Orang-orang setua kita, hanya tinggal tersisa dua stasiun hidup, yaitu kuburan dan akhirat. Masa-masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa sudah pergi, sudah kita habiskan, kita bagi-bagi dari jatah 49 tahun yang lalu.
"Orang-orang setua kita, hanya tinggal tersisa dua stasiun hidup, yaitu kuburan dan akhirat. Masa-masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa sudah pergi, sudah kita habiskan, kita bagi-bagi dari jatah 49 tahun yang lalu."
36 tahun bukan waktu yang sebentar. Pada 1979, kita masuk SD. 1985 kita lulus, berpisah, dan memilih jalan sekolah atau jalan hidup masing-masing. Hari ini, kita bersua lagi setelah sekian lama dalam kebermasing-masingan. Namun, masa sepanjang itu, rasanya berlangsung dalam sekejap saat kita bertemu. Tahu-tahu, kita sudah menua.
Tanda-tanda menua begitu tampak, tapi saya tidak ingin membicarakannya. Biarlah itu menjadi semacam kekayaan hidup masing-masing Maspupah, Nuryahati, Sa’diyah, Maryamah, Napsiah, Siti Kotijah, Dayati, Azhari, Ujang, Syamsuddin, Sukardi, Muhammad Insyaf, dan Gugut Kuntari. Hanya saja, jiwa-jiwa kita masih saja merasakan muda. Mungkin, merasa semuda usia tiga belas atau empat belas tahunan saat dulu kita baru lulus SD.
Selain yang hadir hari ini, catatan memori saya masih menyimpan nama Siwi Purbandiyah, Husnul Khotimah, Ida Farida, Mardina, Syarifah, Mujahidin, M. Yamin, Nijomuddin, Mahyudin Arif, Sutisna, Rahmat Hidayat, Ahmad Sainin, Muhammad Anwar Muttaqin, Saiful Anwar, Wawan Kurniawan, Mailudin, Januar Rahman, dan Iman Istamar. Tentu, kita merindukan mereka. Hanya saja, waktu belum mengizinkan bisa bersama-sama kita hari ini. Yang penting, semoga mereka semua sehat-sehat dan melimpah berkah.
Bila tidak keliru, ada satu lagi nama yang saya ingat; Ateh. Allahyarham, guru kita, H. Muhammad SF, memberinya tambahan nama menjadi; Siti Nur Ateh. Belakangan, Ateh memang tidak menyelesaikan masa SD-nya bersama kita.
Reuni kecil hari ini seperti kantong Doraemon di rumah Dayati. Ia membawa saya berkelana menjumpai masa kanak-kanak dalam kemasan usia yang sudah menua. Ia seperti mengembalikan kesegaran memori, harta yang paling berharga untuk merekonstruksi perjalanan hidup yang tercecer. Maka, yang pertama kali saya ingat adalah hal spesial di antara alumni yang hadir.
Memang, long term memory menyimpan hal-hal spesial. Tidak ada yang bisa membantahnya. Rasanya, begitulah hukum alam berlaku, baik memori masing-masing individu, maupun memori kolektif di mana kita semua sepakat pada satu hal yang kita pandang spesial tanpa perdebatan.
Nurhayati—kami memanggilnya Yati— adalah contoh hal spesial itu. Yati mungkin tidak menyadari bahwa dia telah berhasil membuat kita semua terperangah, terpesona saat dia berlaga di lintasan lari. Kecepatannya mengayun kaki saat pelajaran Orkes (Olahraga dan Kesehatan), membuat kita sulit melupakannya. Yati yang mungil, tapi speed-nya tak terkalahkan meskipun oleh Sa'diyah yang jangkung. Sejak itu, kecepatan Yati berlari, menjadi memori kolektif kita yang permanen. Dus, Yati identik dengan kecepatan. Hari itu, saat berjumpa lagi di usia menjelang 50, yang kita kenali adalah kecepatan larinya.
Tentu, dan maafkan teman-teman, Yati saya sebut untuk melengkapi kebahagiaan kita hari ini. Tentu, kita semua menyimpan setiap hal spesial, diakui atau tidak, dikenang atau tidak, dituliskan atau tidak, itu cuma soal prosedur saja. Yang pasti, setiap ciptaan Tuhan, menyatu dengan sifat spesialnya sendiri-sendiri.
Saya sungguh beruntung ada teman yang berperan mengumpulkan alumni. Dia yang telaten melacak nomor, menemui teman yang bisa dijangkau, dan menghimpunnya dalam group WA sampai pertemuan sudah berjalan tiga kali. Semoga semuanya bisa bergabung, bisa bersua, dan yang terpenting bisa berbagi keberkahan.
Menilik umur, rasanya sudah sampai bagi kita semua untuk berpikir bahwa kita memang sudah tua. Orang-orang setua kita, hanya tinggal tersisa dua stasiun hidup, yaitu kuburan dan akhirat. Masa-masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa sudah pergi, sudah kita habiskan, kita bagi-bagi dari jatah 49 tahun yang lalu. Sudah ada pula anak-anak, bahkan menantu dan cucu. Memang, masing-masing kita punya cara sendiri, punya penghayatan sendiri, dan punya takaran sendiri pada hidup yang kemarin, yang sudah lewat itu. Tapi sekarang, untuk dua pengalaman lagi yang sedang kita tunggu, yaitu kuburan dan akhirat, kita semua sama, sisa umur kita hanya buat “ngumpulin” bekal hidup sesudah mati.
Lha, kok, jadi bicara mati?
Ya, karena kita hidup, maka tidak mungkin tidak bicara mati. Jangan lupa, pasangan hidup yang abadi adalah mati. Hidup sudah dan sedang kita nikmati, mati akan kita “nikmati”, entah kapan. Suka atau tidak suka, dua-duanya harus diterima sebagai anugerah sebagaimana kita menikmati masa muda dan pasangannya yaitu tua, kenyang dan lapar, terang dan gelap, manis dan pahit, sehat dan sakit, dan seterusnya. Dan, di antara kita masih diberi waktu, sudah tiga alumni yang berpulang mendahului; Jaka Mardaya, Suryati, dan Dewi Sartika.
Mari lengkapi kebahagiaan hari ini dengan mengingat juga jasa guru-guru kita. Ustadz H.M. Syamsuddin (Kepala Sekolah), Pak Mad Rauf, dan Pak H. Muhammad yang sudah tiada. Doa terbaik bagi guru-guru kita itu atas jariah ilmu, aksara, dan angka yang kita terima.
"Allah ya Rabb, ampunilah mereka, sayangilah mereka, maafkanlah segala khilaf dan kelalaian mereka. Allah ya Rabb, terimalah amal-amal baik mereka selama hidup. Sampaikanlah doa-doa dari kami dan orang-orang yang menyintai mereka."
Yang tidak terlupakan, Ibu Habibah. Ibu Habibah masih sehat, hanya sudah mengundurkan diri dari mengajar karena usia. Kapan waktu, bisa kita sambung tali kasih dengan beliau. Juga guru-guru yang lain yang pernah mengajar kita yang luput saya sebut di sini.
Sehat selalu teman-teman.
Salam.
0 Comments
Posting Komentar