Rizano benar-benar seperti terlempar keluar dari planet bumi dan bergabung dengan “Suku Maya”.
“Kenapa mataharimu kamu kasih warna hitam, Zano?” Tanya Binar saat mereka keluar kelas.
“Ya terserah aku. Itu kan matahari aku,” jawab Rizano dengan muka ditekuk. Dia sebal. Teman baiknya ikut menertawakan.
“Tapi kan, yang namanya matahari, warnanya kuning.”
Rizano berhenti. Matanya menatap tajam Binar.
“Matahari aku kan, sedang gerhana. Di mana-mana, gerhana matahari kan gelap, tahu!”
Binar mengerling. Rizano berlari meninggalkan Binar yang masih mengerling.
“Zano! Tunggu!”
Rizano tak perduli. Dia terus berlari meninggalkan Binar. Dia benar-benar marah. Esoknya, marah Rizano baru reda oleh sebungkus cokelat Binar, oleh-oleh bapaknya yang baru tugas dari luar negeri. Cokelat itu lalu mengikat mereka sampai SMA. Selepas SMA, mereka baru pisah sekolah. Rizano melanjutkan kuliah menjadi guru, Binar mengambil sekolah seni. Akan tetapi, Binar tidak betah kuliah. Baru dua semester, dia hengkang.
Selanjutnya, Binar mengikuti hobinya bertualang. Meskipun anak orang kaya, dia lebih suka menggelandang dengan bekal seransel cat dan kuas. Dia bergabung dengan seniman jalanan dan berpindah-pindah. Makan dan tidurnya dari lukisan yang dia jual. Satu saat, Binar benar-benar meninggalkan rumah dan tak pernah kembali karena kecewa. Binar bahkan bersumpah tidak akan pernah meminta bantuan orang tuanya seumur hidup gara-gara Denok disebut perempuan pembawa sial bagi keluarga Binar.
“Hartaku adalah Denok, Zano.” Kata Binar saat mereka bertemu tak sengaja di Blok M, tiga tahun selepas SMA.
Rizano mengerti. Dia tahu kisah cinta Binar pada Denok sejak mereka SMA. Denok gadis panti asuhan, yatim piatu. Kecantikan fisik dan hati Denok, meluluhkan sukma anak orang kaya seperti Binar. Binar amat menyintai Denok. Cinta sejati. Begitu sejatinya, Binar lebih memilih Denok meskipun orang tuanya mengusirnya dan mengancam menghapus namanya dari hak waris. |
PELANGI menyembul di tengah senja. Ia hadir lagi ketika cahaya matahari terkena air hujan. Memang, sejak sehabis Ashar sore itu, hujan merintik belum reda. Diam-diam, pembiasan sinar matahari berlangsung, luput dari mata penikmat awam pelangi.
Rizano Sandywan tahu betul itu. Mata seorang guru sains seperti dia, kognisinya langsung bisa membaca fenomena alam, tidak seperti mata Binar yang cuma sekadar berbinar saat pelangi ada di langit kampung mereka; Kampung Utan. Maka, kuas Binar lah yang bekerja saat dia melihat pelangi. Tunggu saja beberapa saat, pelangi itu akan sempurna dia pindahkan ke atas kanvas hasil kecerdasan otak kanannya. Dan seperti biasanya, di sudut bawah sebelah kanan kanvas, ada tanda tangan yang mudah dibaca: Mataku Binar.
Binar memang bukan guru sains. Dia pelukis jalanan dengan kemampuan profesional. Karya-karyanya banyak lahir di emperan ruko pasar Blok M, Malioboro, Pasar Comboran Malang, atau emperan pertokoan Yakaya Rungkut Surabaya. Baru satu setengah tahun dia mangkal di Blok M. Maka, saat Rizano kengan pada teman kecilnya itu, dia pasti melangkah ke Blok M.
