Soal cinta adalah soal berterima seperti air dengan air, bukan seperti air dengan minyak.
Senja sempurna baru saja pergi, naik ke langit untuk bertukar shift. Magrib menipis. Setengah jam lagi masuk waktu isya. Teh poci---ritual sore--- di mug belum pula tandas. Tilawah paman saya dari mushalla Pak Mi'in pengantar Maghrib menuju Isya masih melantun. Pada waktu demikian itulah pesan saya terima.
Pesan itu berisi soal cinta yang menggebu. Ya, sahabat saya ini bertanya soal cinta yang dirasanya sudah sukar dia kendalikan. Dia sedang jatuh cinta untuk yang kesekian kali. Bahkan cinta kali ini lebih dahsyat dari cinta-cinta yang sebelumnya, cinta yang sukar dia lupakan jika bukan karena kesadaran mumpuni bahwa soal cinta adalah soal berterima seperti air dengan air, bukan seperti air dengan minyak. Cinta kali ini benar-benar telah memperdayakannya. Rasionalitasnya seakan redup. Dia berubah naif karena begitu takut akan ditinggalkan.
Saya tak berdaya memberinya jawaban masuk akal, sebab saya juga mengalaminya. Bisa jadi saya lebih takut ditinggalkan, lebih tidak siap bila sewaktu-waktu cinta itu direnggut dari genggaman, sementara cinta itu begitu kuat mencengkram. Bahkan saat pertanyaan itu saya terima, saya sedang terlena. Saya sendiri masih menyembunyikan rasa cinta ini dari jangkauan istri saya, saya takut dia tidak siap menerima bahwa saya telah jatuh cinta lagi.
Akan tetapi, pesan sahabat saya ini teramat penting. Tidak semestinya diabaikan. Bisa jadi, ada baiknya kami saling berterus terang bahwa kami memang sedang jatuh cinta, sedang begitu takut jika tiba-tiba ditinggalkan.
Pesan itu seperti hentakkan keras yang membangunkan lamunan. Saya tersadarkan, rasa ini tidak boleh diperturutkan menjadi liar tak terkendali, hingga jika waktunya benar-benar tiba harus berpisah, jiwa akan hancur karena ketidaksiapan.
Ya, semuanya hanya titipan. Semuanya akan kembali ke asalnya. Memang, cinta adalah fitrah, naluri yang tidak bisa dibunuh. Wajar bila suatu saat rasa takut kehilangan menghantui karena cinta yang terlalu dalam.
Manusia memang lebih siap menerima---bukan tidak siap--- daripada kehilangan, manusiawi. Sebenarnya, yang demikian itu hanya harus diseimbangkan saja. Porsinya saja yang ditakar. Jiwa harus siap menerima dan kehilangan seberapapun tinggi cinta mendekapnya.
Selain Allah, semuanya adalah "Si Fana". "Si Fana" artinya, hilang, lenyap, rusak, dan semua arti yang menunjuk pada makna kenisbian. Anak-anak kita yang amat kita sayangi melebihi diri kita itu adalah juga "Si Fana". Kapan saja dia akan meninggalkan kita. Bahkan, diri kita juga adalah "Si Fana" yang akan hilang di saat anak-anak dan istri kita merasa amat takut kita tinggalkan. Jadi, antara "Si Fana" dengan "Si Fana" akan saling meninggalkan.
Ya, benar. Ini soal rasa cinta kepada anak yang kadang tidak terkendali. Lucu, menggemaskan, pintar, pewaris ketampanan atau kecantikan, benar-benar membuat cinta menggebu-gebu. Kita sadar, kita tahu betul bahwa kehadiran mereka adalah titipan. Namun, jiwa kadang terseret seakan tidak siap bila titipan itu diambil pada saatnya nanti.
Tidak ada tips untuk mengatasi rasa takut kehilangan kecuali menyintai sekadarnya cinta. Cuma harapan, ya Allah, kumpulkan saya dengan pasangan dan anak-anak saya di surgamu kelak.
Begitulah. Tidak ada yang lain lagi.
Depok, 12 Agustus 2020
Pesan itu berisi soal cinta yang menggebu. Ya, sahabat saya ini bertanya soal cinta yang dirasanya sudah sukar dia kendalikan. Dia sedang jatuh cinta untuk yang kesekian kali. Bahkan cinta kali ini lebih dahsyat dari cinta-cinta yang sebelumnya, cinta yang sukar dia lupakan jika bukan karena kesadaran mumpuni bahwa soal cinta adalah soal berterima seperti air dengan air, bukan seperti air dengan minyak. Cinta kali ini benar-benar telah memperdayakannya. Rasionalitasnya seakan redup. Dia berubah naif karena begitu takut akan ditinggalkan.
Saya tak berdaya memberinya jawaban masuk akal, sebab saya juga mengalaminya. Bisa jadi saya lebih takut ditinggalkan, lebih tidak siap bila sewaktu-waktu cinta itu direnggut dari genggaman, sementara cinta itu begitu kuat mencengkram. Bahkan saat pertanyaan itu saya terima, saya sedang terlena. Saya sendiri masih menyembunyikan rasa cinta ini dari jangkauan istri saya, saya takut dia tidak siap menerima bahwa saya telah jatuh cinta lagi.
Akan tetapi, pesan sahabat saya ini teramat penting. Tidak semestinya diabaikan. Bisa jadi, ada baiknya kami saling berterus terang bahwa kami memang sedang jatuh cinta, sedang begitu takut jika tiba-tiba ditinggalkan.
Pesan itu seperti hentakkan keras yang membangunkan lamunan. Saya tersadarkan, rasa ini tidak boleh diperturutkan menjadi liar tak terkendali, hingga jika waktunya benar-benar tiba harus berpisah, jiwa akan hancur karena ketidaksiapan.
Ya, semuanya hanya titipan. Semuanya akan kembali ke asalnya. Memang, cinta adalah fitrah, naluri yang tidak bisa dibunuh. Wajar bila suatu saat rasa takut kehilangan menghantui karena cinta yang terlalu dalam.
Manusia memang lebih siap menerima---bukan tidak siap--- daripada kehilangan, manusiawi. Sebenarnya, yang demikian itu hanya harus diseimbangkan saja. Porsinya saja yang ditakar. Jiwa harus siap menerima dan kehilangan seberapapun tinggi cinta mendekapnya.
Selain Allah, semuanya adalah "Si Fana". "Si Fana" artinya, hilang, lenyap, rusak, dan semua arti yang menunjuk pada makna kenisbian. Anak-anak kita yang amat kita sayangi melebihi diri kita itu adalah juga "Si Fana". Kapan saja dia akan meninggalkan kita. Bahkan, diri kita juga adalah "Si Fana" yang akan hilang di saat anak-anak dan istri kita merasa amat takut kita tinggalkan. Jadi, antara "Si Fana" dengan "Si Fana" akan saling meninggalkan.
Ya, benar. Ini soal rasa cinta kepada anak yang kadang tidak terkendali. Lucu, menggemaskan, pintar, pewaris ketampanan atau kecantikan, benar-benar membuat cinta menggebu-gebu. Kita sadar, kita tahu betul bahwa kehadiran mereka adalah titipan. Namun, jiwa kadang terseret seakan tidak siap bila titipan itu diambil pada saatnya nanti.
Tidak ada tips untuk mengatasi rasa takut kehilangan kecuali menyintai sekadarnya cinta. Cuma harapan, ya Allah, kumpulkan saya dengan pasangan dan anak-anak saya di surgamu kelak.
Begitulah. Tidak ada yang lain lagi.
Depok, 12 Agustus 2020
0 Comments
Posting Komentar