Tiap kali Hari Guru bergaung, perasaan laki-laki itu selalu perih. Dia selalu teringat pada sosok renta 85 tahun yang terlupakan. Sosok renta itu memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa bagi orang lain, namun baginya dia sesungguh-sungguh Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Di lubuk hati sosok renta itu tersimpan sejarah. Tiap kali sejarah itu dikeruk lalu dibentangkan di permukaan, jiwanya seakan kembali muda. Semangatnya berkobar lagi, menyala-nyala sambil bertutur bahwa dia pernah mengabdi sebagai perintis sekolah di suatu kampung nan elok. Sendirian dia mengajar peserta didiknya di depan kelas. Berdua sebenarnya, tetapi yang seorang lagi lebih banyak hanya mengawasi, memastikan bahwa sekolah berjalan sesuai keadaan saat itu, sekolah dari bilik bambu yang disebutnya ‘blandongan’. Itulah kandungan sejarah yang dikeruk dan dibentangkan pada salah seorang putra penyambung jejaknya.
Masa itu sudah tua, sudah jauh berlalu, sebab dalam hitungan tarikh Masehi, peristiwanya sekitar tahun 50-an. Masa sejauh itu sudah cukup bagi komuni generasi kampung nan elok itu sambung-menyambung menikmati blandongan secara bergantian dengan tidak pernah menoleh ke belakang. Mereka terlalu asyik menikmati buah, tanpa bergeser sedikit saja sekadar berbisik-bisik bertanya, siapa yang menanam pokok buah itu?
Dahulu, lelaki renta itu hanya mengajar, tak pernah rewel soal upah berapa rupiah dia dibayar. Lagi pula di zaman itu, zaman susah. Iuran sekolah bukan prioritas. Para orang tua lebih condong sedikit uang mereka di saku tidak lain untuk membeli beras, ketela, atau ubi untuk menyambung hidup, bukan untuk membayar iuran sekolah. Maka iuran sekolah hanya sekadarnya, sekadar ada sisa membeli beras atau ketela, sekadar itu pula upahnya sebulan.
Putranya tak percaya pada cerita lelaki renta itu. Bisa jadi memang bapaknya sedang menghayal, laiknya orang di ujung usia senja yang gemar bercerita dan ingin didengar. Bagaimana lelaki renta itu mengaku-aku sebagai pelopor sebab tidak ada satu pun dari keturunannya sekadar diberi tempat untuk merasakan sejenak saja duduk di balik meja guru sebagai wujud terima kasih dan bukti bahwa dahulu dia pernah berjasa pada blandongan itu? Ah, bisa jadi lelaki renta itu memang benar-benar sedang berhayal, bercanda dengan imajinasi seperti para pengarang cerita fiksi membunuh sisa waktu.
Tak sampai hati anak lelakinya membiarkan lelaki tua renta itu terus berhayal, dia pergi menyusur jejak. Beberapa nama yang sempat disebut lelaki renta itu yang diaku sebagai muridnya dijadikannya sebagai alat telusur. Dia berharap, jika ocehan lelaki renta itu benar, hilanglah prasangka buruk pada bapaknya. Jika ternyata salah, belum terlambat baginya buat mengingatkan agar lelaki renta itu berhenti bicara melantur. Dan anak lelaki tua renta itu membisu saat persaksian dari objek telusurnya 100 persen akurat, tak kurang tak lebih, sepadan dengan cerita bapaknya. Percayalah dia bahwa bapaknya bukan sedang membual di penguhujung akhir hidupnya yang entah kapan menjadi purna.
Sekarang, blandongan itu kokoh berbuah lebat. Ada pula prasasti dari granit dengan bubuhan tanda tangan petinggi yang membanggakan. Namun sayang itu bukan tanda tangannya. Barangkali, tanda tangannya memang bukan pada tempatnya di situ, melainkan di hatinya saja bersemayam. Sementara lelaki itu semakin ringkih dengan penyakit yang turut menua bersama fisiknya di bawah bayang-bayang pil, resep, dan rumah sakit.
Satu waktu lelaki renta itu berpesan pada anak lelakinya jangan pernah dia mengemis buat hal apa pun dari blandongan itu dengan maksud mengingatkan lagi jasanya pada orang. Saat anak lelakinya bertanya mengapa. Dijawabnya tegas.
“Sebab kau bukan diriku!”
Dan hilanglah rasa perih itu.
Selamat Hari Guru.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta
Senin, 25 November 2019.
0 Comments
Posting Komentar