Akhir tahun 2017, seorang anak sepupu mendatangi saya. Saya senang sekali mendengar kabar ia sudah mulai menulis skripsi di awal kami berbincang. Bukan main rasa senang itu karena saya tahu persis bagaimana perjuangannya untuk bisa kuliah. Kesadarannya untuk belajar benar-benar tidak surut di atas ekonomi keluarga yang kering kerontang.

Lalu kami fokus berbincang soal skripsi. Ini perbincangan yang paling banyak saya memeras otak karena dua hal, pertama, saya lebih dulu punya skripsi. Kedua, di keluarga besar dari ayah waktu itu, satu-satunya sarjana cuma saya. Jadi, boleh dibilang, perbincangan tentang ini seperti dosen dan mahasiswa bimbingannya. Di sana berjalin berkelindan segala rasa saya sebagai “saudara senior”. Tentu, yang paling penting, saya ingin kepulangannya dari berbincang, penulisan skripsinya berjalan lancar bebas hambatan.

Nah, sebelum perbincangan soal skripsi berakhir, beralih ke laptop. Saya terkejut, rupanya anak sepupu ini sedang berada di zona ambiguitas kesalehan. Ia terjebak keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan atas makna sedekah yang menurut saya malah bisa mengancam nasib skripsinya. Bagaimana tidak, ia berniat menuruti “nasihat” teman mengajinya untuk menyedekahkan laptop, piranti yang sangat ia sayangi dan sedang ia butuhkan.

“Sedekah itu, yang terbaik dengan barang yang paling kita cintai,” begitu alasan anak sepupu menirukan nasihat itu sekalian dengan dalil yang disertakan. “Kita dianggap belum berbuat kebajikan, sampai kita merelakan apa pun milik kita yang paling kita cintai untuk sedekah.”

Saat dikatakan satu atau dua hari ke depan, laptop itu sudah ia sedekahkan, saya berusaha mengerti, mengangguk, dan tersenyum. 

Namun, dari air muka anak sepupu itu, seolah saya diberi tahu bahwa dia belum sepenuhnya rela menyedekahkan laptopnya. Dari antusiasme berbincang yang menurun dari soal skripsi ke sedekah laptop, saya berani untuk yakin bahwa ia gamang. Tapi tak urung, saya puji juga niatan baik itu supaya hilang keraguan dari dirinya. Saya katakan, sangat jarang orang di zaman ini sampai pada kesadaran itsar sebagaimana sifat kaum Anshar dahulu kepada saudara-saudaranya kaum Muhajirin. Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain di saat diri sendiri lebih sangat membutuhkan.

Lalu, saya coba kembali ke soal skripsi, seolah pembicaraan tentang sedekah laptop itu hanya sekadar pemberitahuan. Saya mulai dari target, berapa bulan skripsi akan ia selesaikan. Jawabannya tegas, secepatnya. Saya cecar, secepatnya itu kapan? Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, atau satu semester? Mulai gelagapan. Saat saya sodorkan tantangan waktu satu bulan, dijawabnya semoga sanggup. Saya cecar lagi, dengan apa skripsi diselesaikan dalam sebulan? Dijawabnya dengan laptop. Saya tanya lagi, laptop siapa? Ia tertegun. Diam membisu, dan mulai gelisah.

Berbuat baik, banyak ragam dan caranya yang elegan, kata saya. Menyelesaikan skripsi adalah prioritas kebajikan dirinya saat ini. Malah bukan sekadar kebajikan, tetapi kewajiban menuntaskan belajar pada strata yang tinggal sekelok lagi. Pikirkan harapan orang tua yang sudah sedemikian banyak berkorban, berhitunglah lebih cermat akan tenaga, pikiran, dan biaya yang sudah dikeluarkan. Tapakilah kesalehan itu dari yang terdekat; berbakti pada ibu dan bapak.

Sering kegagalan kuliah justru terjadi di masa akhir studi, di masa skripsi yang terbengkalai karena berbagai kendala. Salah satunya kendala fasilitas pendukung. Menghilangkan kendala yang menyebabkan kegagalan studi, harus didahulukan daripada mengambil manfaat kebajikan sementara kebajikan begitu banyak ragamnya. 

Anak sepupu ini memang belum pernah tahu, bapaknya begitu sering minta saran bagaimana bisa selesai kuliah di tengah himpitan ekonomi, seperti saya dahulu bisa melaluinya dengan linang air mata. Bagaimana tidak, di ujung harapan memakai toga, skripsi saya ditolak ditandatangani pembimbing hanya karena naskah produk mesin tik. Itu tahun 1998. Betapa malu sekaligus ‘terhinanya’ dikatakan, “Zaman sekarang, buta huruf bukan tidak bisa baca, tapi tidak bisa mengoperasikan komputer.” Namun siapa sangka, teman baik sewaktu KKN mengajak saya menginap dua hari dua malam ke rumahnya di Bintaro. Seharian diajari komputer, sisanya mati-matian begadang buat menyalin ulang. Dari pembimbing yang sudah profesor doktor itu, saya dapat dua pelajaran berharga; jangan pernah lelah bersabar dan jangan pernah lelah belajar.[]