Operasi

Dokter, angkat saja rahimku. Yang penting aku tidak nyeri lagi dan bisa haid.

Di rumah sakit swasta di Depok itu, aku langsung ditangani dokter spesialis. Dokter Didi namanya. Harapan Umi dan Ayahku melambung karena dokter yang bersangkutan sedang menangani pasien lain yang keluhannya sama persis denganku. Dokter Didi bilang aku tidak sendiri. Menurutnya, kasus penderita sepertiku banyak dialami perempuan.



Ayahku lalu menceritakan keadaan yang aku alami. Dari mulai rasa nyeri sampai keluhanku yang hingga saat itu belum mendapatkan haid. Dalam hati aku berharap, semoga ayah tidak menceritakan bahwa aku juga berobat ke dukun. Tentang perutku ditiup-tiup lalu diberi air jampi-jampi oleh Mak Pesah untuk menghilangkan rasa nyeri yang sangat. 

Dokter Didi menyimak dengan penuh perhatian. Sesekali dokter Didi bertanya. Mungkin sekadar memastikan bahwa keluhanku memang sama persis dengan pasien yang baru saja ditanganinya. Untunglah, soal dukun itu tidak dibicarakan ayahku.

Kata dokter Didi, kemungkinan aku mengidap amenore. Dokter Didi tidak menjelaskan amenore sebagai penyakit. Ia hanya menyatakan amenore sebagai kondisi tidak terjadi menstruasi pada wanita. Jika menstruasi tidak pernah terjadi maka disebut amenore primer, jika menstruasi pernah terjadi tetapi kemudian berhenti selama 6 bulan atau lebih maka disebut amenore sekunder. Dokter Didi menegaskan, amenore yang normal hanya terjadi sebelum masa pubertas, selama kehamilan, selama menyusui dan setelah menopause. Pada dasarnya kata dokter Didi, amenore adalah gejala Normal. Nol koma satu sampai dua koma lima persen wanita di Indonesia mengalaminya. 

Saat dokter Didi menjelaskan bahwa amenore bisa terjadi akibat kelainan di otak, kelenjar hipofisa, kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, ovarium, maupun bagian dari sistem reproduksi lainnya, Umi, Ayah dan aku bengong. Apalagi aku. Bahkan aku menganganggap penjelasan dokter Didi aneh. Yang ada di pikiranku waktu itu, mengapa kelainan otak rasa sakitnya bisa di perut? Aneh kan? Aku benar-benar tidak mengerti.

Penjelasan dokter Didi makin tidak aku mengerti. Dalam keadaan normal, kata dokter Didi lagi, hipotalamus sebagai bagian dari otak yang terletak di atas kelenjar hipofisa akan mengirimkan sinyal kepada kelenjar hipofisa untuk melepaskan hormon-hormon yang merangsang dilepaskannya sel telur oleh ovarium. 

“Pada penyakit tertentu, pembentukan hormon hipofisa yang abnormal bisa menyebabkan terhambatnya pelepasan sel telur dan terganggunya serangkaian proses hormonal yang terlibat dalam terjadinya menstruasi. Saya menduga, Rayya mengalami hal ini,” kata dokter Didi.

Aku semakin jauh tenggelam dalam ketidakmengertian. Tampaknya, Umi dan Ayahku juga tidak. Bagi mereka, penjelasan panjang dokter Didi mungkin tidak terlalu penting, yang penting rasa nyeri yang aku rasakan bisa segera disembuhkan.

Dokter Didi menjelaskan lagi, bisa jadi aku mengalami keadaan lain yang menyebabkan sinyal dari otakku agar kelenjar hipofisa melepaskan hormon-hormon yang merangsang dilepaskannya sel telur oleh ovarium terhambat. Saat Umiku bertanya keadaan lain itu apa, dokter Didi menunjukkan poster. Isinya gambar alat reproduksi wanita dan dua puluh dua penyebab amenore primer. Dari ke dua puluh dua penyebab itu, dokter Didi belum bisa memastikan keluhanku disebabkan oleh faktor yang mana.

Untuk memastikan bahwa aku memang benar-benar mengidap amenore primer dan penyebabnya bukan karena kelainan otak, aku harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Mulai dari pemeriksaan Biopsi Endometrium, Progestin Withdrawal, Kadar Prolaktin, Kadar Hormon, Tes Fungsi Tiroid, Kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), Thyroid Stimulating Hormone (TSH), Kariotipe untuk mengetahui adanya kelainan kromosom, sampai CT scan kepala jika diduga ada tumor hipofisa. Jika semua hasil pemeriksaan normal, maka dilakukan pemeriksaan setiap 3-6 bulan untuk memantau perkembangan pubertas. Umiku penasaran dan kembali bertanya soal kemungkinan aku harus menjalani operasi. Dokter Didi menghela napas. 

“Kemungkinan itu ada.”

Kali ini, Umi dan ayahku tidak lagi terlalu terkejut mendengar kata operasi karena sudah pernah didengarnya dari dokter Wawan. Namun saat dokter Didi mengatakan kemungkinan operasi itu adalah operasi besar di mana rahim beserta ovariumku harus diangkat, Umi kembali tampak terpukul. Umi terisak. Ayah lesu. Wajah mereka menyiratkan kesedihan. Aku tak tau apa yang tengah mereka pikirkan dan rasakan. Sementara aku yang belum sepenuhnya mengerti, hanya berharap agar keluhanku segera berakhir. Saat itu, tanpa beban aku katakan. “Dokter, angkat saja rahimku. Yang penting aku tidak nyeri lagi dan bisa haid.”

Mendengar permintaanku, isak Umi makin berat. Suasana jadi berubah muram seperti drama Korea yang berakhir menyedihkan. Kulihat mata Ayahku mulai berkaca-kaca. Mungkin karena masalahku sangat berat. Aku mulai deg-degan. Suasana hatiku seketika berubah cemas. Aku sudah sering melihat Umi terisak tiap kali aku merasakan nyeri, namun isakan Umi kali ini berbeda sekali, seperti isakan putus asa.

Nanti setelah aku SMA, barulah benar-benar aku mengerti bahwa Rahim dan ovarium merupakan alat reproduksi wanita yang sangat penting dalam proses pembuahan. Ovarium ini berfungsi untuk menghasilkan sel ovum dan memproduksi hormon esterogen dan progesterone. Pengangkatan ovarium berakibat wanita akan mengalami menopouse lebih cepat. Lebih dari itu, pengangkatan ovarium menyebabkan menstruasi akan berhenti dan hormon menurun dengan cepat. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa haid, hamil dan melahirkan banyak anak tanpa ovarium?

Umi dan Ayah memelukku. Pelukan itu seolah ingin meredam rasa kecewa diri mereka sendiri. Bisa jadi kerana mereka sangat terpukul dengan kenyataan yang sedang aku alami. Karena itu, meskipun pelukan mereka membuatku nyaman, tetapi jiwaku berkata aku takut. Rasanya sebentar lagi aku akan menjalani sesuatu yang sangat menentukan hidupku yang tidak bisa aku bayangkan. []