Nenek

Umiku anak ke-12. Kata Umi, keturunan keluargaku memang subur-subur. Kakak perempuan tertua Umi saja punya empat belas orang anak. Ups! Itu hampir menyamai rekor nenek. Aku surprise. Nenekku sendiri adalah anak pertama dari dua belas orang bersaudara. Hmmmmm, benar-benar gen yang subur. Aku berharap, kelak aku juga menjadi wanita subur yang punya banyak anak seperti nenek.


Nenekku guru ngaji. Termasuk yang sedikit dari orang kampungku yang mahir membaca Qur’an waktu itu. Boleh dikata, para gadis di kampungku yang seusia Umi dan generasi di atasnya, mengaji dengan nenek. Istilahnya ngaji lekar. Nenek menyediakan waktu malamnya mengajari generasi kampungnya melek Al-Qur’an.

Nenek seperti ‘wanita besi’ walau tidak seperti Margaret Thatcher. Sepanjang hari nenek bekerja di sawah. Bermandi peluh dan bergelut dengan lumpur. Namun meskipun lelah karena seharian bekerja di sawah, nenek masih menyempatkan mengajar mengaji di malam hari. Kata nenek, kelelahan yang dibawanya dari sawah, hilang oleh semangat belajar santrinya yang menyala-nyala. 

Nenek bukan sekadar seperti wanita besi. Malah lebih dari itu menurutku. Aku tidak membayangkan, bagaimana caranya nenek menjalani hari-harinya yang sedemikian berat. Nenekku mengasuh empat belas anak dari tujuh belas anak yang dilahirkannya. Itu artinya, nenek tujuh belas kali hamil, tujuh belas kali melahirkan, dan tujuh belas kali pula menjalani fase nifas, menyusui, dan menyapih. Membagi waktu untuk sawah, mengasuh tujuh belas anak, melayani seorang suami, dan masih pula menyempatkan waktu untuk orang lain dengan mengajar mengaji. Mungkin hanya satu dua wanita saja yang sanggup memerankannya saat itu. Apalagi sekarang, mungkin tidak ada lagi wanita seperti nenek. 

Umiku anak ke-12. Kata Umi, keturunan keluargaku memang subur-subur. Kakak perempuan tertua Umi saja punya empat belas orang anak. Ups! Itu hampir menyamai rekor nenek. Aku surprise. Nenekku sendiri adalah anak pertama dari dua belas orang bersaudara. Hmmmmm, benar-benar gen yang subur. Aku berharap, kelak aku juga menjadi wanita subur yang punya banyak anak seperti nenek.

Waktu usiaku beranjak remaja, aku semakin sering mendengarkan cerita tentang nenek dari Umi. Ada saja kisah yang membuatku bangga menjadi keturunannya. Yang paling aku suka dari semua cerita tentang nenek adalah kepedulian nenek pada Al-Qur’an dan kedekatannya pada masjid sampai ia wafat. Dalam masalah ini, bahkan nenek tidak mengenal kompromi.

“Nenek itu keras kepala, Rayya,” kata Umi.

“Masa sih, Mi?”

“Huuu. Apalagi kalo menyangkut soal agama.” 

“Contohnya?”

“Umi pernah dimarahin. Tajam sekali.”

“Memang, apa salah Umi?”

“Umi cuma minta nenek berhenti dari mengajar mengaji.”

“Cuma gara-gara itu?”

“Iya, Umi bilang, Mak, apa emak enggak capek?”

“Terus, nenek jawab apa?” tanyaku.

“Nenek menatap Umi dengan raut muka kurang senang. ‘Capek kenapa, Hanifah?’ katanya. Emak dari pagi sampe sore di sawah. Malamnya mengajar mengaji. Istirahat, Mak.”

“Pasti nenek enggak mau,” kataku menerka.

“Betul. Umi malah dinasehatin panjang lebar. Nenek bilang, ‘Dunia memang tempatnya capek, Hanifah.’ Tapi terlalu capek juga tidak baik, Mak, sanggah Umi.”

“Terus, nenek bilang apa lagi?”

“Sambil bersedekap, nenek tanya Umi, ‘Baiknya emak harus bagaimana? Umi bilang istirahat. Habis Isya, sebaiknya Emak tidur.”

Aku tertawa melihat gaya Umi menirukan logat bicara nenek. Aku jadi semakin tertarik dan penasaran mendengar cerita Umi selanjutnya.

“Hihihihihi Umi lucu. Terus, nenek ngomong apa lagi?” tanyaku lagi.

“Nenek tanya lagi sambil sedikit melotot, ‘Terus, yang ngajar ngaji siapa?’ Umi bilang, suruh saja mereka pindah ngaji di rumah hajah Saroh, Mak.”

“Terus?”

“Nenek marah. ‘Hanifah! Mengapa kamu suruh emak berhenti mencari pahala? Apa kamu bisa mengganti pahala mengajar ngaji emak yang hilang setelah emak berhenti? Hanya ini yang emak bisa ajarkan untuk anak-anak itu!’ Umi benar-benar mati kutu. Umi tidak berani lagi minta nenek berhenti mengajar mengaji.” 

Aku kagum mendengar cerita jawaban jitu nenek. Sebagai orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, jawaban nenek sangat menohok. Kata Umi, nenek buta huruf, tapi melek Al-Qur’an. Nenek tidak sekolah. Nenek hanya belajar dari kehidupan. Menurutku, nenek benar-benar menghayati arti hidupnya untuk apa. Bahkan saat aku tanya Umi, berapa bayaran yang dipungut nenek setiap anak yang belajar mengaji waktu itu? Umi menggeleng.

