Janji Seorang Lelaki

Jangan pernah menjadi pesaing nenek!


LAKI-laki dan perempuan itu menikah muda. Sama-sama berusia dua puluhan waktu mereka melangkah berumah tangga. Awalnya, orang tua si perempuan keberatan karena ingin agar anaknya meneruskan sekolah sampai cukup ilmu untuk mengajar, menjadi guru mengikuti jejak beberapa anaknya yang sukses menjadi PNS, punya gaji, dan pensiun di hari tuanya kelak. Barangkali juga mereka keberatan karena laki-laki yang mencintai anak perempuannya berasal dari keluarga sederhana. Apatah lagi, laki-laki itu hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah, sedangkan anak perempuannya lulusan sekolah keguruan. Namun laki-laki itu berhasil meyakinkan orang tua si perempuan bahwa ia sanggup membahagiakan anak perempuan mereka dan tak kuasa menolak jodoh anaknya. Laki-laki dan perempuan yang menikah muda itu adalah Umi dan Ayahku. 

Umi perempuan bijak. Meskipun berasal dari keluarga berada, ia bisa menyesuaikan diri dengan keadaan Ayahku. Umi tidak menuntut macam-macam seperti layaknya wanita yang biasa hidup berkecukupan dalam keluarganya. Kata Umi, ketulusan cinta lah yang membuatnya bisa menerima Ayahku apa adanya.

Ayahku pekerja keras. Bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan keluargaku. Pernah bekerja pada perusahaan jasa kurir, perantara jual beli tanah atau rumah, bahkan menjadi kuli bangunan pun pernah dia lakoni. Meskipun itu pekerjaan kasar dan hasilnya kecil, Ayah akan melakukannya asalkan jelas halalnya. Baginya, sedikit rezeki yang halal itu lebih baik dari pada banyak tapi tidak halal. Ayah sangat kuat memegang prinsip ini. Pantang baginya menafkahi Umi dan anak-anaknya dari hasil usaha yang tidak bersih. Dengan kerja keras itulah, Ayahku benar-benar berusaha ingin memenuhi janjinya pada nenek. 

Janji akan membahagiakan Umi benar-benar dipenuhi Ayah. Memang, hanya Umi yang merasakan ia bahagia atau tidak. Namun selama aku diasuh dalam buaian hangat mereka, belum pernah aku merasa, mendengar, atau melihat antara keduanya ribut-ribut. Entah, bisa jadi Ayah dan Umi pernah terlibat cekcok sebagai sesuatu yang lumrah bagi pasangan suami isteri. Tetapi aku yakin, Umi dan Ayahku selalu rukun. Hubungan keduanya hangat dan harmonis. Apalagi, Ayahku itu humoris yang pandai membuat suasana riang. Kerap Umi dan aku dibuatnya terpingkal-pingkal dengan candaannya yang segar. Aku benar-benar yakin, Ayah dan Umi memang pasangan bahagia. Saat nenek berkunjung, tampak sekali nenek menikmati kerukunan Umi dan Ayahku. 

Semakin aku besar, makin aku menyadari, Ayah dan Umi adalah pasangan yang saling mengisi, terutama dalam mengatur belanja rumah tangga. Ayah yang giat mencari nafkah dan Umi yang pandai mengatur uang, bisa memperbaiki ekonomi keluargaku. Sedikit demi sedikit, kehidupan rumah tangga Ayah dan Umi makin membaik dibanding pada awal-awal mereka menikah. Dari uang yang disisihkan Umi, Ayah bisa memiliki kendaraan. Cita-cita Umi bisa memiliki warung sembako juga kesampaian. 

Melihat Umi dan Ayah begitu bahagia, aku ingin tahu bagaimana awal mula kisah cinta mereka. Saat aku sudah duduk di bangku kelas 3 SMP, aku penasaran soal asmara Ayah dan Umi waktu mereka belum menikah. 

“Mengapa Umi mau menikah dengan Ayah?” tanyaku.

“Allah yang memilih Ayah buat Umi.” 

“Tapi, keluarga Ayah itu tidak punya harta seperti nenek,” kataku.

Umiku tersenyum.

“Apa Ayah satu-satunya laki-laki yang menginginkan Umi waktu itu?” tanyaku lagi.

“Tidak. Ada juga anak orang kaya.”

“Terus, mengapa Umi lebih memilih Ayah?”

“Karena Ayah adalah pilihan hati Umi.”

Aku hanya diam. Aku tak mengerti, mengapa Umi menolak laki-laki kaya dan lebih memilih Ayah yang sederhana dengan alasan pilihan hati. Aku juga tak mengerti maksud Umi yang menyebut Ayahku harta yang paling berharga.

“Jika aku jadi Umi, aku akan memilih laki-laki kaya itu,” kataku.

Umiku tersenyum lagi.

“Sungguh?” kata Umi.

“Sungguh.”

“Jika Umi memilih laki-laki kaya itu, Umi akan rugi.”

“Kenapa rugi? Bukankah dia orang kaya?”

“Rayya juga pasti rugi.”

“Kok, Rayya ikut rugi. Kenapa?”

“Karena, jika Umi menikah dengan laki-laki kaya itu, tidak mungkin Umi punya Tsurayya.”

“Emmm...”

Aku kehabisan kata. Tapi mulai sedikit mengerti.

“Iya juga, ya?” gumamku.

“Tak akan lahir Tsurayya yang mengalir di tubuhnya darah Fathullah, Ayahnya yang sederhana. Betul kan?”

“Iya juga,” gumamku lagi. 

Barulah aku mengerti maksud Ayahku adalah harta yang berharga bagi Umi setelah dijelaskan panjang lebar. Bahkan akhirnya aku bersyukur Umi lebih memilih Ayah menjadi pendampingnya kala itu. Jika tidak, bisa jadi, aku tidak akan pernah ada selamanya. Tsurayya hanya ada dalam angan-angan yang didamba tapi tak kunjung hadir ke dunia. Laki-laki kaya itu tentu memberi benihnya yang lain. Lalu bayi perempuan yang lahir dari rahim Umi tentu bukan aku. Entah siapa. 

“Oh, Umi,” seruku sambil memeluknya erat sekali.

Umi membalas lebih erat pelukanku. 

“Jika kelak kamu menikah, pilihlah laki-laki karena agamanya.”

“Seperti Ayah?”

Umiku tersenyum lagi. Mungkin karena keluguanku.

“Maksud Umi, jangan memilih laki-laki karena harta atau karena gantengnya semata.”

Aku mengangguk.

“Rayya ingin seperti nenek saja, Umi.”

“Ingin seperti nenek?” kata Umi sambil melepas pelukanku dan menatapku lekat sekali.

“Iya. Rayya ingin banyak anak seperti nenek.”

Aku dan Umi tertawa.

“Apa Rayya sanggup?”

“Sanggup.”

Umi menggeleng perlahan sambil menjawil pipiku. Mungkin Umi tengah membayangkan betapa repotnya jika kelak aku mengasuh empat belas anak. Sesuatu yang membayangkan saja Umi tidak sanggup. Bukan karena soal kesuburan, tetapi sedikit atau banyak anak, bagi Umi itu sudah suratan takdir. Takdir nenek atas cucunya, tidak harus selalu sama, meskipun secara genetik mereka mungkin sama-sama subur.

“Jalanilah takdirmu sendiri, Rayya.”

“Maksud Umi?”

“Jangan pernah menjadi pesaing nenek!”

Aku dan Umi kembali tertawa. Kami geli membayangkan sejarah kegaduhan di meja makan akan terulang di meja makan rumahku.[]