Jadi, bahayakah liberalisme dan sekulerisme dalam Islam? Tidak sama sekali, yang bahaya itu kebodohan kita yang bahkan di zaman informasi serba mudah, makna liberal dan sekuler saja tidak faham tapi suka menakut-nakuti orang.
PARAGRAF di atas saya comot dari sebuah tulisan di https://ibtimes.id/seberapa-bahaya-islam-liberal-dan-islam-sekuler/. Penulisnya Kumaila Hakimah. Dari “bau-baunya”, nama semacam itu rasanya nama perempuan. Rada aneh kalau sosok dengan menyandang nama itu berkumis, berjenggot, dan berjakun. Jadi, saya asumsikan saja Kumaila itu memang perempuan.
Tentu bukan nama dan sosoknya yang akan kita bincangkan, melainkan secuplik saja dari isi tulisannya. Isi tulisannya “lebih menggoda” untuk disoal daripada “menggoda” Kumaila-nya. Nama sekadar bungkus. Tetapi, tulisan sebagai representasi dari pemikiran adalah isi yang punya daya; apakah daya rusak atau daya bangun.
Paragraf yang saya kutip di atas adalah kesimpulan dari tulisan Kumaila di bawah judul “Seberapa Bahaya Islam Liberal dan Islam Sekuler?” Menurutnya, Tidak sama sekali. Menurut Kumaila, yang bahaya itu kebodohan kita [ah, kamu aja kali. Jangan ngajak-ngajak bodoh, dong] yang bahkan di zaman informasi serba mudah, makna liberal dan sekuler saja tidak faham [maksudnya “paham” kali ya, Kum?] tapi suka menakut-nakuti orang [hiiiii atuuuuttt!].
Sebuah kesimpulan yang rada “gagah” untuk ukuran penjelasan sekadarnya dari tulisan tentang Islam Liberal dan Islam Sekuler.
Baiklah, dipersingkat saja. Sebagai penikmat tulisan-tulisan khas tentang liberalisme, setelah membaca isinya, saya kecele. Secara keseluruhan, esai Kumaila tidak merepresentasikan judul. Boleh dikata, isinya “kurang gizi’ untuk judul sementereng “Seberapa Bahaya Islam Liberal dan Islam Sekuler?”
Pengertian liberal dan sekuler pun tumpang tindih, seolah penulisnya tidak bisa membedakan antara liberal dengan liberalisme dan sekuler dengan sekularisme; keyword penting untuk mengurai apakah memang Islam Liberal dan Islam Sekuler berbahaya atau tidak seperti bangunan wacana dari judulnya. Apatah lagi judul yang dipilih lebih kompleks muatannya dari sekadar makna “liberal” dan “sekuler”. Ini penulisnya ngerti nggak sih, konsekuensi membahas “Islam Liberal” itu lebih njlimet dari sekadar mengurai makna liberal atau liberalisme? Lha, terus, “di zaman informasi serba mudah, makna liberal dan sekuler saja tidak faham” dialamatkan ke siapa? Auk, ah gelap!
Namun, keberanian sang penulis perlu dikasih jempol, meskipun konstruksi argumentasi yang dibangun rapuh di sana-sini, seperti persoalan pengertian tadi.
Memang sih, salah satu karakteristik tulisan esai adalah “kelonggaran” penulis untuk berekspresi. Namun, untuk hal-hal substantif, sebaiknya merujuk pada istilah baku agar bangunan opini masuk akal. Misalnya, mengapa tidak merujuk pada definisi liberalisme dan sekularisme dari fatwa MUI tahun 2005 jika tujuan penulis untuk meyakainkan pembaca bahwa liberalisme dan sekularisme tidak berbahaya. Ini bagus sebagai pandangan berbeda dari fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme dan sekularisme.
Lalu, apa dan bagaimana, serta siapa Islam Liberal itu? Nah, ini malah gak karu-karuan.
Bicara Islam Liberal di Indonesia (baca: Utan Kayu), bolehlah kita sebut “almarhum JIL” sebagai wakil Islam Liberal yang paling pas. Saya sebut almarhum, karena JIL secara jaringan resmi sudah “qoit”. Situs resminya pun raib ditelan maya. Hanya karena kebaikan beberapa ahli IT saja kita masih bisa melacak jejak-jejaknya dan mengakses remah-remah pemikiran bebas mereka.
Tentu, kapan persisnya JIL itu secara jaringan sudah almarhum tidaklah penting. Namun produk-produk pemikirannya, jauh lebih tidak penting. Maret 2001, JIL dilahirkan. Siapa bapak dan ibunya secara genetik, coba kontak para mantan punggawanya yang masih berkeliaran mengais rezeki di mana-mana (Sssttttt! Ada yang di partai, loh).
Semasa masih bernapas, JIL hidup dari belas kasihan TAF (The Asia Foundation) dan beberapa uluran tangan dari donatur domestik, Eropa, dan Amerika. Lumayan kenyang JIL menikmati uluran tangan itu. Kucuran duit dari TAF saja tidak kurang dari 1,4 milyar/tahun. Namun, entah apa “dosa” JIL pada TAF belakangan, pada pertengahan 2005, kucuran dan TAF distop. Bisa jadi, ini awal mula JIL kehabisan napas, lalu qoit.
Apakah pemikiran orang-orang JIL berbahaya? Tentu relatif. Bagi Kumaila mungkin sama sekali tidak. Tapi bagi saya berbahaya. Bahkan begitu relatifnya, menurut saya berbahaya bagi Kumaila juga meski yang bersangkutan memandangnya tidak.
Secara wacana, gagasan-gagasan “ideal” JIL yang menawarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat dengan mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut dan menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak, tidak terlalu bermasalah pada ranah terbatas. Tetapi jika sudah meloncat keluar lalu menjadi liar, akan kelihatan bahayanya. Itulah yang bisa dilacak dari twit, status, atau propaganda penghuni gerbong liberal.
Saya kasih satu contoh. Saya tidak membayangkan jika seorang Ahmad Syukron Amin bertemu non mahramnya lalu Syukron mempraktikkan salah satu gagasan fenomenalnya tentang sedekah, ini bahaya. Si Syukron pernah ngetwit begini:
Zina secara bahasa artinya bersetubuh. Maka, ciuman dg non mahram blm termasuk zina. Ini definisi dlm Fiqih, bukan Syariah.
Jika lingkungan setempat menganggap cuman di muka umum tdk merusak kenyamanan publik. Maka hal tsb bukanlah munkar.
Shadaqah ialah pemberian secara sukarela tanpa dibatasi o/ruang & waktu. Ciuman dg non mahram termasuk contohnya.
Bayangkan kalau ada seribu “Ahmad Syukron Amin” lalu ramai-ramai menerapkan pemikiran liberal macam begini, Kumaila. Silakan timbang sendiri. Tapi saya sarankan, larilah dari Syukron Amin seperti anda lari dari singa meskipun hanya ada satu Syukron Amin di dunia.
Allahu a'lam bishshawaab.[]
Allahu a'lam bishshawaab.[]
Depok, Ramadhan hari ke-10.
0 Comments
Posting Komentar