Menyoal akal dan kebebasan berfikir, Kumaila berkata, “Justru untuk memahami wahyu, dibutuhkan akal dan kecerdasan yang matang. Tapi tentu saja tuduhan liberal dan segala macam ini bukan hanya terjadi di masa modern seperti sekarang. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazzali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd yang karyanya masih kita kaji hingga sekarang adalah beberapa figur cendekiawan muslim yang dicap liberal pada masanya.”

Siapa pun setuju bahwa untuk memahami wahyu dibutuhkan kesehatan akal dan kecerdasan. Namun perlu dimengerti, syarat untuk memahami wahyu harus pula didukung perangkat ilmu yang mumpuni dan tidak sembarang orang memilikinya. Lagi pula, soal akal sehat dan kecerdasan yang matang untuk memahami wahyu tidak ada kaitannya sama sekali dengan liberal atau tidak liberal. Malah yang banyak terjadi, pandangan liberal lah yang justru merusak dan menyelewengkan potensi akal. Porsi akal bukan digunakan untuk mengungkap kebenaran wahyu, tetapi malah diperalat untuk mengaburkan pesan wahyu atas nama kebebasan berpikir. Dalam kasus pendapat akal Syukron Amin yang liberal itu tentang sedekah, di mana letak kesesuaiannya dengan pesan wahyu mengenai kewajiban memelihara kehormatan?

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Kumaila mengatakan bahwa Al-Ghazzali, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd dicap liberal pada masanya pada tulisannya di https://ibtimes.id Masa? Kata siapa?

Membaca kesimpulan ini, Ingin ketawa tapi takut dosa. Yang ada Kumaila, ilmuwan semacam Ibnu Rusyd dipaksa-paksa diproyeksikan sebagai pioneer liberalisme dan sekularisme di dunia Islam zaman ini. Oleh siapa? Oleh orang-orang yang berpaham liberal itu. Mereka kejam sekali loh, Kumaila. Masa, sampai berani-beraninya sahabat mulia Umar bin Khattab ra. pun dimasukkan dalam list pemikir liberal. Kan, ngaco. Belum lagi golongan Mu‘tazilah yang memang sudah populer disebut sebagai kelompok rasional dalam khazanah pemikiran Islam.

Ini namanya flying victim, membela liberal dengan mendudukan orang liberal sebagai korban. Hati-hati flying victim, salah-salah Anda malah mengulang kesalahan seperti yang pernah dilakukan “profesor” dari Monash yang ngetwit:
JIL adalah label yg diberikan oleh kaum sumbu pendek kpd orang yg tidak terjangkau pemikirannya akibat keawaman mereka, Kira2 begitu.
Ini kan, menggelikan. JIL (Jaringan Islam Liberal ) sewaktu masih hidup itu alamatnya jelas, Jalan Utan Kayu, No. 68H, Jakarta Timur 13120. Digawangi editor seperti Akhmad Sahal, Anick, Burhanuddin, Hamid Basyaib, Lanny Octavia, Luthfi Assyaukanie, Malja Abrar, Abd. Moqsith Ghazali, Nong Darol Mahmada, Novriantoni, Saidiman Ahmad, Taufik Damas, dan Uli Abshar Abdalla. Lha, kok malah dituduh sebagai hasil pelabelan dari orang sumbu pendek dan awam. “Kasihan” Ulil dan pasukannya kalau begini.

Baik, kembali ke Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd tidak pernah terjebak pada pemikiran desakralisasi terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw, kontekstualisasi penafsiran, penghalalan zina, lesbianisme, homoseksual, atau pembenaran wanita menjadi khatib dan imam salat Jum’at dan sebagainya, topik yang banyak para pengusung liberalisme kecemplung di dalamnya. Ibn Rusyd tidak bermain-main di wilayah itu dan sangat jauh dari dituduh liberal apalagi diposisikan sebagai sosok liberal. Dahulu sewaktu belajar filsafat yang menyinggung Ibnu Rusyd, dalam soal akal dan wahyu pun, saya diberitahu bahwa tokoh asal Cardova ini berpandangan bahwa kebenaran filosofis (akliah) tidak kontradiktif dengan kebenaran ilahi (wahyu) karena keduanya bersumber dari satu sumber yang sama. Ibnu Rusyd juga percaya bahwa wahyu dan akal saling melengkapi.

Tidak ada jejak Ibnu Rusyd melakukan desakralisasi terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. meskipun akalnya sangat cerdas. Tidak seperti “kelewat cerdasnya” pengusung Islam Liberal semacam Guntur Romli yang pernah memosting twit:

“Oleh krn itu, Qur’an bukan kitab suci, bukan pula menyebabkan kita tabu untuk menggaulinya. Nabi Muhammad bukan pula manusia suci.”

Bagaimana ini?

Tentu ini tidak sesuai dengan asumsi Anda sendiri Kumaila, di mana Anda katakan bahwa tujuan dari kebebasan berpikir ini adalah agar kita sebagai manusia bisa menemukan kebenaran dan menyelesaikan persoalan, masih selaras dengan tujuan adanya Islam di muka bumi ini.

Terus, apa yang bisa diselesaikan dari mengatakan Al-Quran bukan kitab suci dan sosok Nabi Muhammad saw. bukan manusia suci hasil buah pikir pengusung Islam Liberal di atas? Masihkah Islam Liberal tidak berbahaya menurut Anda? Ya, semua kembali kepada pilihan Anda sendiri.

Allahu a’lam bishshawab.[]

Abdul Mutaqin
Penulis buku “Kyai Kocak VS LIberal”

Depok, Ramadhan hari ke-12.