Tidak terlalu penting juga sih mencatat nama masjid itu di benak. Masjid, ya masjid. Cukup. Yang penting bukan "Masjid Dhirar". 

Bahagia kadang begitu sederhana. Kali ini, cukup dengan bertemu kelas kecil. Memang ada air kemasan, pisang, jeruk, semangka, dan roti bolu dihidangkan di atas meja. Juga ada bakwan, tahu, dan keripik tempe lengkap dengan sejumput cabe rawit yang menggoda lidah bergoyang. Tentu, hidangan itu untuk saya nikmati. Akan tetapi, bukan itu yang membahagiakan. Bukan.
Saya sebut kelas kecil karena pesertanya hanya belasan. Mereka santri senior MBS Kibagus Hadikusumo. Tahun ini mereka lulus. Namun, mereka belum diizinkan pulang karena diharuskan mengambil Kelas Takhassus selama satu tahun.

Kelas Takhassus ini, seperti penjelasan yang saya dapat dari Abah, dipersiapkan MBS Kibagus sebagai kelas pendalaman bahasa dan turats. Tentu, sebagai lembaga pesantren, penguasaan bahasa Arab dan kitab klasik dalam berbagai disiplin, seperti akidah, tafsir, fikih, ushul fikih, hadits dan ulumul hadits, tarikh, dan tasawuf menjadi standar calon ulama. Jadi, nanti saat santri selesai mengikuti program ini, mereka sudah matang secara keilmuan.

Mengapa harus ada Kelas Takhassus? Bukankah mereka sudah menyelesaikan masa studi? Apakah masa tiga tahun belum cukup mumpuni bagi mereka menguasai ranah keilmuan di atas?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sesederhana seperti menyantap hidangan di meja itu. Lagi pula, memang bukan porsi saya buat mengurai jawabannya di sini. Saya cukup mencerna penjelasan Abah sebagai jawaban otoritatif. Secara pribadi, penjelasan yang saya dengar itu amat logis dan argumentatif.

Lalu, mengapa ada kebahagiaan dari kelas kecil yang sedang saya bicarakan ini?

Jawabannya, karena kelas kecil itu memang kelasnya santri-santri bahagia. Jika tidak bahagia, mana mau mereka "membuang" waktu setahun lagi di pondok? Nah, bertemu, bercengkerama, dan berbagi tips pada orang-orang bahagia itu, tidak mungkin tidak bahagia. Kalau saya tidak bahagia, berarti ada yang salah pada diri saya.

Sejak berangkat dari rumah buat bertemu kelas kecil itu, saya sudah bahagia. Sempat mampir di lesehan sederhana untuk makan siang dengan menu favorit; ikan gabus kering, sayur asem, tempe dan tahu goreng, dan ini; sambal dan lalapan. Tambah sempurna rasa bahagia itu. Allah masih memberi rezeki favorit, masa tidak bahagia?

Selesai makan siang, waktu zuhur tiba. Azan mulai berkumandang. Beruntung, baru beberapa puluh meter meninggalkan lesehan, ada masjid mungil dan cukup asri di pinggir jalan. Mampir lagi. Tiba saatnya buat bersyukur dalam irama ruku dan sujud.

Saya tidak sempat membaca papan nama masjid itu. Tidak terlalu penting juga sih mencatat nama masjid itu di benak. Masjid, ya masjid. Cukup. Yang penting bukan "Masjid Dhirar". Hanya saja, kesan positif sangat dominan atas masjid itu usai menumpang shalat dan melihat-lihat sekilas kondisinya.

Sisa-sisa gerah, efek sambal bawang belum hilang di badan meskipun di bibir sudah tuntas sejak basuhan wudhu terakhir. Sekadar bermaksud merapikan pakaian, sekali lagi saya pergi ke tempat wudhu sebelum melanjutkan perjalanan ke MBS.

Saya terkesan sekali lagi, seperti kali pertama masuk. Tempat wudhunya bersih, wangi, dan tampak terawat dengan baik. Tidak ada bau-bau kurang sedap dari kamar kecil yang menyentuh hidung. Tidak ada pula keset dari kain yang basah berwarna keruh tanda belum diganti berhari-hari. Bagi orang dengan tapak kaki sensitif, menginjak keset seperti itu sudah cukup menanam kutu air sampai tiba masanya sela-sela jari kaki memutih berjamur.

Alhasil, di tempat wudhu masjid itu, tidak ada penampakkan kesan kurang bersih di semua sudutnya. Pasti, petugas di bagian belakang ini menghayati benar pesan "an nazhafatu minal iman". Begitulah pula keadaan yang saya jumpai di kamar kecil, bukan WC, lebih mirip ruang ganti pakaian.

Dalam kegerahan, melihat air jernih dan sejuk melimpah di kamar kecil itu, saya tergoda. Mata saya mencari-cari, adakah maklumat "Dilarang Mandi". Tidak ada. Yang saya jumpai maklumat bernada simpatik, "Gunakan Air Secukupnya".

Secukupnya itu, sesuai kebutuhan. Untuk wudhu, seukuran wudhu. Untuk istinja, seukuran istinja. Sekadar buat berkumur, ya seukuran untuk berkumur. Begitu pula jika hendak mandi. Pasti seukuran air cukup untuk mandi, toh?

Artinya, boleh mandi! Siapa suruh kolamnya penuh.

Mandilah saya sekadar "Mandi koboy", tapi manjur mengusir gerah, cukup menjadikan badan segar kembali. Terus, nikmat Tuhan mana lagi yang harus didustakan?

Beberapa menit tiba di MBS, kelas dimulai. Kelas berlangsung serius. Namanya juga Kelas Takhassus, meskipun bidang yang saya share tentang kepenulisan, bukan al Arabiyyah atau qira'atul kutub.

Di sinilah kelebihannya mengelola kelas kecil. Full interaktif, fokus, dan mudah dikontrol. Tujuan pembelajaran pun sangat terukur sesuai target; terampil menyusun paragraf dan produk outline calon buku mereka.

Singkat cerita, kebahagiaan itu sampai pada ujungnya. Kelas menulis usai. Beberapa paragraf untuk berlatih berhasil direkonstruksi. Separuh draft outline rampung.

Tepat pukul lima sore saya pamit. Esok atau lusa, kelas dibuka lagi. Entah, cerita apalagi yang dituturkan melengkapi kebahagiaan berbagi. Bisa jadi, bahagianya itu akan terus hadir sampai jemari tak mampu bergerak menuliskannya lagi.

Salam literasi.

Depok, 8 Agustus 2020.