“Pelangi itu terjadi saat cahaya matahari itu dibelokkan. Berpindah arah dari perjalanan satu medium ke medium lainnya. Pelakunya adalah tetesan air yang ada di atmosfer. Perbedaan panjang gelombang dan sudut ketika sinar matahari dibiaskan, menyebabkan warna-warna pada sinar matahari menyebar dan terpisah. Di sanalah lengkungan pelangi dengan jutaan warna kau jumpai.” Rizano berkomentar panjang saat lukisan itu belum lagi kering.
“Apa pentingnya kuliahmu buatku?”
“Aku memberitahumu, seniman. Agar saat kau ditanya bagaimana pelangi itu mewujud, kau bisa menjawab. Jadi, kau tidak sekadar pandai melukisnya.”
“Di hadapan murid-muridmu, kau boleh ngoceh ilmiah, Zano. Di hadapanku, berapa pembeli berani membayar pelangiku, itu yang penting. Biar dapurku tetap mengepul.”
“Memangnya, berapa mau kau lepas?”
“Tiga bulan honormu.”
“Mahal sekali?”
“Berapa tiga bulan honormu? O, pasti tinggi, ya. Aku dengar, kabar burung sih, guru-guru di sekolahmu sejahtera. Syukurlah. Paling tidak, kawanku bukan guru nonorer yang kere.”
Rizano tersenyum kecut. Dia sadar sedang dijebak sahabatnya.
“Ah, tak perlu lah kau tahu berapa honorku.”
“Kalau begitu, carikan saja pembeli pelangiku. Kamu dapat sepuluh persen.”
“Berapa sepuluh persennya?”
Binar menyebutkan angka. Rizano terhenyak. Mahal. Bahkan sepuluh persen itu melangkahi gajinya tiga bulan.|
TEH poci masih mengepul. Hujan belum tiris sejak subuh. Padahal, hari masih pagi, masih pukul enam. Langit masih setengah gelap dan bertambah gelap karena cuaca mendung. Sepagi itu, Rizano sudah berkutat dengan tugas-tugas kelas online yang menumpuk sepanjang hujan belum reda. Matanya saja masih berat. Tadi malam, dia baru tidur pukul setengah dua belas usai memeriksa tugas fisika kelas dua belas pertemuan terakhir sebelum PTS. Jam setengah tiga dia sudah bangun lagi untuk meneruskan pekerjaan sekolah.
Sejak pandemik dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), Rizano lebih sibuk. Urusan sekolahnya tidak kenal bel. Laptopnya kalau bisa menyala 24 jam. WA-nya tidak pernah capek memberitahu soal keluhan siswanya meskipun dia sedang di kamar kecil. Kadang, orang tua sampai turun tangan menelepon saat dia sedang membantu istrinya menggoreng kerupuk hanya untuk memberi tahu: “Pak, tugas Si Mumut sudah saya emailkan, ya. Maaf, pake email kantor. Sekalian mao tanya, Pak. Bisa enggak sekolah tidak perlu ada PTS? Diganti tugas saja. Masalahnya, Si Mumut yang mao PTS, saya yang pusing.”
Pagi itu, setelah shalat Subuh, Rizano harus menginput nilai dan menulis laporan rencana pembelajaran pekan depan. Setelah itu, dia harus menulis modul, menyiapkan soal di google form, membuat video animasi, mengisi konten google site, dan merancang 60 butir soal persiapan Penilaian Semester. Rizano benar-benar seperti terlempar keluar dari planet bumi dan bergabung dengan “Suku Maya”.
Saraswati, istrinya menghampiri. Wajahnya tampak kelam, sekelam mendung pagi yang belum beranjak pergi. Saraswati duduk di samping suaminya. Sesaat, perempuan itu memegang bahu Rizano. Mengelusnya pelan seperti menoreh beban.
“Mas, barusan aku dikabari, Ibu dirawat. Butuh biaya rumah sakit.”
Rizano menolah. Matanya meninggalkan laptop menjumpai mata istrinya yang sembab seperti baru habis menangis.
