Busi Kebidanan

Setelah dokter Didi dan tim operasi berdiskusi, didapat satu kesimpulan, bahwa mereka harus membuat lubang buatan dari bawah vaginaku. Inilah satu-satunya cara agar darah haidku bisa keluar. Tetapi cara ini berisiko besar sekali. Jika dalam proses pembuatan lubang itu mengenai kandung kemih, fatal akibatnya.

Akhirnya aku pasrah, aku tidak bisa menghindari operasi. Alhamdulillaah, operasi berjalan lancar. 


Pembuatan lubang dari bawah vaginaku dan pemasangan kateter benar-benar langkah yang penuh risiko karena dilakukan dengan keterbatasan alat medis saat itu. Apalagi operasi yang aku jalani ternyata eksperimen pertama dokter Didi. Aku seperti kelinci percobaan. Namun hasilnya sungguh di luar dugaan. 

Sejak operasi itu, selang kateter dipasang setiap kali waktu haidku datang. Untunglah, aku menjalani proses haid dengan cara ini hanya tiga kali masa haid. Tidak kebayang andaikata aku harus menjalaninya dua belas kali masa haid dalam setahun, dua puluh empat kali dalam dua tahun, atau enam puluh kali dalam lima tahun, atau bahkan seumur hidupku. Ya Allah, mahal sekali haid itu bagiku.

Setelah tiga kali proses haid melalui pemasangan kateter, akhirnya aku bisa haid seperti layaknya wanita normal. Barulah saat itu aku merasa telah benar-benar menjadi gadis sempurna. 

“Umi! Aku haid!” kataku saat pertama kali haid itu datang.

“Alhamdulillaah,” seru Umi.

Umi memelukku erat sekali. Tangis harunya pecah. Hari itu seperti hari pembalasan buat Umi. Hari di mana Allah memberikan rasa bahagia atas air mata, upaya, dan doa-doanya untukku. Hari yang menghapus penyesalan telah melahirkan seorang putri yang tidak sempurna. Bahkan, hari itu seperti hari keluarnya Umi dari takdir gelap dan menerima lentera terang sebagai takdir baru atas putrinya. 

Itulah saat yang paling membahagiakan aku. Merasakan keluarnya darah haid dari rahimku sebagai sunnatullahnya gadis sempurna. Aku tidak merasakan sakit lagi kecuali sekedar nyeri haid biasa. Hanya saja durasi haidku tidak seperti gadis normal. Umumnya, gadis atau perempuan mengalami haid antara lima sampai tujuh hari. Akan tetapi, haidku bisa sampai lebih dari empat belas hari lamanya. 

Tetapi, permainan takdir atas rahimku belum berakhir saat aku sudah bisa haid. Lubang buatan hasil operasi itu rawan sumbatan karena besarnya hanya seukuran diameter sebatang lidi. Apabila tersumbat, maka darah haid tidak bisa keluar lagi. Untuk menjaga lubang itu tetap stabil, aku harus menggunakan alat. Alat itu dimasukan ke dalam lubang buatan itu. Aku lupa istilah medisnya, yang aku ingat, namanya busi kebidanan. Alat itu harus dipakai setiap hari. 

Perkembangan rahim dan siklus haidku terus dipantau dokter Didi. Akan tetapi, sejak aku menginjak bangku SMP, aku sudah mulai merasa malu setiap kali kontrol memeriksakan diri. Apalagi haidku sudah benar-benar lancar, aku makin merasa bahwa aku sudah sempurna. Hingga menginjak kelas 2 SMA, aku benar-benar jarang sekali kontrol. Saat itu aku sudah merasa risih, malu, dan ingin segera mengakhiri saja semuanya. Aku ingin segera berpisah jauh-jauh dari busi kebidanan yang menyiksa itu. 

Bagaimana tidak? Setiap saat aku harus mengenakannya. Sungguh, aku merasa seperti direndahkan oleh alat itu. Benda itu benar-benar telah merenggut perasaan kegadisanku. Akan tetapi, ketika aku diingatkan bahwa operasi yang aku jalani belum sempurna, alat itu sangat membantu buat menjaga kestabilan lubang haidku tetap terjaga, bahwa aku harus menjalani operasi lanjutan, aku surut. Apalagi saat mengingat betapa menderitanya aku saat darah haid tidak bisa keluar karena dinding tebal yang menutup rahimku. Mau tidak mau, aku menyerah untuk tetap mengenakan busi itu.[]