Bila naluri aksara sudah mulai bekerja, otak akan memerintah. Kata demi kata diurai. Antar kalimat dicarikan jodohnya. Tentu, beberapa kalimat harus diganti diksi baru. Bahkan, ada di antaranya yang tidak bisa diselamatkan. Dengan berat hati, ia harus dibuang. Kalimat utama dengan kalimat penjelasnya dipasangkan serasi. Jadilah ia paragraf sejoli yang berjalan mesra bergandengan tangan. Dan, sesapan kopi menutupnya. Sempurna.



NGOPI di perpustakaan bukan sembarang “ritual”. Bukan sekadar memenuhi selera lidah. Bukan pula hirupan relaksasi dari aromanya yang kuat an sich. Akan tetapi, ngopi di perpustakaan adalah sumber inspirasi. Imajinasi otak dan jemari. Lebih dari itu, sesapannya bagai mantra yang menggerakkan. Seduhan hasil gilingan biji dari pohon pendek berbuah kecil-kecil yang konon ditemukan pertama kali oleh penggembala kambing di Ethiopia pada abad ke-9 itu, sanggup menjadi energi buat menjadikan esai yang bisu mampu berbicara.

Pada hitungan entah yang keberapa kali, sesapannya ampuh meredakan sakit kepala. Syaraf-syaraf dan otot di sekitar leher yang kaku seakan turut pula mengendur. Mata yang seakan sudah keruh, cerah lagi. Huruf-huruf yang tampak bertumpukan di pelupuk, seolah menata sendiri posisinya di mana dia berada. Memang, obatnya bukan tablet pereda nyeri, tapi cukup secangkir kopi panas. Jari jemari lah yang kemudian mengeksekusi. Dan, lihat hasilnya. Paragraf yang semula membuat kening berkerut-kerut, menjadi bermakna meskipun sumber masalahnya hanya soal silap membubuhkan tanda baca.

Jangan ditanya bila masalahnya bukan sekadar titik dan koma. Hampir-hampir saja, secangkir kopi gagal mengurai maksud dari susunan kalimat panjang yang melelahkan. Atau pendek, tapi membingungkan. Meskipun sudah berkali-kali dibaca, pelan-pelan, tetap saja tak mengubah kejelasan. Hurufnya sama, kalimatnya pun tidak ada yang baru, tapi efeknya seperti mantra membuat lupa. Semakin ia dibaca berulang-ulang, semakin jauh tersesat tak tahu jalan pulang.

Jika sudah begitu, masalahnya bukan pada kopi, tetapi pada paragraf dan peminum kopi yang sudah kelelahan. Kopi pun ditambah dosisnya. Disesap lagi sehirupan demi sehirupan sambil mengambil jeda. Sementara, tukar suasana dulu dari meja yang kaku. Pergi sejenak buat melempar pandangan ke luar jendela. Jika pas suasana sedang hujan, itu pertanda baik. Sebab, biasanya, memandangi tetesan air dari langit itu kadang ampuh mengembalikan mood. Suara gemuruhnya jadi terapi otak yang mulai jenuh. Sejenak menikmati suasana hujan dengan gembira, bak camilan pendamping kopi. Sabar menunggu beberapa menit, sampai naluri aksara akan bekerja lagi.

Bila naluri aksara sudah mulai bekerja, otak akan memerintah. Kata demi kata diurai. Antar kalimat dicarikan jodohnya. Tentu, beberapa kalimat harus diganti diksi baru. Bahkan, ada di antaranya yang tidak bisa diselamatkan. Dengan berat hati, ia harus dibuang. Kalimat utama dengan kalimat penjelasnya dipasangkan serasi. Jadilah ia paragraf sejoli yang berjalan mesra bergandengan tangan. Dan, sesapan kopi menutupnya. Sempurna.

Esai itu singkat, ringan, dan bebas. Sesingkat merenung, seringan menikmati kopi, dan sebebas merefleksi. Hanya saja, saat ia dituliskan menjadi wacana di atas kertas, di sinilah masalah bermula. Secangkir kopi panas tidak akan bisa menolong mewujudkannya apabila belum pernah sekalipun serius menulis karangan bebas. Memang demikian. Orang boleh berkata berkali-kali bahwa menulis itu gampang, tetapi tak segampang menyeduh kopi. Gampang dalam konteks ini berlaku bagi pembelajar, yang keras berlatih, dan membiasakan menulis. Menyeduh kopi pun bila dilakukan sembarangan, bisa jadi citarasanya rusak tak senikmat hasil racikan tangan orang yang terlatih.

Esai itu tulisan gembira seperti gembiranya perasaan saat menikmati secangkir kopi. Orang dengan esainya merdeka menganalisis dari sudut pandang pribadi. Leluasa menilai sesuatu dari kearifan reflektif yang menyeruak dari pikirannya tanpa beban. Ia bukan tulisan semacam makalah, bukan pula tulisan laiknya skripsi yang bertebaran ratusan kutipan, rujukan, teori, atau bukti literatur autentik yang berbaris-baris pada catatan kaki dengan pola mekanis. Tidak, tidak demikian. Bolehlah sekali dua kali mengutip, tapi biarkan suara hati bekerja lebih sering daripada terikat dengan kutipan yang membelenggu.

Esai itu lentur. Gaya penulisannya tidak kaku. Jadi, jangan tergoda menulis yang terlalu teoretis dengan sering mengutip data-fakta atau informasi yang tidak perlu. Jika terjebak pada kutipan tak perlu, penulisan menjadi bertele-tele dan terkesan menggurui. Tulisan jadi melebar kemana-mana. Sekali lagi, esai itu tulisan opini yang sifatnya sangat subjektif. Penulisnya bebas menulis apa pun dari sudut pandang pemikiran dan pemahamannya.