“Inna lillahi. Pakai saja tabungan kita.”
“Jangan, Mas. Itu uang buat beli buku-buku kuliah Si Kakak.”
“Tapi, hanya itu sisa uang yang kita punya.”
“Beras di dapur juga tinggal untuk sore ini.”
“Uang honor menulis yang kemarin, masih sisa, kan?”
“Masih. Tapi, sudah aku alokasikan untuk beli kuota Si Kakak dan Jaziila seminggu ke depan. Si Kakak sudah mulai kuliah online. Jaziila sudah mulai PTS.”
“Sisa beras, bikin bubur saja, biar cukup sampai besok pagi.”
“Ibu bagaimana?”
Rizano menekur. Diseruputnya teh pocinya yang tinggal seteguk.
Binar mengerling. Rizano berlari meninggalkan Binar yang masih mengerling.
“Zano! Tunggu!”
Rizano tak perduli. Dia terus berlari meninggalkan Binar. Dia benar-benar marah. Esoknya, marah Rizano baru reda oleh sebungkus cokelat Binar, oleh-oleh bapaknya yang baru tugas dari luar negeri. Cokelat itu lalu mengikat mereka sampai SMA. Selepas SMA, mereka baru pisah sekolah. Rizano melanjutkan kuliah menjadi guru, Binar mengambil sekolah seni. Akan tetapi, Binar tidak betah kuliah. Baru dua semester, dia hengkang.
Selanjutnya, Binar mengikuti hobinya bertualang. Meskipun anak orang kaya, dia lebih suka menggelandang dengan bekal seransel cat dan kuas. Dia bergabung dengan seniman jalanan dan berpindah-pindah. Makan dan tidurnya dari lukisan yang dia jual. Satu saat, Binar benar-benar meninggalkan rumah dan tak pernah kembali karena kecewa. Binar bahkan bersumpah tidak akan pernah meminta bantuan orang tuanya seumur hidup gara-gara Denok disebut perempuan pembawa sial bagi keluarga Binar.
“Hartaku adalah Denok, Zano.” Kata Binar saat mereka bertemu tak sengaja di Blok M, tiga tahun selepas SMA.
Rizano mengerti. Dia tahu kisah cinta Binar pada Denok sejak mereka SMA. Denok gadis panti asuhan, yatim piatu. Kecantikan fisik dan hati Denok, meluluhkan sukma anak orang kaya seperti Binar. Binar amat menyintai Denok. Cinta sejati. Begitu sejatinya, Binar lebih memilih Denok meskipun orang tuanya mengusirnya dan mengancam menghapus namanya dari hak waris. |
PELANGI menyembul di tengah senja. Ia hadir lagi ketika cahaya matahari terkena air hujan. Memang, sejak sehabis Ashar sore itu, hujan merintik belum reda. Diam-diam, pembiasan sinar matahari berlangsung, luput dari mata penikmat awam pelangi.
Rizano Sandywan tahu betul itu. Mata seorang guru sains seperti dia, kognisinya langsung bisa membaca fenomena alam, tidak seperti mata Binar yang cuma sekadar berbinar saat pelangi ada di langit kampung mereka; Kampung Utan. Maka, kuas Binar lah yang bekerja saat dia melihat pelangi. Tunggu saja beberapa saat, pelangi itu akan sempurna dia pindahkan ke atas kanvas hasil kecerdasan otak kanannya. Dan seperti biasanya, di sudut bawah sebelah kanan kanvas, ada tanda tangan yang mudah dibaca: Mataku Binar.
Binar memang bukan guru sains. Dia pelukis jalanan dengan kemampuan profesional. Karya-karyanya banyak lahir di emperan ruko pasar Blok M, Malioboro, Pasar Comboran Malang, atau emperan pertokoan Yakaya Rungkut Surabaya. Baru satu setengah tahun dia mangkal di Blok M. Maka, saat Rizano kengan pada teman kecilnya itu, dia pasti melangkah ke Blok M.
