Turki Masih Terlalu Islam
Meskipun telah ‘mati-matian’ menjadi ‘Barat’, namun masyarakat Uni Eropa saat ini pun masih memandang Bangsa Turki terlalu miskin, terlalu banyak jumlahnya, dan terlalu muslim.

KENT Hotel. Letaknya tidak jauh dari pusat kota Malatya, persis di jantung Istanbul dengan landmark bangunan-bangunan bersejarah bertebaran di sekitarnya. Jaraknya sekitar 15 km dari Atatürk Airport. Hotel bintang 4 ini bediri di Beyazıt, 34490, Ordu Cd. No : 29, 34130 Fatih/İstanbul, Turkey.

Dari Kent Hotel, kemanapun jelajah wisata Istanbul mudah sekali. Dari sini, 10 menit cukup untuk sampai ke Sultan Ahmet, 2 menit ke Grand Bazaar, dan 20 menit ke Taksim Square. Letak Kent Hotel menjangkau semua situs bersejarah di Istanbul dengan cepat dan mudah.

Persis di depan Kent Hotel melintas jalur tramvay. Di seberang jalur tramvay berdiri Istanbul University. Kampus itu dulunya adalah istana raja yang diubah fungsinya menjadi universitas. Ke arah kanan dari universitas ada Bayezid Camii (Beyazid Mosque). Masjid itu dibangun pada 1501 M pada masa kesultanan Beyazid II. Saya amat berkesan dengan masjid itu. Apalagi kalau bukan suara merdu bacaan imamnya, sama merdunya dengan lantunan imam di Blue Mosque.

Tidak jauh dari Bayezid Camii ada Grand Bazaar. Dalam Bahasa Turki, Grand Bazaar disebut kapalı çarşı, artinya pasar tertutup. Lokasi persisnya di Beyazıt, Kalpakçılar Cd. No : 22, 34126 Fatih/İstanbul, Turkey. Pasar Tertutup ini dibangun pada 1461 M atas perintah Sultan Mehmed II, delapan tahun setelah penaklukan Konstantinopel. Secara resmi, pasar ini dibuka pada 1730 M. Orang berkata, “Anda belum ke Istanbul jika belum belanja di Grand Bazaar.” 

Dua belas jam penerbangan dan seharian menjelajah Istanbul di hari pertama, persendian terasa mau lepas. Ingin cepat-cepat mandi air hangat, minum susu panas, lalu melempar tubuh di atas kasur. Apalagi salju masih turun, rasanya menarik selimut dan berkemul adalah pilihan paling nyaman daripada sekadar jalan-jalan menikmati Ordu Caddesi yang memikat. 

Namun mata tak jua mau dipejamkan. Letih tidak jua mengundang kantuk. Sehabis mandi dan menyeruput susu panas, badan jadi segar. Tanpa diperintah, otak memutar memori seharian di Istanbul dan berhenti pada kisah perempuan cantik di Istiklal Caddesi. Sama sekali saya tidak menyangka mendapati pengalaman demikian itu. Saya tidak tahu, apakah perempuan itu bagian dari Mustafa yang berhasil menjebak dan merogoh 100 lira dari dompet dua rombongan saya, atau pelaku bisnis yang tidak ada hubungannya dengan Mustafa. Kata orang, semakin jauh Anda pergi, semakin berat risiko yang Anda hadapi. 

Televisi di kamar saya nyalakan. Mengalun suara lembut Mustafa Ceceli membawakan lagu Hastalıkta Sağlıkta. Anda pasti tahu, saat ini Mustafa Ceceli termasuk penyanyi papan atas Turki. Tradisi musik Turki memang salah satu yang saya kulik sebelum berangkat ke Istanbul sekadar memperkaya literasi tentang Turki agar tidak berhenti pada Hagia Sophia, Konstantinopel, atau Baklava; makanan khas Turki. Meski tidak fanatik, kadang saya membutuhkan musik sekadar penyedap hidup, seperti koki membutuhkan sedikit kaldu agar sup terasa lebih sedap. Dan saya terhibur seiring kantuk yang dibawa terbang malam pertama di Istanbul.

Mustafa Ceceli terbilang masih baru di blantika musik Turki. Ia mengawali karir sebagai penyanyi baru pada 2009 melalui tangan dingin produser Ozan Dogulu dengan menggandeng arranger Sezen Aksu. Baik Ozan Dogulu dan Sezen Aksu, keduanya produser dan arranger papan atas. Tak heran, keduanya berhasil mengantarkan penyanyi berparas tampan ini melejit dengan album-albumnya. Mustafa Ceceli dua kali memenangkan "Türkiye Müzik Ödülleri" (seperti perhelatan ajang anugerah musik). Mustafa berhasil menyabet gelar Album Terbaik dan Artis Pria Terbaik. Ia menerima penghargaan itu pada 2010 dan 2014.

