Bandit Istiqlal Caddesi
Saya terperangah, cara-cara Mustafa mendekati saya, sama persis dengan ulasan Scam City. Ah, pasti, dua orang rombongan saya itu dijebak Mustafa. Gawat!
JELAJAH Taksim Square berakhir di restoran Korea sekitar İstiklal Caddesi. Salad “Kembang Kuburan” tak tampak di meja hidangan. Menu makan malam benar-benar Asia. Olahan ikan laut, sayur, sup, mie, tumis taoge, dan nasi. Rasanya sangat cocok dengan lidah saya, manis, pedas, dan asin. Daging ayamnya juga terasa lembut dan renyah. Ini kali kedua saya menikmati nasi dan lauk Asia di Istanbul.
Saya lebih dulu keluar dari ruang makan untuk mencari angin. Saya duduk di depan restoran menikmati malam di İstiklal Caddesi. Meski malam sangat cerah, tapi suhu masih dingin. Jaket tebal saya kenakan lagi.
Seperti sudah saya katakan pada catatan yang lalu, İstiklal Caddesi seperti mall terbuka. Jalan sepanjang tiga kilometer itu mewah sekali. Berbagai macam toko berjejer rapi memancing pengunjung merogoh dompetnya dalam-dalam. Mulai dari toko pakaian, sepatu, perhiasan, jam tangan, aksesoris, tas, kosmetik dan obat-obatan, elektronik juga komputer, sampai toko-toko yang menjual barang-barang antik khas Turki seperti karpet dan aneka jenis lampu-lampu hias ada di sini. Barang-barang brandid ternama seperti Zara, Mark & Spencer, Lacoste, Levi's, Calvin Klein, Mango, United Colors of Benetton, Ermenegildo Zegna, Diesel bertengger di toko-toko pakaian. Atau Nine West, Adidas dan Reebok yang bersaing dengan produk sepatu lokal tampak kontras. Ada juga Teknosa, toko elektronik yang tampak besar dari toko-toko yang lain. Restoran dan cafe seperti Starbucks Coffee, The House Cafe atau Soho serta cafe-cafe lokal bersaing berebut pasar.
Di setiap sudut, lampu-lampu gemerlapan memendar dari toko, bar, restoran, kedai kopi, salon sampai pedagang kaki lima. Posisi restoran Korea tempat saya makan malam persis berhadapan di antara tempat-tempat wisata belanja itu.
Saya perhatikan, banyak muda-mudi Turki modis berpasangan menikmati akhir pekan. Mereka terlihat sangat romantis. Kedua tangan mereka saling bertaut bahkan sesekali terlihat jelas -maaf- berciuman. Saya risih, tapi kemudian menyadari, fenomena ini bagian dari budaya Eropa, dan Istanbul sudah terbaratkan sejak era Atatürk yang sekuler berkuasa.
Nah, saat saya sedang menikmati malam di İstiklal Caddesi inilah, datang perempuan cantik itu dengan senyum menggoda.
“Hi.”
Saya agak shock. Perempuan itu mengulurkan tangan. Setengah ragu, saya sambut menyalaminya.
“Malayzia?” tanya wanita itu sambil masih mengulum senyum.
“No. I am Indonesian,” balas saya.
Et, dah, tangan saya masih digenggam. Saya berusaha melepasnya dengan sopan sambil berkata, "Sorry, Madam."
“Oow. Endonezya? Very good.” balasnya.
Dengan bahasa Inggris sangat terbatas dan patah-patah, saya menimpali wanita itu menjawab setiap obrolannya, sekadar dia senang saya menimpali. Sampai kemudian saya terbelalak saat perempuan itu menawari gadis-gadis Turki sembari wanita itu menyebutkan nama-nama dan menunjukkan foto gadis-gadis itu. Perempuan itu berkata bahwa, massage dengan gadis-gadis Turki akan segera mengembalikan stamina badan menjadi bugar.
Naaaah, deg-degan lah saya karena perempuan itu terus merajuk. Dia terus saja membujuk dan baru berhenti setelah saya terpaksa berbohong mengatakan istri saya sebentar lagi menyusul sambil saya menunjuk restoran Korea tempat saya menyelesaikan makan malam.
Perempuan itu belum juga menyerah.
“Okay. Take my number. I think you have need it sometimes. Call me!” katanya memaksa sambil menyerahkan kartu nama.
Saya terima juga kartu nama pemberiannya sambil mengucap terima kasih berkali-kali berharap wanita itu segera pergi. Degup jantung saya sedikit mereda.
Belum hilang keterkejutan saya, datang seorang anak muda Turki menghampiri. Anak muda itu memperkenalkan dirinya sebagai Mustafa. Mustafa berperawakan sedang, sedikit lebih pendek dari rata-rata orang Turki. Ramahnya bukan main. Ia menawarkan rokok lalu permen sekadar memulai topik obrolan. Saya merasakan gelagat Mustafa dari caranya mengajak berbincang sama polanya dengan wanita yang baru saja menawarkan gadis Turki. Benar saja, ujung-ujungnya Mustafa mengajak saya mampir ke kafe miliknya. Menurut Mustafa, kafe miliknya hanya berjarak lima menit berjalan kaki sudah sampai.