“Pelangi itu terjadi saat cahaya matahari itu dibelokkan. Berpindah arah dari perjalanan satu medium ke medium lainnya. Pelakunya adalah tetesan air yang ada di atmosfer. Perbedaan panjang gelombang dan sudut ketika sinar matahari dibiaskan, menyebabkan warna-warna pada sinar matahari menyebar dan terpisah. Di sanalah lengkungan pelangi dengan jutaan warna kau jumpai.” Rizano berkomentar panjang saat lukisan itu belum lagi kering.
“Apa pentingnya kuliahmu buatku?”
“Aku memberitahumu, seniman. Agar saat kau ditanya bagaimana pelangi itu mewujud, kau bisa menjawab. Jadi, kau tidak sekadar pandai melukisnya.”
“Di hadapan murid-muridmu, kau boleh ngoceh ilmiah, Zano. Di hadapanku, berapa pembeli berani membayar pelangiku, itu yang penting. Biar dapurku tetap mengepul.”
“Memangnya, berapa mau kau lepas?”
“Tiga bulan honormu.”
“Mahal sekali?”
“Berapa tiga bulan honormu? O, pasti tinggi, ya. Aku dengar, kabar burung sih, guru-guru di sekolahmu sejahtera. Syukurlah. Paling tidak, kawanku bukan guru nonorer yang kere.”
Rizano tersenyum kecut. Dia sadar sedang dijebak sahabatnya.
“Ah, tak perlu lah kau tahu berapa honorku.”
“Kalau begitu, carikan saja pembeli pelangiku. Kamu dapat sepuluh persen.”
“Berapa sepuluh persennya?”
Binar menyebutkan angka. Rizano terhenyak. Mahal. Bahkan sepuluh persen itu melangkahi gajinya tiga bulan.|
TEH poci masih mengepul. Hujan belum tiris sejak subuh. Padahal, hari masih pagi, masih pukul enam. Langit masih setengah gelap dan bertambah gelap karena cuaca mendung. Sepagi itu, Rizano sudah berkutat dengan tugas-tugas kelas online yang menumpuk sepanjang hujan belum reda. Matanya saja masih berat. Tadi malam, dia baru tidur pukul setengah dua belas usai memeriksa tugas fisika kelas dua belas pertemuan terakhir sebelum PTS. Jam setengah tiga dia sudah bangun lagi untuk meneruskan pekerjaan sekolah.
Sejak pandemik dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), Rizano lebih sibuk. Urusan sekolahnya tidak kenal bel. Laptopnya kalau bisa menyala 24 jam. WA-nya tidak pernah capek memberitahu soal keluhan siswanya meskipun dia sedang di kamar kecil. Kadang, orang tua sampai turun tangan menelepon saat dia sedang membantu istrinya menggoreng kerupuk hanya untuk memberi tahu: “Pak, tugas Si Mumut sudah saya emailkan, ya. Maaf, pake email kantor. Sekalian mao tanya, Pak. Bisa enggak sekolah tidak perlu ada PTS? Diganti tugas saja. Masalahnya, Si Mumut yang mao PTS, saya yang pusing.”
Pagi itu, setelah shalat Subuh, Rizano harus menginput nilai dan menulis laporan rencana pembelajaran pekan depan. Setelah itu, dia harus menulis modul, menyiapkan soal di google form, membuat video animasi, mengisi konten google site, dan merancang 60 butir soal persiapan Penilaian Semester. Rizano benar-benar seperti terlempar keluar dari planet bumi dan bergabung dengan “Suku Maya”.
Saraswati, istrinya menghampiri. Wajahnya tampak kelam, sekelam mendung pagi yang belum beranjak pergi. Saraswati duduk di samping suaminya. Sesaat, perempuan itu memegang bahu Rizano. Mengelusnya pelan seperti menoreh beban.
