Gambar diambil dari: http://rilis.id/selamat-hari-buku-sedunia-sudah-baca-hari-ini
HARI ini, 17 Mei, momentum Hari Buku Nasional. Tidak seperti hari-hari yang ditetapkan sebagai momen penting, gaung Hari Buku Nasional memang tidak seramai Hari Kemerdekaan Indonesia, Hari Kartini, atau Hari Raya Keagamaan. Semua orang hampir tahu kapan Hari Kemerdekaan Indonesia atau Hari Raya Keagamaan diperingati dan dirayakan orang Indonesia dan umat masing-masing agama. Hari Kartini, mungkin lebih sedikit yang tahu. Namun, Hari Buku cenderung senyap. Jangan harap orang awam tahu kapan Hari Buku Nasional itu diperingati, kaum cerdik pandai belum tentu tahu, bahkan bisa jadi lebih ‘ngenes’ sekadar ketidaktahuan orang awam. Bagaimana tidak ‘ngenes’ apabila kaum cerdik pandai seperti dosen, guru, atau pendidik bertanya keheranan, “Ha? Emang ada Hari Buku?” 

Memang, tidak tahu kapan Hari Buku diperingati tidak membatalkan iman. Juga tidak mengurangi kadar nasionalisme seseorang. Akan tetapi, cukuplah itu sebagai salah satu indikasi rendahnya tingkat literasi yang masih menjadi persoalan bangsa kita. Bila persoalan umum literasi masih rendah, apalagi lebih spesifik seperti literasi perbukuan, maka, tidaklah mengherankan bila sekadar kapan Hari Buku Nasional diperingati sangat terbatas diketahui kebanyakan orang.

Memperingati Hari Buku Nasional berarti bicara soal buku. Bicara soal buku, mau tidak mau akan berhadapan dengan dua problem literasi mendasar yaitu minat baca dan menulis. Tidak ada buku bila tidak proses membaca dan menulis. Maka, eksistensi buku akan tetap lestari bila persoalan minat baca dan tradisi menulis terus tumbuh, meningkat, dan berkembang menjadi tradisi yang mapan. Apabila minat baca dan tradisi menulis telah menjadi budaya yang mapan, maka literasi perbukuan dengan sendirinya akan semarak seagaimana semaraknya merayakan Hari Raya.

Masalah menulis sebenarnya masalah keterampilan. Sayangnya, skill ini lebih banyak dikuasai para penulis profesional dan aktivis perbukuan, wartawan atau awak media, dan akademisi yang terlatih menulis saja. Guru sebagai bagian dari akademisi, termasuk yang sangat terbatas memiliki kemampuan menulis. Bila keterbatasan ini disadari, lalu ada upaya internal untuk mengatasi keterbatasan itu, ini masih baik. 

Karena menulis itu masalah keterampilan, maka ia bisa dilatih. Tiap orang bisa berlatih menjadi penulis. Asalkan mau sabar, tekun, dan konsisten, keterampilan menulis itu bukan seperti memecahkan misteri yang hanya bisa dipecahkan oleh orang yang beruntung. Memang mulanya berat, namun lama-lama menjadi ringan lalu menjadi kebiasaan. 

Pernahkah Anda membayangkan apabila keterampilan menulis melekat pada tiap pemeran kehidupan? Coba bayangkan seorang pedagang, buruh, petani, nelayan, tukang becak, sopir, kondektur, masinis, pilot, pramugari, nahkoda, anak buah kapal, sampai marbot masjid dan penjaga hutan yang terampil menulis. Apabila ini terjadi, dahsyat hasilnya. Pembaca cerdas yang ingin mendapat informasi autentik tentang dunia buruh, maka buku yang ditulis dari tangan seorang buruh masih jauh lebih tajam dari sekadar tulisan pengamat perburuhan. Bila ingin membaca novel bagaimana kondisi psikologis pengalaman menangkap ikan di laut, maka narasi yang ditulis oleh seorang nelayan akan jauh lebih sensasional daripada cerita yang sama yang ditulis juragan pemilik perahu. Begitu seterusnya.

Lepas dari kondisi zaman yang berubah, guru tetaplah profesi dengan limpahan anugerah. Melimpah ilmu, pengalaman, dan penghormatan. Guru sebagai “Sang Pencerah” punya energi sangat cukup untuk melipatgandakan daya pencerahnya tidak sebatas ruang kelas, dengan jadwal kaku kapan dia masuk dan keluar kelas, dengan materi racikan kurikulum yang baku, atau dengan beban tagihan penilaian yang berkutat dengan angka-angka. Guru bisa menjadi mercusuar ide dengan ngeblog atau menulis buku, baik buku fiksi maupun nonfiksi. 

Menghadapi ragam kesiapan belajar siswa, guru bisa menuliskannya menjadi buku inspiratif, motivasi, panduan belajar, atau novel bertema pendidikan. Bila selama mengajar menggunakan buku teks yang kaku dan membosankan dari segi tampilan, warna dan ilustrasi, guru bisa menulis buku teks sendiri yang dirancang sesuai kebutuhan. Bila “Sang Pencerah” itu mengalami kegelisahan batin dengan segala pengalaman yang kurang elok dalam pengelolaan pendidikan di sekolah tempatnya mengajar, dia bisa menumpahkannya dalam bentuk cerpen, puisi, atau menulis buku ilmiah tentang manajemen sekolah yang baik. Jadi, seorang guru bukan saja melimpah anugerah, melainkan juga melimpah topik yang bisa ditulis. Hanya saja di sini terjadi paradoks, bagaimana bisa seorang guru tumpul mata penanya?

Belum terlambat. Ayo menulis dan berlatih menulis.

Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei 2020.