Kecanduan game.(Shutterstock)
Technology is a useful servant but a dangerous master.
Adalah saya secara kebetulan selama beberapa Jumat memerhatikan fenomena. Namun kali ini, apakah pembaca sepakat bahwa fenomena yang saya amati sudah melewati batas kewajaran atau tidak, itu soal kedua. Namun, yang pertama, dan ini adalah core dari kegelisahan saya, bahwa pecandu gadget seperti sudah tidak punya ruang untuk sakralitas Jumatan.
Ceritanya, saya benar-benar heran. Pada Jumatan beberapa minggu yang lewat, saya tak kuasa dari tidak terheran-heran. Seorang remaja–lebih pantasnya seperti mahasiswa–sejak awal datang dan duduk, tidak lepas dari gadget. Saya pikir, nanti ia akan berhenti saat nanti azan berkumandang. Ternyata, tidak. Ia masih asyik dengan gedgetnya. Dalam hati saya tetap berhusnuzan, bisa jadi, ia masih sempat menjawab dalam hati apa yang diucapkan muazin meskipun jari-jemarinya sibuk menari-nari di atas layar gadget. Bisa saja, kan?
Namun dugaan saya meleset. Bahkan sampai khatib membaca doa penutup pada khutbah kedua, pun ia masih asyik dengan gadgetnya. Jari-jemarinya masih sibuk scrolling mengusap ke atas dan ke bawah punggung gadgetnya. Saya begitu penasaran, sedikit mengintip, apa sih yang membuatnya sedemikian ‘hormat’ dengan gadget dan mengabaikan pahala mendengarkan khutbah?
Rupanya dia asyik membaca komik digital.
Hari ini, di tempat yang sama, remaja yang sama, dengan kelakuan yang sama pula. Bedanya, sejak datang dan duduk, dia asyik ber-Instagram, ber-WhatsApp, dan lagi; membaca komik digital. Saya tahu, karena saya mengintip dari awal sampai akhir. Lagi, dan kali ini saya harus mengelus dada. Sampai doa penutup khutbah kedua, ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia tetap fokus pada gadgetnya. Saya akui, konsentrasi saya pun pecah dari menyimak isi khutbah tentang makna Isra dan Mikraj karena ‘gregetan’ dengan kelakuan remaja itu.
Ya Tuhan, apakah perasaan ‘gregetan’ saya dapat dibenarkan melihat kelakuan model begitu?
Fikih mengajarkan, bahwa ibadah Jumat itu sangat agung. Bahkan, untuk sampai pada taraf kesempurnaan berjumat, kaum muslimin terbiasa mengamalkan sunnah-sunnah sebelum berangkat ke masjid agar keagungan Jumat tidak berlalu begitu saja. Mandi, memotong kuku dan kumis, memakai pakaian yang bersih–lebih utama yang berwarna putih–dan memakai wangi-wangian sudah menjadi bagian dari literasi berjumat.
Sesaat kaki akan melangkah untuk berjumat pun, masih ada amalan yang akan menambah bobot pahala Jumat. Berdoa ketika keluar rumah dan disunnahkan segera menuju ke masjid dengan berjalan kaki perlahan-lahan dan tidak banyak bicara. Nanti sesampainya di masjid, ketika masuk masjid melangkah dengan kaki kanan dan membaca doa. Terus melaksanakan salat sunnah tahiyyatul masjid. Kemudian iktikaf sambil membaca Al-Qur’an, berzikir, atau bersalawat jika khatib belum naik mimbar. Jika khatib sudah naik ke mimbar, maka zikir atau bacaan Al-Qur’an pun disudahi untuk mendengarkan khutbah.
Amalan-amalan tersebut tentu bukan sekadar amalan sunnah, melainkan sebagai penghormatan akan pentingnya ibadah Jumat hingga adab-adabnya pun diajarkan secara rinci. Dan, yang perlu digarisbawahi, betapa mulianya kedudukan khutbah pada penyelenggaraan ibadah Jumat.
“Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka tidak ada (pahala) shalat Jumat untuknya.” Demikian bunyi sebuah riwayat dari Imam Ahmad.
Bisa jadi semua orang sepakat bahwa kesia-siaan adalah perkara buruk. Namun, kesia-siaan sebagai akibat dari tidak mengindahkan marwah ibadah Jumat bukan saja perkara buruk, melainkan sudah jatuh pada perilaku merendahkan syariat berjumat.
Sibuk bergadget ria saat khatib menyampaikan khutbah, tentu sukar diterima. Bukan saja sukar diterima dengan segudang dalil tentang kewajiban menjaga dari kesia-siaan berjumat, tapi juga atas pertimbangan standar perasaan dan akal budi. Memang, apa yang diharap dari bermain gadget saat khatib berkhutbah? Apakah masih tak cukup waktu sibuk dengan gadget di luar masjid? Apabila pada kondisi sakral saja tidak bisa lepas dari gadget, bagaimana pada kondisi di luar itu?
Kalau Christian Lous Lange berkata, “Technology is a useful servant but a dangerous master”, Al-Quran menyitir ada manusia yang terang-terangan mempertuhankan hawa nafsu yang disembah-sembah (lihat QS. Al Furqãn [25]: 43). Secara tidak sadar, bisa jadi, bagi segelintir orang, gadget sudah menjadi ‘tuhan-tuhan’ kecil dalam kehidupan modern hari ini meskipun saat ia bersimpuh di lantai masjid.
Bolehlah kita bertanya, mengapa itu bisa terjadi?
Untuk hal ini, literasi berjumat kepada jamaah rasanya sudah tidak cukup sekadar imbauan untuk menonaktifkan HP atau alat komunikasi. Rasanya, literasi digital menjadi sangat mendesak menjadi kurikulum ibadah bagi kaum muslimin untuk disampaikan hingga ke bilik-bilik rumah tangga agar ibadah mereka tidak sia-sia karena ketidakmengertian yang tidak perlu.
Allahu a’lam.
Ciputat, 12 Maret 2021.
0 Comments
Posting Komentar