“Mas, barusan aku dikabari, Ibu dirawat. Butuh biaya rumah sakit.”
Rizano menolah. Matanya meninggalkan laptop menjumpai mata istrinya yang sembab seperti baru habis menangis.
“Inna lillahi. Pakai saja tabungan kita.”
“Jangan, Mas. Itu uang buat beli buku-buku kuliah Si Kakak.”
“Tapi, hanya itu sisa uang yang kita punya.”
“Beras di dapur juga tinggal untuk sore ini.”
“Uang honor menulis yang kemarin, masih sisa, kan?”
“Masih. Tapi, sudah aku alokasikan untuk beli kuota Si Kakak dan Jaziila seminggu ke depan. Si Kakak sudah mulai kuliah online. Jaziila sudah mulai PTS.”
“Sisa beras, bikin bubur saja, biar cukup sampai besok pagi.”
“Ibu bagaimana?”
Rizano menekur. Diseruputnya teh pocinya yang tinggal seteguk.
Air mata Saraswati meleleh. Saraswati terisak karena tahu suaminya bingung dari mana mendapat biaya perawatan ibunya. Persis, saat itu, kuota Rizano habis pada isakan Saraswati terakhir sebelum dia berhenti meratap. Untunglah pula hari itu hari Sabtu, hari bebas PJJ. Rizano tidak membayangkan kalau itu terjadi saat dia mengajar. Tiba-tiba wajah menghilang dari layar Zoom Meeting karena kehabisan kuota, adalah aib seorang guru saat PJJ.|
BINAR duduk memeluk lutut. Dia beranjak saat melihat kedatangan Rizano dengan dua perempuan asing berwajah Arab. Rizano memperkenalkannya pada Binar. Binar menyapanya ramah. Ramla balas menyapa sambil mengucap salam. Fathiya hanya mengangguk.
Rizano memperkenalkan Binar pada Ramla dan Fathiya. Binar hanya melongo saat Rizano bercakap dengan bahasa Arab, sesekali dengan bahasa Inggris. Binar mengerti saat Rizano, Ramla, dan Fathiya berbincang dengan bahasa Inggris. Namun, Binar sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bincangkan selain na'am dan laa. Di telinga Binar, mereka bertiga terdengar seperti sedang ratiban.
“Ramla dan Fathiya mahasiswa pascasarjana dari Mesir. Sudah setahun penelitian di sekolahku. Dua hari lagi dia balik ke Kairo.”
“Terus, apa hubungannya denganku?”
“Ramla kolektor. Dia ingin lihat lukisanmu.”
“Oh. Kau datang di saat yang tepat, Zano. Dapurku sedang sekarat. Pelangganku habis gara-gara Corona.”
“Aku bilang, kamu punya lukisan pelangi. Dia ingin melihatnya.”
“Astaga!”
“Kenapa?”
Binar menepuk jidat. Lukisan itu sudah ditukarnya seminggu yang lalu sebagai jaminan dua bulan menunggak biaya sewa kontrak rumah kepada pemilik kontrakan.
“Sebanding kira-kira sebulan honormu, Zano,” kata Binar berkelakar.
Rizano mencibir. Dia tidak suka soal honornya dibandingkan lagi dengan harga lukisan Binar. Apalagi sekarang, harganya dibanting seukuran honornya satu bulan. Lagi pula, memang Binar tahu berapa besar honornya?
“Sorry, Zano. Lupakan soal honormu. Aku punya banyak koleksi selain pelangi. Tawarkan saja. Aku kasih murah.”
“Ramla ingin yang pelangi.”
“Tak bisakah yang lain?”
“Tergantung dia.”
Rizano menawarkan lukisan Binar yang lain. Ramla menggeleng. Dia hanya menginginkan pelangi.
“Qawsun fujah, Rizano. Ghayruh, laa.” Ucap Ramla.