“Come on. Just five minute,” katanya meyakinkan saya.
Saya menolak dengan alasan lelah dan ingin duduk-duduk menunggu semua rombongan selesai makan malam untuk kembali ke hotel. Saya katakan masih betah menikmati kawasan İstiklal Caddesi; kawasan hang out yang top banget, kawasan yang pada masa Ottoman dikenal orang Perancis sebagai 'Grande Rue de Pera’ atau jalan yang paling elegan di Istanbul.
Mustafa lalu beralih mendekati dua orang anggota rombongan saya. Sebentar saja, mereka sudah asyik mengobrol. Saya mengacuhkannya karena masih asyik menikmati lalu-lalang muda-mudi Turki di İstiklal Caddesi.
Beberapa saat kemudian, semua rombongan saya telah menyelesaikan makan malamnya. Segera kami diminta naik bus menuju hotel. Barulah saya menyadari, dua orang dari rombongan belum bergabung. Saya duga mereka mengikuti ajakan Mustafa. Hingga setengah jam berlalu dua orang rombongan belum juga kembali. Hakan dan Bayu sudah mulai marah-marah.
Saya mulai tak tenang. Saya pernah membaca ulasan Scam City, film dokumenter di NatGeo Adventure di surat kabar. Scam City adalah program informasi yang mengulas kejahatan penipuan di suatu negara. Ulasan Scam City yang saya baca menyajikan penipuan di sekitar İstiklal Caddesi.
Dalam ulasan itu, İstiklal Caddesi disebutkan merupakan daerah operasi aksi-aksi penipuan. Sasarannya para turis asing. Para pelaku menyebar di area İstiklal Caddesi mendekati turis-turis yang lalu lalang. Mereka menyapa dengan ramah, mengajak ngobrol, pura-pura menawarkan jasa untuk memenuhi kebutuhan korban, dan ujung-ujungnya mengajak korban sekadar minum teh atau kopi di cafe milikinya.
Ulasan Scam City memaparkan, korban akan diajak duduk-duduk bareng di satu bar, memesan makanan atau minuman. Setelah itu, akan ada laki-laki berbadan besar yang mendatangi korban dan memberikan billing makanan dan minuman yang sudah dipesan. Jangan kaget bila harganya bisa menjadi berlipat-lipat. Tidak ada pilihan lain bagi korban kecuali merogoh koceknya dalam-dalam. Sebab kalau tidak, korban ditahan tidak bisa keluar dari bar.
Saya terperangah, cara-cara Mustafa mendekati saya, sama persis dengan ulasan Scam City. Ah, pasti, dua orang rombongan saya itu dijebak Mustafa. Gawat!
Satu jam berlalu. Waktu merambat pelan seperti terseok-seok. Meski baru pukul 07.00 waktu Istanbul, tapi malam sudah terasa larut. Aura İstiklal Caddesi yang gemerlap sekan menjadi menakutkan karena Mustafa. Mungkin karena dilewati dengan gelisah.
Hakan dan Bayu tampak tegang dan terus berbicara. Saya lihat Hakan menghubungi seseorang lewat telpon genggamnya dengan mimik serius. Saat itulah dari kejauhan, tampak dua orang setengah berlari mendekat bus. Ah, rupanya dua orang yang menggelisahkan saya dan seisi bus. Bus langsung meluncur menuju Kent Hotel tempat saya menginap. Untuk beberapa saat, suasana di dalam bus senyap, tak ada gurauan semisal ‘Kembang Kuburan’ seperti biasanya.
Dugaan saya tepat. Dua orang rombongan itu baru saja mengalami kejadian persis dengan ulasan Scam City, tidak kurang tidak lebih. Dua orang itu mengaku diperas. Seratus lira melayang dari sakunya untuk bisa keluar dari bar dan lepas dari cengkeraman bodyguard-nya Mustafa.
“Waw! Seratus lira Turki. Itu setara dengan 1,2 juta,” pekik saya dalam hati. Uang senilai itu honor dua bulan saya tahun 2004 di sebuah yayasan ‘kaya’ tempat saya mengajar. Harga yang cukup mahal untuk membayar sekadar keramahan Mustafa.
Ini pengalaman pahit bagi dua orang rombongan saya sekaligus amat berharga untuk orang lain. Paling tidak, bila ada kesempatan datang lagi ke İstiklal Caddesi, trik para bandit Istanbul ala Mustafa sudah bisa untuk dihindari. Pembaca yang berkeinginan ke Istanbul, catatan ini penting untuk diperhatikan.
Para penyuka traveling ke luar negeri, memang perlu mengulik-ngulik karakter tempat negara yang hendak dikunjungi, bukan hanya destinasi wisatanya, tempat makan, tempat nongkrong, tempat belanja, atau hotel yang terjangkau kocek saja yang diburu. Literasi budaya dan mengetahui informasi kemungkinan sisi buruk dari kota yang akan dikunjungi jauh lebih penting, apalagi menyangkut keselamatan diri di negeri orang.
Semoga Anda bisa berkunjung ke İstiklal Caddesi.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan
Rabu, 08 Januari 2020.
---
Foto suasana malam di İstiklal Caddesi saya ambil dari https://arriveturkey.com/
0 Comments
Posting Komentar