Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (terjemah QS. Al-Jumu’ah [62] : 8)
 
Hampir jam satu dini hari. Akan tetapi, mata tak jua bisa dipejamkan. Nyeri dan demam menyerang lagi. Meski mata dipaksa dipejamkan, tapi kantuk jauh panggang dari api. Tak bisa tidur. Saat demikian itu, ingatan berputar pada sebulan terakhir, bulan kesedihan.

Kehilangan orang yang kita menaruh hormat kepadanya, rasanya amat berat. Pada hari kepergiannya, bukan hanya kesedihan dan kehilangan figur, tapi kenangan sewaktu hidup berkelebat lagi seakan menambah beban sedih bertambah dalam. Tentu, kesedihan yang amat beralasan.

Dalam sebulan, saya kehilangan dua perempuan. Untuk keduanya, penghormatan saya mendekati sikap hormat pada Ibu karena beberapa alasan. Tentu, alasan kerabat menjadi perekat rasa hormat itu semakin kuat. Dan saat keduanya berpulang, kesedihan itu mencari jalannya sendiri. Alasan lain karena legacy kebaikan yang ditinggalkan. Legacy inilah yang lebih berat untuk sebuah alasan kehilangan.|


Pada 14 Ramadhan 1442 H, saya kehilangan Hj. Sopiah, kakak Ibu saya. Saya memanggilnya "Mak Iyah". Perempuan autentik bahwa seorang ibu adalah "madrasah" pertama bagi anak-anaknya. Bahkan pada diri Mak Iyah, madrasah itu beserta kurikulumnya sekalian.

Tangan, kaki, mata, dan telinga Mak Iyah adalah madrasah. Otak, hati, dan ikhtiarnya adalah kurikulumnya. Sebab, yang paling ia perjuangkan sepanjang hidup sebelum anak-anaknya "jadi orang" pada hari ini adalah pendidikan. Pendidikan dan urusan sekolah lah fokus Mak Iyah di tengah keterbatasan hidup yang dahulu membelitnya mengalahkan urusan dapur yang kadang mengepul kadang dingin sebab tak ada sisa bara api bekas menanak nasi di mulut "lueng".

Mak Iyah tak peduli, hari ini bisa makan atau tidak asalkan ada uang untuk sekolah bagi kedua Abang saya, tumpuan masa depan mereka.

Maka, siang hari adalah waktu tegar bagi Mak Iyah mencari uang. Dia tidak ingin harapan pendidikan anak-anaknya putus. Juga tidak menyerah pada faham fatalisme sederhana kebanyakan orang kampung saya soal pendidikan pada tahun itu. Apalagi dengan kondisi hidup dalam gambaran pepatah orang kampung saya "boro-boro mikirin sekolah, buat makan saja susah".

Akan tetapi, Mak Iyah bukan tipe perempuan macam itu. Ia persis seperti falsafah namanya; "Sophia", bijak bestari.

Orang bijak memandang sesuatu tidak semata dari kulit luar, tapi menembus hakikat terdalam suatu persoalan. Dari persoalan itu, ia mengerti dan memahami sebuah hakikat. Lalu, pesan hakikat ia tangkap dengan kesadaran; "apa yang harus ia lakukan".

Mak Iyah tegar bagai singa di siang yang terik, tapi malamnya ia "rapuh" di mana air matanya meleleh, jatuh di atas tikar dengan mukena yang masih melekat. Tema sujud dan doa panjangnya bukan meminta agar ia bisa keluar dari kemiskinan, melainkan menitipkan anak-anaknya kepada Yang Maha Pemberi Rezeki supaya mereka tetap bisa sekolah.

"Keramat" cucur keringat, air mata, dan doa seorang Mak Iyah terjawab sudah sebelum ia berpulang. Tentu, kosa kata saya tak mungkin memadai mengurainya pada ruang yang sempit ini. Hanya saja, hari-hari setelah Mak Iyah tiada, adalah hari-hari kerinduan sambil mengenang lagi bagaimana dahulu ia mendidik kedua Abang saya yang sudah "jadi orang" itu.

Semoga damai sejahtera Emak di sana.|


Pada Kamis 14 Syawwal 1442 H kemarin, Hj. Rohani, saudara sepupu ayah saya menyusul berpulang. Semasa hidup, ia aktif dalam kegiatan Aisyiyah Depok. Sejak bergabung dengan Aisyiyah, usianya banyak dihabiskan mengurus organisasi perempuan Muhammadiyah mendampingi sang suami; H. Djachroddin yang aktivis Muhammadiyah. Inilah legacy yang ia tinggalkan pada catatan saya.

Bu Ro saya memanggilnya. Pada lebaran kemarin, seperti biasanya, ia membawa semua anak dan menantu mengunjungi ayah.

Rasanya, hangat di pipi saya masih belum hilang bekas cium dan peluk sayang sebelum ia pamit pulang usai silaturahim. Saya bahagia sekali. Apalagi mandapati kesehatannya semakin membaik. Yang lalu-lalu, hanya istri saya yang dicium dan dipeluk di manapun saat kami bertemu dan lebaran. Rupanya, itu adalah cium dan pelukan perpisahan untuk saya. Silaturahim lebarannya juga pesan terakhir buat kami semua.

Bu Ro perempuan aktivis. Beramal memikirkan umat dan persyarikatan. Beberapa peiode terpilih menjadi pengurus Aisyiyah di Ranting, Cabang, dan Daerah.

Sewaktu saya tinggal bersama keluarga beliau, banyak tahulah saya. Bu Ro hampir tak pernah berpisah dari Bapak ke manapun untuk urusan kegiatan dakwah persyarikatan dan salat berjamaah di masjid. Setia sekali. Di mana ada Bapak, di situ ada Ibu.

Saya masih ingat betul bagaimana pula ia tak pernah bosan membangunkan sebelum waktu salat Subuh tiba pada anak-anaknya. Seperti Mak Iyah, ia tidak ingin pendidikan rohani abai ia lakukan pada hari-hari paling awal menjalani hidup anak-anaknya.

Seperti falsafah namanya; "Rohani" sebagai pusat kedamaian, Bu Ro sangat ramah. Tutur katanya halus. Senyumnya selalu merekah mengiringi saat ia bicara dan bertemu siapa pun. Ramah, tutur kata yang halus, dan senyum miliknya adalah legacy rohani yang mendamaikan semua orang dan terkenang lebih sering saat ia sudah tiada.

Terlalu banyak Bu Ro dalam kenangan. Tak ingin menitik lagi air mata ini yang payah saya tahan sejak kalimat pertama saya tuliskan untuk mengenangnya.

Doa yang sama untuk Ibu, semoga damai sejahtera Ibu di sana.|


14 Ramadhan dan 14 Syawwal 1442 H bukanlah tanggal kebetulan. Tanggal itu adalah ajal yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh untuk Mak Iyah dan Bu Ro. Keduanya perempuan istimewa bagi saya karena kekerabatan dan legacy yang abadi.

Azan pertama sebelum Subuh sudah berkumandang dari corong Al-Huda. Mata belum bisa diajak tidur meski demam dan nyeri sudah diringankan obat. Waktu untuk "bermesraan" dengan Yang Tidak Pernah Ngantuk dan Tidak Pernah Tidur sudah sampai pada zona mustajabah.

"Ya Rabb, sayangi kedua perempuan dalam catatan ini. Juga untuk kedua mertua hamba yang sudah mendahului kami. Kepada Ayah dan Ibu hamba yang masih hidup di usia sepuh demikian pula, Ya Rabb. Aamiin.|