Rizano menelan ludah. Dia sudah kadung berharap mendapat komisi sepuluh persen seperti janji Binar sebulan yang lalu. Dia sedang butuh sekali uang itu. Namun, harapan itu pupus. Ramla hanya mau melihat lukisan pelangi itu, bukan yang lain. Lukisan pelangi itu pun, belum tentu dibeli Ramla.
“Ramla hanya ingin yang pelangi, Bin. Yang lainnya, nggak mau.”
Binar tampak kecewa.
Dalam pada itu, seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya datang ke lapak Binar. Dia membawa bingkai tertutup rapat. Binar mengenal keduanya. Binar minta izin Rizano dan dua perempuan Mesir itu buat menemui keduanya. Rizano menggunakan kesempatan itu menemani Ramla dan Fathiya melihat-lihat lukisan Binar yang lain. Siapa tahu ada yang diminati Ramla atau Fathiya.
Binar memesan kopi menemani tamunya berbincang. Rupanya, orang itu adalah pemilik rumah kontrak yang Binar tempati. Esok dia akan terbang ke luar kota. Dia ditugaskan ke Kalimantan selama setahun. Dia minta tolong Binar untuk merawat rumahnya selama dia di Kalimantan. Sebagai imbalannya, Binar dibebaskan biaya sewa rumah selama setahun ke depan.
“Bin, saya tidak punya sanak saudara di Jakarta. Kamu sudah seperti keluarga saya. Saya titip rumah, ya. Kalau butuh kendaraan, pakai saja.”
Laki-laki itu lalu menyerahkan bingkai tertutup itu pada Binar.
“Taruh saja di sini. Kalau ada yang minat, jual. Ambil semua harga penjualannya.”
Binar membuka bungkus bingkai itu. Mata Binar berbinar, lalu menitik.|
PAGI masih kelam, lebih kelam dari kemarin. Rizano menunduk sedih. Saraswati tak berhenti sesenggukan selepas kabar kewafatan ibunya diterima tadi subuh. Hanya selang dua hari dikabari ibunya dirawat, kabar duka datang menyusul. Hati Saraswati remuk redam membaca kabar sebab kewafatan sang Bunda: COVID.
“Cukup Raswa. Ibu sudah tenang. Jangan lagi ditangisi. Semoga beliau dapat pahala syahid karena wabah.”
Saraswati mengelap air matanya.
Rizano menyerahkan amplop cokelat.
“Gunakan untuk membantu biaya perawatan ibu.”
“Tidak usah, Mas. Perawatan ibu sudah diurus Mas Wawan.”
“Barangkali cukup buat urusan tahlilan.”
“Tidak ada tahlilan. Tidak boleh ada kumpul-kumpul di kampung sejak kasus ibu. Mas Wawan malah transfer ke rekeningku untuk biaya kuliah si Kakak hasil panen sawah ibu tahun ini. Mas Zano kembalikan saja amplop itu.”
“Kembalikan?”
“Mas Zano pasti dapat dari pinjam, kan?”
Rizano menggeleng.
Rizano berkata amplop itu titipan dari Binar. Kemungkinan komisi sepuluh persen lukisan pelangi Binar yang dibeli Ramla. Dia sendiri belum membuka dan menghitung berapa jumlahnya.
“Hitunglah. Semoga cukup untuk urusan kuota saya, Si Kakak, dan Jaziila selama PJJ.”
Saraswati membuka amplop, menghitungnya, dan memekik.
“Sembilan juta, Mas Zano!”
Rizano menekur. Diraih HP-nya. Dikirim pesan pada Binar mengucap terima kasih. Binar membalas. Dia katakan, dialah yang harus berterima kasih. Ramla tanpa menawar berani membayar pelangi miliknya seharga 90 juta. Pelangi yang sesungguhnya sudah menjadi milik orang, kembali kepadanya.
“Kamu yang membawa Ramla padaku, kan? Oh, iya. Aku titip dua amplop. Nikmatilah rezekimu, guru honorer.”
