali kedua. Jika kesempatan pertama itu saya jawab dengan pesimistik, sama saja dengan menyia-nyiakan kemurahan Allah yang mengucur bagai hujan dicurah dari langit. Terus, bagaimana membangun kepercayaan diri mendadak muthawif? Literasi manasik. Itulah jawabannya. Berlatih, membaca, sharing, diskusi, menonton live TV dari Tanah Suci, dan segala literasi yang memperkuat pemahaman manasik umrah.
Saya beruntung, literasi umrah saya tidak sama sekali berangkat dari nol. Pengalaman beberapa kali mendampingi peserta didik kelas tujuh praktik manasik di madrasah amat berguna. Ibarat sebuah lukisan, pengalaman itu semacam sktesa di mana gambar sesungguhnya nanti tidak akan jauh dari bentuk sketsanya. Niatnya sama, kaifiat dan doa-doanya sama, kain ihramnya pun sama. Bedanya tentu pembaca sudah mafhum.
Tentu saja, selain tugas pokok muthawif dan kaifiat umrah yang benar-benar harus saya kuasai, penguatan literasi Haramain dengan segala pernak-perniknya mutlak didalami lagi terutama aspek sejarah yang paling dekat dengan subjek umrah, situs-situs penting, dan budaya Arab. Mumet. Iya, pasti. Namun lagi-lagi saya tertolong karena mengampu Sejarah Kebudayaan Islam.
Senin, 18 Maret 2013 kaki saya menapak Madinah di Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz, bandara yang terletak di Timur Laut Kota Madinah, Provinsi Madinah, Arab Saudi setelah tiga jam terbang dari Istanbul Atatürk Airport, Istanbul, Turki dengan Turkish Airlines. Tubuh terasa melayang. Air mata meleleh. Tangan refleks bertakbir lalu sujud syukur diiringi deru mesin pesawat Turkish. Di sela sujud syukur yang syahdu itu, saya berbisik, “Nyonya, saya sudah di Madinah.”
Lalu drama kecil terjadi saat memasuki ruang boarding sebelum keluar bandara menuju hotel. Rupanya drama ini diperhatikan seorang jamaah yang menunggu di ruang tunggu karena urusannya sudah selesai. Standar keluar masuk bandara hampir semua sama di mana-mana. Pemeriksaan dokumen dan metal detector. Setelah pemeriksaan selesai segera saya bergabung dengan jamaah untuk koordinasi di ruang tunggu.
“Bapak kok lancar-lancara saja. Tidak diambil gambar, tidak diambil sidik jari, langsung disuruh lewat sambil ngobrol.”
Saya pun heran sebenarnya. Semua orang melewati pemeriksaan begitu ketat. Setiap orang diambil gambar wajah dan sidik jari sebelum keluar bandara termasuk leader saya pemilik biro travel umrah. Sementara saya memang tidak, tidak difoto juga tidak diambil sidik jari.
“Ngobrolin apa sih, Pak?” tanya jamaah itu penasaran.
“Gak ngobrol apa-apa. Cuma petugas tanya, nama saya siapa, mau ngapain datang ke Madinah. Udah, cuma itu. Terus disuruh lewat saja,” kata saya.
“Apa karena Bapak ngomong Arab?”
Hahaha. Saya geli.
Saya tak tahu, ini mungkin rezeki saya. Saat pemeriksaan giliran saya dimulai, petugas menyapa begitu ramah, mengucap salam, hangat menyambut kedatangan saya.
“Ahlan wa sahlan,” katanya.
“Ahlan bik,” jawab saya.
“Kaif haalak?”
“Bikhair, alhamdulillah,” jawab saya lagi sambil membalas senyumnya.
“Masmuk?”
Saya sebutkan nama sambil mengulurkan tangan. Tangan saya disambut. Lalu saya ditanya lagi untuk apa datang ke Madinah.
“Insya Allah, umrah.”
Setelah itu, blas, petugas langsung mempersilakan saya keluar. Tentu saya heran tidak diambil gambar dan sidik jari.
“Khalas?” tanya saya bermaksud menegaskan apa saya memang tidak perlu diambil gambar dan sidik jari. Petugas itu mengangguk sambil merentangkan tangannya mempersilakan saya melenggang.
“Na’am, khalas. Tafadhal!”
“Alhamdulillah. Syukran jaziilan. Salaam ‘alaikum,” ucap saya.
Dan saya melenggang keluar.
Cuma sesimpel itu obrolan saya dan petugas.
Hati bergetar sambil memuji Allah, begitu menawan Kota Nabi pada detik pertama menghirup bau tanahnya. Begitu mudah di antara prosedur yang semestinya harus dilewati.
Allah, labbaika Ya Rabb.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan, 25 Desember 2019.
1 Comments
Alhamdulillaah bacaannya mengalir bagaikan air
BalasHapusPosting Komentar