Sebenarnya ini bukan insiden, melainkan peristiwa di luar dugaan. Semua terjadi di awal 2020. Sekali waktu kening berkerut, di waktu lain tersenyum geli, dan ada saat di mana prasangka berkata mengapa orang susah sekali memahami sikap saya bila mengingat-ingat peristiwa itu.

Di awal Januari, di luar dugaan, ada anak datang ke ruang kerja saya. Dengan wajah sedikit kaku anak itu mengadu dan meminta maaf. Tentu saya heran, apa yang membuatnya datang meminta maaf. Apa salahnya pada saya?

Tahulah saya setelah anak itu menuturkan masalahnya. Ia mengaku telah mengambil uang koleksi di lemari koleksi perpustakaan.

Meski sempat kening berkerut, saya senang karena anak itu sudah datang mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Artinya, ia merasa perbuatannya keliru, maka keberaniannya mengakui kesalahan harus saya apresiasi dengan cara memuji dan menyampaikan literasi tentang etika menjaga koleksi milik perpustakaan. Apalagi uang itu sudah ia kembalikan ke tempatnya semula.

Dengan suara yang mulai menghilang, anak itu meminta agar saya tidak memberi tahu orang tuanya. Saya menanggapinya dengan bertanya, untuk apa uang itu ia ambil. Dengan masih menunduk dijawabnya untuk koleksi. 

Saya tanya lagi, seandainya ayah dan ibunya bertanya, dengan cara bagaimana uang koleksi itu ia dapatkan? Dan, matanya mulai berkaca-kaca, mulutnya membisu, lalu air matanya benar-benar jatuh.

Saat itulah ia saya puji atas keberaniannya mengakui kekhilafan, mengembalikan koleksi yang sudah diambilnya, dan meminta maaf atas kesalahannya. Saya katakan padanya, jarang sekali anak seusianya yang berani mengakui kesalahan dan berkata jujur telah bertindak tidak patut.

Saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya menjaga dan memelihara koleksi perpustakaan. Anak itu tidak boleh dibiarkan dalam ketakutan akibat perbuatannya tanpa values sebagai pesan edukasi untuk ia pahami. Mungkin ia tidak menyadarinya saat itu bahwa menjaga koleksi perpustakaan adalah tanggung jawab bersama, tapi saya percaya, pada saatnya nanti, kedewasaan akan menyadarkan pada pesan yang saya sampaikan dengan sendirinya.

Setelah anak itu saya persilakan untuk kembali belajar, saya cek lemari koleksi uang dari berbagai negara. Ya, saya lihat memang ada satu koleksi yang tidak ada pada tempatnya. Posisinya sudah pindah satu tingkat ke bawah dari tempatnya semula. Itu mata uang kertas Brunai Darussalam. Posisinya miring bertumpuk dengan mata uang India. Saya duga, mata uang Brunai Darussalam itulah yang dipermasalahkan anak tadi.

Sejenak saya tertegun melihat lebih teliti kondisi lemari koleksi. Kacanya sudah bergeser menyisakan celah hampir selebar ukuran ibu jari, cukup untuk mengeluarkan koleksi paling pinggir dekat celah itu. Saya tanyakan kunci lemari itu pada pustakawan. Ternyata, kuncinya pun sudah lama hilang.

Lebar celah itu yang dimanfaatkan anak tadi untuk mengeluarkan selembar koleksi. Keadaan lemari kaca yang demikian itu membuat saya berprasangka baik, bisa jadi, semula anak itu tidak punya niat untuk mengeluarkan uang itu dari lemari. Barulah saat ia melihat ada celah itu ia tergoda.

Ah, bisa jadi tidak demikian. Prasangka buruk saya menduga, anak itu sudah tahu kondisi lemari sebelumnya dan membaca kemungkinan ia bisa mengeluarkan satu koleksi. Tapi, masalah yang lebih menarik adalah, kapan anak itu berhasil melaksanakan aksinya tanpa disadari pustakawan atau pengunjung yang lain?

Otak saya berhenti untuk menjawab segala kemungkinan jawaban dari pertanyaan saya sendiri. Apalagi saya bukan detektif yang punya "seribu otak" buat memecahkan sebuah misteri yang paling rumit sekalipun. Lagi pula untuk apa? Toh, koleksi pun sudah kembali seperti sedia kala tanpa kehilangan walau satu angka nol yang melekat pada lembaran uang kertas itu.[]


Selepas shalat Ashar, seorang guru, wali kelas, menghampiri saya dekat tempat wudhu. Ia menanyakan apakah ada anak kelas lima datang pada saya. Saya telisik, anak kelas lima yang mana yang dimaksud. Bla, bla, bla. Dan, menjadi teranglah duduk perkara uang Brunai Darussalam itu. Aduh, saya tak bisa menahan dari menggelengkan kepala. Takjub lagi, tercengang, lalu meraba diri.

Saya mendapat cerita versi yang jauh berbeda dengan pengakuan anak laki-laki kelas lima tadi. Saya begitu percaya pada anak itu, tapi empat jam kemudian, rupanya saya sedang menikmati suguhan drama pada ruang kosong antara pukul sebelas siang sampai pukul setengah empat sore.

Saya tidak menemukan kecocokan antara pengakuan si anak dengan informasi wali kelasnya kecuali satu; bahwa uang Brunai Darussalam itu memang dikeluarkan dari lemari koleksi seperti pengakuannya. Sisanya hanya bangunan argumentasi si anak agar dia dimaafkan dan tidak diadukan pada orangtuanya saat itu. Saya tidak bisa menutupi, begitulah perasaan saya sesudah mendengar second opinion dari wali kelas.

Rupanya anak itu datang pada saya setelah diproses verbal wali kelas. Pengakuannya bahwa uang itu untuk koleksi tidak sesuai fakta. Ternyata uang koleksi itu sudah dijual kepada teman sekelasnya. Bahkan uang hasil penjualan sudah pula dibelanjakan mie ayam di kantin saat jam istirahat.

Ealaah, saya merasa terlalu lugu bersanding anak kelas lima untuk ukuran seorang kepala UPT. Perpustakaan. Hihihihihihi.[]


Saya meraba diri, jangan-jangan, memang sudah saatnya anak itu "kencing berlari". Dan, ah, saya malu, malu sekali, bisa jadi karena anak itu telah melihat saya "kencing berdiri". Ia tidak sepenuhnya salah, ia adalah "korban" karena telah melihat adegan "kencing berdiri" di depan hidungnya.

Saya mengoreksi perilaku saya di sekolah, apakah saya benar-benar sudah mendidik? Apakah saya pernah, atau masih "mencuri waktu" mengajar? Apakah saya pernah atau tengah, atau masih berani menulis "bon-bon" atau "kwitansi" waktu palsu di atas jurnal kelas yang tidak sesuai dengan durasi kewajiban saya mengajar tetapi tetap tampak logis? Apakah saya pernah atau masih genit "mengotak-atik" jarum jam supaya angkanya sesuai dengan pe"masu"kan dan peng"keluar"an jam mengajar untuk sedikit menikmati waktu luang tapi terlihat tetap full time dan digaji penuh?

Buru-buru saya cek absen. Jangan-jangan sudah over load izin tak penting atau sakit "tibang-tibang" sakit. Saya meringis. Saya takut, jangan-jangan sekolah sudah mau "roboh" dan sayalah yang diam-diam merobohkannya. Rasanya, pengen nangis di pojokan tapi kagak bisa.

Astaghfirullah! Cukup! Cukup sudah! Ya Allah, segera kembalikan saya pada jati diri pendidik yang autentik.

Meruyung, 12 Maret 2020.