“Nenek tidak memungut bayaran satu sen pun. Tapi nenek tidak menolak jika ada dari mereka yang memberi untuk sekedar mengganti minyak.”

“Minyak goreng?”

Umi tersenyum mendengar pertanyaanku. Ternyata aku keliru. Minyak yang dimaksud Umi adalah minyak tanah. Nah uang pemberian dari beberapa santrinya itu digunakan untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakar lampu tempel untuk penerangan saat mengaji. Makanya uang pemberian itu disebut ‘uang minyak’. 

“Terus, Umi bilang apa lagi?” tanyaku ingin menuntaskan rasa penasaran yang belum hilang.

“Umi enggak bisa ngomong lagi. Yang ada Umi diceramahin. Pokoknya, tidak akan ada alasan yang bisa ngelarang nenek dalam urusan mengajar mengaji.”

Umi lalu menyampaikan pesan nenek. Pesan yang menurut nenek harus pula Umi sampaikan kepada anak cucunya. Umi bahkan menganggapnya sebagai pesan wasiat buatku. Dan hari itu, wasiat itu disampaikan Umi padaku.

Kata nenek, istirahat bagi seorang muslim adalah kematian. Selama masih hidup, bagi seorang muslim belum ada istirahat dalam arti menyia-nyiakan waktu luang tanpa amal kebaikan. Istirahat memang perlu sebagai hak tubuh yang harus dipenuhi. Tubuh butuh istirahat saat datang lelah, mata butuh tidur jika saatnya datang mengantuk, butuh makan saat lapar mendera, atau minum di kala haus mencekik. Berikanlah hak tubuh itu sesuai kadarnya. Asalkan cukup untuk mengembalikan tenaga, istirahat atau tidur di malam hari, empat sampai enam jam sudahlah memadai. Terlalu banyak istirahat atau tidur yang tak perlu, hidup malah menjadi tidak sehat. Sama tidak sehatnya jika makan atau minum melebihi batas memenuhi rasa lapar dan haus. Bahkan bisa jadi, tidur, makan, dan minum yang berlebihan memicu penyakit. Padahal semestinya, tidur, makan, dan minum harus membuat manusia sehat.

Ciri khusus orang muslim itu tidur malamnya sedikit, namun banyak berdiri shalat malam. Sedikit istirahatnya, banyak kerja dan amalnya. Bahkan, mereka biasa menggunakan waktu santainya untuk taat, dan menjadikan waktu taatnya untuk santai. Artinya, waktu luang tidak dibiarkan kosong tanpa nilai ketaatan. Sedangkan saat mereka beribadah, ibadahnya bagaikan kesenangan seperti layaknya mereka bersantai. Dunia bagi seorang muslim adalah tempat bekerja dan ladang amal. Sarana menabung pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal sesudah mati. Maka, selama seorang muslim belum terbujur kaku, belum ada istirahat untuknya.

Nanti di akhirat, sepanjang-panjang hidup seorang muslim hanya berupa kesenangan dan istirahat. Tidak ada kesedihan dan keletihan yang ditanggung seperti di dunia. Akhirat tempat menikmati balasan kelelahannya di dunia dengan kenikmatan surgawi yang yang tidak berkesudahan.

Berbeda dengan orang kafir. Bagi mereka, seluruh waktu dunia bisa jadi hanya untuk kesenangan dan istirahat. Banyak istirahat, tidur, dan sedikit terjaga. Kalaupun mereka terjaga di malam hari, ujung-ujungnya hanya untuk kesenangan dunia semata. Bangun malamnya hanya untuk buang air, efek dari kelezatan makan dan minum yang tidak bisa mereka tahan untuk dibuang. 

Harus diakui, orang-orang yang tidak beriman bekerja keras untuk urusan dunia. Sebab, surga bagi mereka adalah dunia ini yang harus diperjuangkan. Kehidupan adalah dunia ini yang harus dinikmati sampai batas usia mati. Mereka percaya, setelah mereka mati nanti, tak ada lagi kehidupan. Kehidupan sudah selesai untuknya lalu digantikan oleh generasi yang baru. Karena itu prinsip mereka, puas-puasilah selama di dunia sebab hidup hanya sekali. 

Mereka tidak kenal akhirat, tidak percaya hari pembalasan, dan menganggap siksa kubur, surga dan neraka sebagai lelucon. Namun saat malaikal maut datang menjemput, mereka terbelalak, baru menyadari bahwa pandangan mereka tentang kehidupan dunia ternyata keliru. Mereka menyesal dan ingin dikembalikan ke dunia lagi. Mereka berjanji akan bekerja dan beramal untuk akhirat sebanyak-banyaknya. Namun sudah terlambat. Dunia sudah berlalu. Yang ada di depan mata hanya balasan pedih atas pengingkaran yang sudah menunggu. Siksa yang melelahkan sudah di depan mata. Istirahat, kesenangan, bahkan susah payahnya waktu di dunia dahulu hanya mengantarkannya pada siksaan pedih dan kepayahan yang tak berkesudahan. 

“Nenek memang tidak sekolah, Rayya. Tapi hidupnya penuh pelajaran.”

Aku mengangguk. Aku menyadari betapa dalam makna hidup warisan nenek. Nenek seperti membuka pikiranku bahwa pelajaran hidup datang dari mana saja meskipun dari orang yang tidak sekolah atau bertitel tinggi. Pelajaran hidup tetaplah kearifan.[]