Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

MACRON, CHARLIE HEBDO DAN KACANG LUPA KULITNYA

Tidak ada itu karikatur Nabi. Memangnya tahu wajah Nabi spt apa? Terus, orang lain bkin karikatur dan diklaim itu karikatur Nabi, kalian percaya? Lantas marah-marah? Penghinaan? Sekali lagi, emangnya yg bikin  karikatur dan kalian pada tahu wajah Nabi spt apa? Mbok ya mikirrrr BAGINDA Muhammad  shallallahu alaihi wa sallam  bukan Nabi “Pemarah”. Beliau rahmatan lil alamin . Beliau itu pemaaf, pengasih, dan penyayang. MEMANG benar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pemaaf, pengasih, dan penyayang. Jangankan pengikutnya, orang kafir Quraisy Mekah juga mengakui. Boleh jadi, kafir Quraisy lah yang paling tahu betapa pemaaf, pengasih, dan penyayangnya beliau daripada orang Islam hari ini yang seolah-olah mengambil posisi “pembela” para penista Rasulullah. Hanya mengangkat sifat pemaaf, pengasih, dan penyayangnya Nabi  shallallahu alaihi wa sallam  adalah narasi timpang. Itu tidak menggambarkan keutuhan dari perilaku beliau yang agung. Tidak terelakanlah kecurigaan atas sikap membe

KUOTA DAN LUKISAN PELANGI

Rizano benar-benar seperti terlempar keluar dari planet bumi dan bergabung dengan “Suku Maya”. RIZANO teman kecil Binar. Sejak TK sampai SMA, mereka satu sekolah. Saat TK, keduanya hobi mewarnai. Tapi, karena persoalan warna pula, Rizano kapok gara-gara ditertawakan teman sekelasnya. Pasalnya, anak itu mewarnai matahari dengan warna hitam, warna yang dianggap aneh untuk matahari. Semua teman-teman Rizano memberi warna kuning dengan sinarnya yang terang atau langit dengan warna biru. Binar termasuk yang turut menertawakan. Maka, sejak itu Rizano tak pernah mau lagi mewarnai. “Kenapa mataharimu kamu kasih warna hitam, Zano?” Tanya Binar saat mereka keluar kelas. “Ya terserah aku. Itu kan matahari aku,” jawab Rizano dengan muka ditekuk. Dia sebal. Teman baiknya ikut menertawakan. “Tapi kan, yang namanya matahari, warnanya kuning.” Rizano berhenti. Matanya menatap tajam Binar. “Matahari aku kan, sedang gerhana. Di mana-mana, gerhana matahari kan gelap, tahu!” Binar mengerling. Rizano berla

PETI MATI DI ATAS ROLLER COSTER

Allah ya Rabb, biarkanlah wabah ini berlalu. Mohon perlindungan-Mu Ya Rabb. Kami benar-benar seperti di atas  roller coaster  sambil memandangi peti mati. INI soal rasa. Sejak akhir Agustus sampai petang ini, rasa seperti menaiki roller coaster. Jantung nyut-nyutan, pandangan rasa jungkir balik, adrenalin naik turun tidak karu-karuan. Akan tetapi, ini bukan seperti rasa roller coaster di Dufan yang histeria bahagia tegang. Ini histeris sedih tegang. Akhir Agustus kemarin itu, dapat WA dari sahabat karib. Minta doa terbaik buat ibundanya yang sedang dirawat. Deg! WA, saya balas normatif. Doa mengalir, semoga Ibunda lekas pulih, begitu saya penuhi. Pikiran liar ke sana ke mari menunggu kabar berikutnya. Jeda hampir sepuluh menit. Dan, kecemasan terjawab. Ibundanya positif Covid. Pukul empat pagi empat hari kemudian, WA saya terima lagi. Sahabat karib ini mengirim pesan suara. Isinya rekaman via handphone dia pada sang Bunda. Pesan suara yang sangat menyentuh: Assalamualaikum, Ma. Ini *

MUTUALISME SECANGKIR KOPI DAN SEBARIS ESAI

Bila naluri aksara sudah mulai bekerja, otak akan memerintah. Kata demi kata diurai. Antar kalimat dicarikan jodohnya. Tentu, beberapa kalimat harus diganti diksi baru. Bahkan, ada di antaranya yang tidak bisa diselamatkan. Dengan berat hati, ia harus dibuang. Kalimat utama dengan kalimat penjelasnya dipasangkan serasi. Jadilah ia paragraf sejoli yang berjalan mesra bergandengan tangan. Dan, sesapan kopi menutupnya. Sempurna. NGOPI di perpustakaan bukan sembarang “ritual”. Bukan sekadar memenuhi selera lidah. Bukan pula hirupan relaksasi dari aromanya yang kuat an sich . Akan tetapi, ngopi di perpustakaan adalah sumber inspirasi. Imajinasi otak dan jemari. Lebih dari itu, sesapannya bagai mantra yang menggerakkan. Seduhan hasil gilingan biji dari pohon pendek berbuah kecil-kecil yang konon ditemukan pertama kali oleh penggembala kambing di Ethiopia pada abad ke-9 itu, sanggup menjadi energi buat menjadikan esai yang bisu mampu berbicara. Pada hitungan entah yang keberapa kali, sesapan