Rizano memeriksa amplop cokelat itu. Dia tidak lagi memedulikan cap guru honorer, kelakar Binar yang sebenarnya menjengkelkan. Rizano sering memaki nasib. Sebutan guru honorer dan guru PNS dipandangnya seperti kasta Hindu kelima dan keenam. Cukuplah Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra saja. Toh, tidak ada siapa yang lebih berat timbangannya dalam tugas-tugas mengajar. Bisakah disebut "guru" saja tanpa embel-embel?
BINAR duduk memeluk lutut. Dia beranjak saat melihat kedatangan Rizano dengan dua perempuan asing berwajah Arab. Rizano memperkenalkannya pada Binar. Binar menyapanya ramah. Ramla balas menyapa sambil mengucap salam. Fathiya hanya mengangguk.
Rizano memperkenalkan Binar pada Ramla dan Fathiya. Binar hanya melongo saat Rizano bercakap dengan bahasa Arab, sesekali dengan bahasa Inggris. Binar mengerti saat Rizano, Ramla, dan Fathiya berbincang dengan bahasa Inggris. Namun, Binar sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bincangkan selain na'am dan laa. Di telinga Binar, mereka bertiga terdengar seperti sedang ratiban.
“Ramla dan Fathiya mahasiswa pascasarjana dari Mesir. Sudah setahun penelitian di sekolahku. Dua hari lagi dia balik ke Kairo.”
“Terus, apa hubungannya denganku?”
“Ramla kolektor. Dia ingin lihat lukisanmu.”
“Oh. Kau datang di saat yang tepat, Zano. Dapurku sedang sekarat. Pelangganku habis gara-gara Corona.”
“Aku bilang, kamu punya lukisan pelangi. Dia ingin melihatnya.”
“Astaga!”
“Kenapa?”
Binar menepuk jidat. Lukisan itu sudah ditukarnya seminggu yang lalu sebagai jaminan dua bulan menunggak biaya sewa kontrak rumah kepada pemilik kontrakan.
“Sebanding kira-kira sebulan honormu, Zano,” kata Binar berkelakar.
Rizano mencibir. Dia tidak suka soal honornya dibandingkan lagi dengan harga lukisan Binar. Apalagi sekarang, harganya dibanting seukuran honornya satu bulan. Lagi pula, memang Binar tahu berapa besar honornya?
“Sorry, Zano. Lupakan soal honormu. Aku punya banyak koleksi selain pelangi. Tawarkan saja. Aku kasih murah.”
“Ramla ingin yang pelangi.”
“Tak bisakah yang lain?”
“Tergantung dia.”
Rizano menawarkan lukisan Binar yang lain. Ramla menggeleng. Dia hanya menginginkan pelangi.
“Qawsun fujah, Rizano. Ghayruh, laa.” Ucap Ramla.
Rizano menelan ludah. Dia sudah kadung berharap mendapat komisi sepuluh persen seperti janji Binar sebulan yang lalu. Dia sedang butuh sekali uang itu. Namun, harapan itu pupus. Ramla hanya mau melihat lukisan pelangi itu, bukan yang lain. Lukisan pelangi itu pun, belum tentu dibeli Ramla.
“Ramla hanya ingin yang pelangi, Bin. Yang lainnya, nggak mau.”
Binar tampak kecewa.
Dalam pada itu, seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya datang ke lapak Binar. Dia membawa bingkai tertutup rapat. Binar mengenal keduanya. Binar minta izin Rizano dan dua perempuan Mesir itu buat menemui keduanya. Rizano menggunakan kesempatan itu menemani Ramla dan Fathiya melihat-lihat lukisan Binar yang lain. Siapa tahu ada yang diminati Ramla atau Fathiya.
Binar memesan kopi menemani tamunya berbincang. Rupanya, orang itu adalah pemilik rumah kontrak yang Binar tempati. Esok dia akan terbang ke luar kota. Dia ditugaskan ke Kalimantan selama setahun. Dia minta tolong Binar untuk merawat rumahnya selama dia di Kalimantan. Sebagai imbalannya, Binar dibebaskan biaya sewa rumah selama setahun ke depan.