Soal perempuan yang menawarkan pijat dan gadis Turki itu, akhirnya saya mengerti bahwa hal itu bukan perkara aneh, apalagi di luar negeri. Bisa jadi itu fenomena yang sangat biasa. Ingatan saya jadi melompat, mundur pada medio 2008 saat masih bergabung dengan AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program). Waktu itu, saya dan tim mengikuti workshop di kota P dan diinapkan di hotel. Begitulah, saat memanfaatkan waktu luang keluar hotel, saya dibuntuti mucikari yang menawarkan gadis-gadis lokal. Album berisi foto gadis-gadis yang ditawarkan dibeberkan di muka saya.

“Bapak tinggalkan saja nomor kamar. Nanti kami kirim,” kata sang mucikari.

Bujug! Saya bengong. 

Sang mucikari terus saja menawarkan. Gerah juga rasanya dibuntuti. Sambil terus membujuk, banyak bocoran saya dengar. Kata sang mucikari, tamu-tamu dari Jakarta biasa mencari gadis-gadis asuhannya buat menemani tidur atau sekadar pijit di kamar. Untunglah, Pak Benyamin, guru MTs. dari Bekasi teman sekamar saya punya akal kancil untuk menyudahi kegigihan sang mucikari.

“Maaf, Pak. Kami sudah booking!”

Gubrak!

“Bilang dong dari tadi!”

Huahahahahah. Hampir tawa saya meledak.

Ampuh. Laki-laki itu ngeloyor pergi sambil menggerutu.

Jadi, jangankan di luar negeri, di negeri sendiri pun hal serupa bisa saja dijumpai. Benarlah ungkapan “Semakin jauh Anda pergi, semakin berat risiko yang Anda hadapi” khususnya urusan perempuan. Masalahnya tinggal benteng tiap orang menahan godaan macam begitu. Berpisah dengan istri dan anak-anak, memang sungguh tidak menyenangkan. Lebih tidak menyenangkan, saat kita kesepian karena jauh dari istri, datang sales-sales menawarkan pengganti. Wew.

Dari dua fenomena yang sama persis itu kita bisa berkata, bahwa di ujung dunia manapun, bisnis selimut malam selalu hadir menghias kota dan gemerlapnya malam. Tidak ada kota yang begitu sempurna, barangkali hanya Haramain (Makkah dan Madinah), yang benar-benar bersih dari fenomena seperti yang saya ceritakan. Istanbul memang pernah menjadi pusat kota Khilafah Islamiyah. Jika pada 2013 saya mendapati sendiri fenomena seperti itu, saya percaya itu warisan dari kebijakan Turki yang ‘dibaratkan’ sekulerisme Atatürk.

Lagi saya singgung sedikit sisi sejarah Turki. Upaya ‘membaratkan’ Turki oleh Mustafa Kemal Atatürk sesungguhnya gagal total. Bapak Turki Modern itu sudah mati-matian menjadikan negaranya menjadi orang Barat, mengadopsi budaya Barat dan berusaha membuang tradisi Islam jauh-jauh dari hati orang Turki, tetapi sampai hari ini, Barat sendiri, dalam hal ini Uni Eropa, belum juga membuka diri untuk mengakui Turki sebagai bagian dari mereka. Memang, dari segi geografis, 97% wilayah Turki berada di Asia, 3 % sisanya di Eropa. 

Sejak tahun 2005, upaya Turki menjadi anggota Uni Eropa selalu mendapatkan jalan buntu dan penolakan dari anggota Uni Eropa lainnya. Padahal jika dilihat dari ekonomi, dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan, Turki layak menjadi anggota Uni Eropa. Namun, para pemimpin negara Uni Eropa selalu menolak untuk menerima keanggotaan Turki. Boleh jadi dahulu di masa Atatürk, Barat bersorak-sorai karena Turki menanggalkan identitas Islamnya seraya mengadopsi budaya mereka, tetapi untuk diakui sejajar dengan mereka, nanti dulu.