TILIK DAN LITERASI DIGITAL HARI INI

Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hiburan televisi di rumah tangga kita sudah bertabur konten gibah gila-gilaan.  TILIK merebut perhatian banyak kalangan. Sebuah film pendek yang diproduksi pada 2018 itu menuai berbagai penilaian. Ramai di jagat medsos, TILIK dinilai dari sudut kreativitas, kebebasan berekspresi, sampai pada penilaian dari sudut moral sebuah karya sinema. Tentu, ragam penilaian itu berangkat dari standar nilai masing-masing penilai. Pada akhirnya, pro-kontra atas TILIK menjadi pertunjukkan kedua setelah Bu Tejo. Setelah menonton TILIK , “kolom opini” di kepala saya pun muncul begitu saja. Kesimpulan saya, hampir tidak ada yang baru yang ditawarkan TILIK . Bila dipandang sebagai kreativitas, kebebasan berekspresi, bahkan dinilai dari sudut moral pun, rasa-rasanya, TILIK bukan yang pertama dan terakhir. Ambil sudut moral misalnya, TILIK tidak bisa mengelak dinilai sebagai tontonan gibah. Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hibu

PAK MOKO DAN MIMPI YANG TERTUNDA

Saya sudah tidak kuat, kayaknya ini buku terakhir saya. Ustadz Insan LS Mokoginta telah wafat. Kepergiannya menyisakan duka. Umat Islam kehilangan lagi tokoh kristolog setelah sebelumnya Kodiran bin Saiun Atmoduryo juga berpulang pada 16 April 2020. Keduanya menyusul guru para kristolog Indonesia; KH. Abdullah Wasi’an, kristolog yang disegani para pendeta dan tokoh kristen. Ustadz Insan LS Mokoginta—Saya memanggilnya “Pak Moko” —meninggalkan kesan khusus buat saya meski hanya dua kali bertemu dan berbincang. Pertama kali bertemu di rumah beliau di Kelapa Dua, Depok, untuk silaturahim, belajar, dan membincangkan rencana menulis buku seri "Kiai Kocak". Saya terbersit ingin mengangkat isu kristenisasi untuk seri "Kiai Kocak Ronde#5". Rasanya, saya memang harus berguru langsung kepada Pak Moko untuk mendalami topik yang akan saya kemas dengan style khas Kiai Adung. Kali kedua bertemu Pak Moko di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cempaka Putih, saat beliau mengisi semina

CINTA SEKADAR

Soal cinta adalah soal berterima seperti air dengan air, bukan seperti air dengan minyak.  JARANG sekali saya membaca pesan semendasar ini. Si pengirim, sahabat saya ini memang pembelajar, bukan sekali dua kali dia mengirim pesan menanyakan sesuatu. Sering pula saya yang memulai bertukar kabar, sekadar menyapa, sahut-sahutan canda, dan membicarakan hal yang enteng-enteng. Akan tetapi, kali ini tidak. Pesan yang dikirimnya sangat menyentak. Senja sempurna baru saja pergi, naik ke langit untuk bertukar shift. Magrib menipis. Setengah jam lagi masuk waktu isya. Teh poci---ritual sore--- di mug belum pula tandas. Tilawah paman saya dari mushalla Pak Mi'in pengantar Maghrib menuju Isya masih melantun. Pada waktu demikian itulah pesan saya terima. Pesan itu berisi soal cinta yang menggebu. Ya, sahabat saya ini bertanya soal cinta yang dirasanya sudah sukar dia kendalikan. Dia sedang jatuh cinta untuk yang kesekian kali. Bahkan cinta kali ini lebih dahsyat dari cinta-cinta yang sebelumny

HEI KITA SUDAH TUA!

Orang-orang setua kita, hanya tinggal tersisa dua stasiun hidup, yaitu kuburan dan akhirat. Masa-masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa sudah pergi, sudah kita habiskan, kita bagi-bagi dari jatah 49 tahun yang lalu.  "Orang-orang setua kita, hanya tinggal tersisa dua stasiun hidup, yaitu kuburan dan akhirat. Masa-masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa sudah pergi, sudah kita habiskan, kita bagi-bagi dari jatah 49 tahun yang lalu." 36 tahun bukan waktu yang sebentar. Pada 1979, kita masuk SD. 1985 kita lulus, berpisah, dan memilih jalan sekolah atau jalan hidup masing-masing. Hari ini, kita bersua lagi setelah sekian lama dalam kebermasing-masingan. Namun, masa sepanjang itu, rasanya berlangsung dalam sekejap saat kita bertemu. Tahu-tahu, kita sudah menua. Tanda-tanda menua begitu tampak, tapi saya tidak ingin membicarakannya. Biarlah itu menjadi semacam kekayaan hidup masing-masing Maspupah, Nuryahati, Sa’diyah, Maryamah, Napsiah, Siti Kotijah, Dayati, Azhari, Ujang,

KELAS TAKHASSUS

Tidak terlalu penting juga sih mencatat nama masjid itu di benak. Masjid, ya masjid. Cukup. Yang penting bukan "Masjid Dhirar".  Bahagia kadang begitu sederhana. Kali ini, cukup dengan bertemu kelas kecil. Memang ada air kemasan, pisang, jeruk, semangka, dan roti bolu dihidangkan di atas meja. Juga ada bakwan, tahu, dan keripik tempe lengkap dengan sejumput cabe rawit yang menggoda lidah bergoyang. Tentu, hidangan itu untuk saya nikmati. Akan tetapi, bukan itu yang membahagiakan. Bukan. Saya sebut kelas kecil karena pesertanya hanya belasan. Mereka santri senior MBS Kibagus Hadikusumo. Tahun ini mereka lulus. Namun, mereka belum diizinkan pulang karena diharuskan mengambil Kelas Takhassus selama satu tahun. Kelas Takhassus ini, seperti penjelasan yang saya dapat dari Abah, dipersiapkan MBS Kibagus sebagai kelas pendalaman bahasa dan turats . Tentu, sebagai lembaga pesantren, penguasaan bahasa Arab dan kitab klasik dalam berbagai disiplin, seperti akidah, tafsir, fikih, ushul