“Bin, saya tidak punya sanak saudara di Jakarta. Kamu sudah seperti keluarga saya. Saya titip rumah, ya. Kalau butuh kendaraan, pakai saja.”
Laki-laki itu lalu menyerahkan bingkai tertutup itu pada Binar.
“Taruh saja di sini. Kalau ada yang minat, jual. Ambil semua harga penjualannya.”
Binar membuka bungkus bingkai itu. Mata Binar berbinar, lalu menitik.|
PAGI masih kelam, lebih kelam dari kemarin. Rizano menunduk sedih. Saraswati tak berhenti sesenggukan selepas kabar kewafatan ibunya diterima tadi subuh. Hanya selang dua hari dikabari ibunya dirawat, kabar duka datang menyusul. Hati Saraswati remuk redam membaca kabar sebab kewafatan sang Bunda: COVID.
“Cukup Raswa. Ibu sudah tenang. Jangan lagi ditangisi. Semoga beliau dapat pahala syahid karena wabah.”
Saraswati mengelap air matanya.
Rizano menyerahkan amplop cokelat.
“Gunakan untuk membantu biaya perawatan ibu.”
“Tidak usah, Mas. Perawatan ibu sudah diurus Mas Wawan.”
“Barangkali cukup buat urusan tahlilan.”
“Tidak ada tahlilan. Tidak boleh ada kumpul-kumpul di kampung sejak kasus ibu. Mas Wawan malah transfer ke rekeningku untuk biaya kuliah si Kakak hasil panen sawah ibu tahun ini. Mas Zano kembalikan saja amplop itu.”
“Kembalikan?”
“Mas Zano pasti dapat dari pinjam, kan?”
Rizano menggeleng.
Rizano berkata amplop itu titipan dari Binar. Kemungkinan komisi sepuluh persen lukisan pelangi Binar yang dibeli Ramla. Dia sendiri belum membuka dan menghitung berapa jumlahnya.
“Hitunglah. Semoga cukup untuk urusan kuota saya, Si Kakak, dan Jaziila selama PJJ.”
Saraswati membuka amplop, menghitungnya, dan memekik.
“Sembilan juta, Mas Zano!”
Rizano menekur. Diraih HP-nya. Dikirim pesan pada Binar mengucap terima kasih. Binar membalas. Dia katakan, dialah yang harus berterima kasih. Ramla tanpa menawar berani membayar pelangi miliknya seharga 90 juta. Pelangi yang sesungguhnya sudah menjadi milik orang, kembali kepadanya.
“Kamu yang membawa Ramla padaku, kan? Oh, iya. Aku titip dua amplop. Nikmatilah rezekimu, guru honorer.”
Rizano memeriksa amplop cokelat itu. Dia tidak lagi memedulikan cap guru honorer, kelakar Binar yang sebenarnya menjengkelkan. Rizano sering memaki nasib. Sebutan guru honorer dan guru PNS dipandangnya seperti kasta Hindu kelima dan keenam. Cukuplah Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra saja. Toh, tidak ada siapa yang lebih berat timbangannya dalam tugas-tugas mengajar. Bisakah disebut "guru" saja tanpa embel-embel?
Benar saja. Ada amplop kedua. Ada tulisan tangan Binar pada secarik kertas. “Hadiah dariku untuk biaya kuliah Kalila selama dua semester. Hari ini aku semakin percaya kata-katamu saat kau meyakinkanku pada Denok. Kau bilang waktu itu, “mengurus anak yatim” Allah tak akan membiarkanmu berjalan sendirian.”
Rizano kelu. Matanya basah. Urusan kuotanya selesai di tangan Mata Binar.|
Rizano kelu. Matanya basah. Urusan kuotanya selesai di tangan Mata Binar.|
0 Comments
Posting Komentar