Bisa jadi, karena sebatang kapur saat itu bagi saya adalah seni pertunjukan di muka kelas. Selalu, dan selalu begitu. Ia bagai tarian yang berkisah tentang perpaduan antara peradaban, ilmu, dan seni. Liukan jari jemari terampil yang mengapitnya, meluncur seperti alur dari mula hingga akhir cerita pertunjukkan. Bunyi gesekan dari atas papan tulis dengan ujung kapur, seperti latar musik yang mengiringi setiap adegan huruf-huruf bertingkah.
Sialnya, hampir setiap guru mahir menggoreskan narasi tulisan dengan huruf sambung di atas papan tulis. Seolah-olah, guru yang tak pandai menulis dengan tulisan huruf sambung sebagai sesuatu yang tabu. Seingat saya, beberapa dari kami berlomba-lomba meniru mahakarya guru-guru itu tiap kali pelajaran usai. Saya dan beberapa murid yang bersaing, membanding-banding, goresan siapa di antara kami yang paling mirip dengan ‘papan tulis’. Itu dulu, zaman di mana kami belum mengenal kuota.
Kenangan teramat indah itu telah pergi. Zaman telah menggilasnya.|
KUOTA adalah nyawa. Ya, hari ini kenyataan ini berlaku, suka atau tidak suka. Siapakah di antara kita para guru yang bisa menghadirkan pertunjukkan kuota seperti pertunjukan kapur tulis di kelas saya dahulu? Nothing. Kelas menjadi mesin pertunjukkan, bukan lagi seni pertunjukkan. Kelas bahkan hampir kehilangan nyawa yang menggerakkan, seperti gerakkan elok jari jemari guru kami yang menari-nari saat memainkan kapur.
Beberapa hari kemarin, di beranda Facebook berseliweran narasi memilukan. Beberapa di antaranya sempat saya baca dengan sambil mengurut dada. Rasanya, seperti ada dosa pada pendidikan kita hari ini.
Bagaimana tidak, diceritakan di sana, seorang anak pulang dari warnet karena uangnya tidak cukup untuk membayar jasa pengetikan dan print out seharga Rp24.000. Ia tak sanggup membayar ongkos titipan tugas dari gurunya karena kefakiran uang dan perangkat teknologi pendukung belajar yang tidak hadir di rumahnya. Padahal tugas itu dikaisnya dari sisa-sisa kuota internet HP milik ayahnya yang habis tepat setelah tugas itu dia salin.
Siapa yang tak meleleh membaca cerita ini?
Seperti cerita Si Pitung atau Robin Hood saja narasi itu. Seorang pengunjung warnet memerhatikan anak itu sejak ia menyodorkan kertas tugasnya. Ia tak juga mencegahnya saat anak itu berlari pulang untuk meminta tambahan uang. Bisa jadi hatinya mengutuk.
Seperti cerita Si Pitung atau Robin Hood saja narasi itu. Seorang pengunjung warnet memerhatikan anak itu sejak ia menyodorkan kertas tugasnya. Ia tak juga mencegahnya saat anak itu berlari pulang untuk meminta tambahan uang. Bisa jadi hatinya mengutuk.
Siapa yang dikutuk? Sistem pendidikan? Sekolah? Atau bahkan gurunya yang memberi tugas? Saya tidak sanggup menjawab selain merasakan dengan menahan malu.
“Maaf ya, Bang. Nggak jadi. Uangnya nggak cukup. Saya mau ambil lagi tugas saya,” kata anak itu sekembalinya ia dengan berlari-lari.
Deg!
Pahit sekali rasanya belajar di era 4.0 bagi anak bangsa yang kurang beruntung saat pandemik mengepung. Ini bukan cerita rekaan atau fiksi. Kehadiran tokoh pengunjung warnet yang kemudian membayarkan biaya jasa ketik dan print out anak itu, pun bukan rekaan. Dia bukan tokoh fiksi yang hadir buat menghidupkan jalan cerita.
“Sudah ada yang bayarin, Dek. Tunggu saja. Tugasmu sedang diketik.”
Siapa yang tak meleleh membaca adegan ini?|
Perasaan saya berkecamuk. Campur aduk antara marah, tak berdaya, dan malu. Sampai kapan kondisi ini berakhir?
“Maaf ya, Bang. Nggak jadi. Uangnya nggak cukup. Saya mau ambil lagi tugas saya,” kata anak itu sekembalinya ia dengan berlari-lari.
Deg!
Pahit sekali rasanya belajar di era 4.0 bagi anak bangsa yang kurang beruntung saat pandemik mengepung. Ini bukan cerita rekaan atau fiksi. Kehadiran tokoh pengunjung warnet yang kemudian membayarkan biaya jasa ketik dan print out anak itu, pun bukan rekaan. Dia bukan tokoh fiksi yang hadir buat menghidupkan jalan cerita.
“Sudah ada yang bayarin, Dek. Tunggu saja. Tugasmu sedang diketik.”
Siapa yang tak meleleh membaca adegan ini?|
Perasaan saya berkecamuk. Campur aduk antara marah, tak berdaya, dan malu. Sampai kapan kondisi ini berakhir?
Iseng, saya tulis doa konyol di beranda Facebook saya:”Belajar dan mengajar wajib hukumnya. Ya Allah, tambahkanlah kuota. Aamiin.”
Dalam keyakinan saya, tidak ada sesuatu terjadi dengan kebetulan. Status saya direspons meskipun maksud saya sekadar mengurangi beban rasa malu yang kian menebal.
Terlanjur. Saya menimpali.
Dalam keyakinan saya, tidak ada sesuatu terjadi dengan kebetulan. Status saya direspons meskipun maksud saya sekadar mengurangi beban rasa malu yang kian menebal.
Ustadz … adakah yg kesulitan belajar dan mengajar krn kuota?Ini respon komentar teman saya yang punya kedai kopi: Waroeng MIE CO, di Jl. Raya Citayam - Parung, Ragajaya, Kec. Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat 16320.
Ke warung saya aja … gratisssss wifi+ minum.
Terlanjur. Saya menimpali.
Kereeen. Beneran ini kan, Uda?
Abdul Adung beneran...insyaAllahAduh, terasa merembes.
Tapi karena Rabu besok karyawan yg 1 pulkam jd kamis nanti baru buka siang.
Klo hari ini dan besok bisa dari pagi… dan insyaAllah senin mulai berlaku buat para siswa dgn syarat:
Menggunakan seragam sekolah, tidak main game, menggunakan masker dan protokol kesehatan lainnya.
Kita batasin 5 siswa per sesi krn cuma ada 5 meja (1 meja 1 orang)
Efektif mulai 3 agustus ya ustadz… siswa jg insyaAllagh kami berikan minuman+ sarapan 1 porsi.
Saya percaya, di tempat berbeda, akan ada orang-orang seperti ini. Berjiwa berbagi untuk anak bangsa. Sementara saya dalam dilema karena menjadi salah satu mata rantai kuota. Astaghfirullah. Maafkan ya Allah. Gugurkanlah jika ini adalah kesalahan kolektif dengan pengabdian pada jalan pengajaran yang kami pilih.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta
Menjelang Ashar. Selasa, 28 Juli 2020.
Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta
Menjelang Ashar. Selasa, 28 Juli 2020.
0 Comments
Posting Komentar