Masalah HAM merupakan salah satu alasan buat mengganjal dari menerima keanggotaan Turki di Uni Eropa. Alasan lemahnya demokratisasi dan penegakan HAM memang sulit dibantah dan menjadi fokus Uni Eropa terhadap Turki. Tetapi ini mengherankan. Irlandia diterima sebagai anggota pada 1972 di mana pada saat itu kondisi dalam negeri negara tersebut tidak lebih baik dari Turki pada 2005. Hanya karena posisi Irlandia sangat kuat dipengaruhi oleh keputusan gereja, Irlandia lolos. Hal ini sekali lagi membuktikan ketidaksukaan Uni Eropa terhadap Turki.

Faktor sejarah, kebudayaan, dan agama di Turki yang bertolak belakang dengan negara-negara Eropa pada umumnya, saya yakin menjadi poin utama ditolaknya Turki menjadi anggota Uni Eropa. Turki memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya. Bagaimanapun, Turki adalah sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting torehan sejarah besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah pada zaman Kekaisaran Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut di satu pihak menjadi suatu kebanggaan yang sangat besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru dunia, namun di lain pihak hal tersebut benar-benar memengaruhi cara pandang negara-negara Eropa bahkan keputusan Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa. Oleh negara-negara Eropa, Turki dianggap tidak termasuk dalam Christian Community, ini hal yang masuk akal meskipun kental dengan aroma Islamophobia. Ditambah lagi sejarah buruk antara Turki seperti Inggris dan Yunani, di mana keduanya dapat saja menggunakan hak veto-nya untuk menolak keanggotaan Turki sebagaimana yang pernah dilakukan Yunani pada Turki. Belakangan, Perancis dan Austria menjadi negara yang secara tegas menolak keanggotaan Turki. Nicolas Sarkozy (waktu itu Presiden Perancis) tetap teguh menentang masuknya Turki dalam Uni Eropa dengan alasan agama menjadi penyebabnya. Bisa jadi Sarkozy paham betul, homogenitas budaya Eropa akan hilang apabila Turki menjadi anggota Uni Eropa. Menolak keanggotaan Turki dinilai merupakan bentuk usaha menjaga kemurnian peradaban benua biru dari pengaruh Turki yang notabene kental dengan peradaban Islamnya.

Inilah sesungguhnya hambatan terbesar Turki dari diterima menjadi anggota Uni Eropa, bukan masalah perekonomian atau masalah demokratisasi yang lemah di negara tersebut. Jadi, lebih kepada faktor sentimen ideologi yang digunakan untuk menyudutkan Turki. 

Inilah yang saya sebut upaya membaratkan Turki gagal mengenaskan. Meskipun telah ‘mati-matian’ menjadi ‘Barat’, namun masyarakat Uni Eropa saat ini pun masih memandang Bangsa Turki terlalu miskin, terlalu banyak jumlahnya, dan terlalu muslim. Jadi, meskipun Turki sudah disekulerkan habis-habisan tetapi tetap saja dianggap terlalu muslim. Larangan jilbab saja baru dicabut pada 2013. Dalam pandangan muslim ‘radikal’, betapa sudah sekulernya wajah Turki sebenarnya.

Fenomena Turki belakangan, doktrin sekulerisme mulai tersisihkan di Turki. Fenomena ini banyak ditafsirkan dan dianggap sebagai benih-benih kebangkitan Islam. Studi Al-Quran di sekolah umum mulai digalakan di negara dua benua tersebut. Perubahan itu rupanya dicium Uni Eropa yang tak berdiam diri terhadap langkah yang diambil Turki. Uni Eropa pun mengekspresikan kekhawatirannya terkait perubahan itu.

Uni Eropa secara tidak langsung memainkan kartu truf supaya Turki yang dipandang Barat masih terlalu Islam harus memutuskan semua ikatan peradaban dan sejarahnya dengan Negara-negara Arab dan Islam untuk bisa sepenuhnya berafiliasi ke peradaban Barat. Mau tidak mau, Turki harus melakukan rekonstruksi atas struktur administrasi dan undang-undang dasarnya supaya dapat bergabung ke dalam Uni Eropa. Barat sangat sadar akan kekuatan Islam sebagai sebuah akidah yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan kokoh dalam warisan-warisan sejarah dan peradaban di kalangan bangsa-bangsa Muslim. Barat sangat waspada dan khawatir terhadap Islam karena Islam bertentangan dengan sekularisme dan liberalisme yang menjadi pijakan utama budaya Barat.

Mustafa masih terus menemani. Neme Lazim mengalun, entah itu sudah lagu yang ke berapa. Iramanya yang energik sangat menghibur. Saya benar-benar menikmatinya sampai pandangan menjadi gelap segelap malam pekat mengantar tidur. 

Perpustakaan Madrasah Pembangunan
Rabu, 15 Januari 2020.