Oleh karena esai adalah hasil perenungan dalam bentuk wacana, apakah penulisnya mesti merenung dulu? Betul, dan apa susahnya merenung. Adakah orang yang tidak pernah merenung seumur hidupnya? Rasanya hampir tidak ada. Manusia itu makhluk berpikir, maka setiap orang pasti pernah merenung. Meskipun sepintas saja, tetaplah disebut merenung. Memang tidak harus lama. Sesuai kadar objek yang direnungkan saja. Harap juga dibedakan antara merenung dan menghayal.

Namun, jangan berhenti hanya merenung lalu selesai sambil manggut-manggut. Duduklah yang rileks di depan piranti menulis. Tuangkanlah segera. Ikat ia dengan kata, kalimat, dan paragraf. Lalu, susun dengan alur berpikir yang menunjukkan kejelasan, keringkasan, ketepatan, kepaduan, dan ketuntasan. Syarat-syarat itu sudah cukup membuat tulisan dipahami pembaca. Nanti kalau sudah terbiasa, tambahkan lagi efeknya bukan saja sekadar pembaca mengerti, tapi buatlah pembaca terhibur.

Kata seorang maestro ilmu menulis, tulisan yang bagus itu punya tiga daya; daya gugah, daya ubah, dan daya pikat. Entah, apakah tiga daya itu bisa “dicicil” atau merupakan paket komplit di mana ketiganya menjadi syarat sebuah tulisan dikatakan bagus. Akan tetapi, karena sasaran tulisan adalah hati, pikiran, dan emosi pembaca, memang dia harus menggugah, mengubah, dan memikat, sekecil apapun daya-daya itu memengaruhi pembaca.

Kata maestro yang sama, para penulis itu sejatinya merdeka. Paling tidak pikiran dan perasaannya. Kalau belum merdeka, pasti ia sedang terbelenggu kepentingan: beras, bensin, dan benci. Para penulis itu sejatinya pejuang. Paling tidak mereka sedang memperjuangkan kebahagiaan. Kalau tidak berbahagia, berarti mereka tengah didera kepandiran.

Membaca dan memperbaiki naskah pun, butuh kemerdekaan pikiran dan perasaan. Dia juga harus bahagia. Kalau tidak merdeka dan bahagia, bagaimana nasib naskah yang diperbaikinya nanti. Jadi, bukan saja penulis yang harus bahagia, merdeka perasaan dan pikirannya, editor pun demikian. Seorang editor yang belum merdeka dan tidak bahagia, sebaiknya merdeka dan berbahagialah dahulu, baru mengedit naskah. Kemerdekaan dan kebahagiaan itu juga kadang tidak mahal, cukup dengan secangkir kopi panas dengan uapnya yang mengepul menebar aroma unik.

Kopi, menulis, dan editor kadang seperti saudara kembar—tentu, tentu saja ini berlaku bagi penulis atau editor penyuka kopi. Ia seperti membebaskan pikiran dan perasaan dari “ketakutan” menyusun kata, kalimat, dan paragraf. Memang, salah satu kendala tak mau tergerak untuk menulis adalah ketakutan: takut jelek, takut salah, dan takut dibaca orang. Apalagi jika tulisan itu dilombakan, daftar ketakutan biasanya bertambah panjang.|



Baiklah. Jadi, saya sedang bahagia. Kemarin, dami buku kumpulan tulisan dari hasil lomba menulis di lingkup Madrasah Pembangunan saya terima dan sedang saya baca ulang. Lomba ini digagas Perpustakaan Madrasah Pembangunan pada event Pesta Literasi 2019. Pesta Literasi 2019 mengangkat tema All About MP menyambut HUT Ke-46 MP. Pada mulanya, karangan yang dilombakan tulisan berbentuk esai. Akan tetapi, tulisan yang masuk lebih dari sekadar esai. Esai plus, begitulah kira-kira.

Saya berterima kasih kepada dua tokoh yang kami mintakan kesediaannya untuk menilai naskah yang kami terima; Bapak Bambang Trimansyah, Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Penulis dan Editor Profesional (LSP PEP) dan Dr. Tantan Hermansah, M.Si., dosen Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Bidang Inovasi dan Pengembangan Pendidikan pada Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua beliau ini, sudah tidak asing dalam dunia literasi tulis menulis. Naskah Bapak dan Ibu yang memenangi lomba ini, seratus persen rekomendasi dari nilai kedua juri yang kami terima. Tidak ada campur tangan panitia lomba, apalagi kuasa buat memindah-mindah posisi siapa yang harus juara dan siapa yang harus mengalah. Dengan alasan apa pun, oleh siapa pun, dan dengan motivasi apap pun, tidak bisa. Sayembara memang mendidik kita untuk siap menang, lebih ksatria untuk siap kalah.

Ada keterlambatan rencana terbit buku ini dari jadwal semula. Sejak Covid 19 merebak, tak pelak, rencana berubah, agenda ditunda, bahkan ada agenda Perpustakaan Madrasah Pembangunan yang dibatalkan. Urusan yang lebih mendesak harus didahulukan, terutama persiapan strategi pembelajaran di masa pandemik yang banyak menyita perhatian pada persiapan penerbitan buku ini.

Sekarang, buku ini sudah ada di tangan. Jangan lupa, nikmatilah sambil minum kopi jika Anda penyuka kopi.

Salam literasi.