Meme Palestina. (Foto: Dok. nugrislucu)

Birruh, biddam, nabdika ya Aqsa!



DI Palestina, anak perempuan berusia delapan atau sembilan tahun mengaku tidak takut dengan bom Israel itu biasa. Atau, anak laki-laki kelas 2 SMP melempar tentara Isarel dengan batu di komplek Al-Aqsa, itupun pemandangan biasa. Menjadi martir sekalipun, rasanya bukan perkara yang mereka takutkan.

“Birruh, biddam, nabdika ya Aqsa!” Kalimat ini diucapkan anak-anak Palestina sambil menarik karet ketapel yang diarahkan ke tentara zionis yang merebut tanah mereka dan menguasai komplek Al-Aqsa. Anak sekecil itu berteriak lantang: “Dengan jiwa dan darah, kami akan membelamu wahai al-Aqsa!” Rasanya, tidak ada tempat di muka bumi ini, di mana anak anak-anak bisa seberani itu selain di Palestina.

Seolah, anak-anak itu adalah Izzuddin al-Qassam, sayap militernya HAMAS kecil atau faksi lain seperti Brigade Al-Quds. Seperti namanya, “HAMAS”; Harakah Al Muqawamah Al Islamiyah, “gerakan perlawanan Islam” bila diterjemahkan, anak-anak itu sudah sadar sedari kecil bahwa mereka adalah mujahid.

HAMAS didirikan oleh ulama kharismatik; Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah. Bersama beberapa aktivis Islam seperti Abdul Aziz Rantisi, Shalah Syahadah, Ibrahim Yazuri, dan Isa Nashshar HAMAS dibentuk pada 14 Desember 1987. Tujuannya jelas; membebaskan seluruh bumi Palestina dari penjajah Israel tanpa syarat dan mendirikan Daulah Islamiyah di Palestina.

Batalyon Izzuddin al-Qassam dibentuk pada 1991. Nama batalyon ini mengingatkan orang yang menaruh cinta dan minat pada Palestina pada sosok mujahid, ulama sunni Palestina yang syahid pada 1935 di Jenin, di masa penjajahan Perancis.|

Palestina memang tidak sendirian, akan tetapi zionis pun banyak pendukungnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagian mereka terang-terangan berada di pihak zionis, sebagian lagi sembunyi-sembunyi. Ada pula yang malu-malu kucing alias abu-abu. Gak jelas banget. Ucapan, tulisan, dan sikapnya seolah pro-Palestina, tapi condong pada zionis. Model yang seperti ini di Indonesia tidak sedikit, malas menyebutkannya.

Lalu, apa akar masalah konflik Palestina-Israel sampai hari ini?

Para pendukung zionis menyalahkan rakyat Palestina. Ini jelas. Rakyat Palestina ditembaki, mereka sebut sebagai tindakan membela diri karena rakyat Palestina memprovokasi mereka dengan kekerasan. Jadi, seolah mereka ingin mengatakan: “Wajar dong orang Palestina ditembak? Mereka yang mulai, sih.”

Padahal, perampasan tanah, pendudukan, pembantaian massal, blokade, penangkapan, rasialisme, dan pengusiran oleh zionis atas warga Palestina adalah akar masalah yang mereka bakar sejak 1947 sampai hari ini. Sekali lagi, ini akar masalahnya. Bukan intifadah, bukan ketapel, dan bukan lemparan batu anak-anak Palestina yang tidak berdosa. Tidak akan ada intifadah di bumi Palestina bila bangsa keturunan kera itu tidak semena-mena dan tahu caranya berterima kasih kepada muslim Palestina.

Fauzil Adhim adalah pendidik yang lembut. Akan tetapi, dia sangat gusar dalam narasinya tentang orang Yahudi Israel itu. “Dahulu monyet-monyet kudisan tanpa alas kaki dan tanpa baju ini datang dalam keadaan terusir. Tidak ada satu pun negeri di Eropa mau menerima kehadiran mereka. Satu-satunya negeri yang mau menerima mereka adalah Palestina dan menyambut hangat kehadiran mereka. Muslimin Palestina memperlakukan mereka layaknya manusia. Bukan sebagai monyet kudisan.”

Saya belum cek, apakah ini benar kalimat-kalimat Fauzhil Adhim atau bukan. Hanya saja, broadcast yang beredar di WA, jelas ada tercantum nama Adhim di akhir tulisan. Adhim seolah ingin menyaingi kegarangan Hitler dalam menilai orang-orang Yahudi yang tida tahu berterima kasih itu.

Hitler menyebut Yahudi itu sebagai “race-tuberculosis of the peoples”; ras yang menjadi sumber penyakit bagi ummat manusia seperti ganasnya tuberkolosis. Hitler memusnahkan mereka dari negerinya, tetapi ia menyisakan sebagian agar kelak dunia mengerti mengapa ia membinasakan mereka. Kata Hitler, “I would have killed all the Jews of the world, but I kept some to show the world why I killed them. (Aku akan membunuh seluruh orang Yahudi di muka bumi, tetapi aku menyisakan sebagian untuk menunjukkan mengapa aku membunuh mereka),” pungkas Adhim.|

Banyak cara untuk membela Palestina. Memang, tidak mesti harus datang ke sana sambil menenteng ketapel bergabung dengan anak-anak pemberani melempari tentara zionis dengan batu. Asalkan jangan bersikap abu-abu sudah merupakan empati, meskipun itu sekecil-kecilnya pembelaan.

Anak-anak Indonesia menyaksikan dari jauh wujud cinta Palestina. Akan tetapi, empati di antara mereka sangat dekat melihat aksi heroik anak-anak Palestina itu melalui sharing video tentang Al-Quds. Mereka punya cara sendiri khas anak SMP dalam menunjukkannya seolah mereka juga ada di sana turut menarik karet ketapel. 

Sharing video tentang Al-Quds menunjukkan mereka mau tahu sejarah dunia Islam. Ini cara elegan seorang anak usia SMP dalam menumbuhkan kesadaran sejarah dalam bingkai ukhuwwah islamiyyah sebagai pembelajaran kontekstual. Bahwa di mana pun, Muslimin terikat sebagai saudara seiman, terlepas dari apa pun ras, suku, warna kulit, bahasa, pro atau tidak pada khilafah, dan warna nasionalisme masing-masing. Semua perbedaan itu lebur dalam semangat yang sama; rasa memiliki Baitul Maqdis.

Masalah Palestina memang tidak sesederhana topik diskusi soal khilafah versus nasionalisme di meja debat yang kesimpulannya sulit dipertemukan. Karena itu, membela Palestina sambil menyindir hanya karena beda pandangan soal khilafah lewat meme, sebaiknya dihindari selama kontribusi pembelaan sendiri belum seujung kuku dibanding gigihnya khilafah terakhir membela Palestina. Alih-alih ingin menempatkan diri sebagai pro-Palestina lewat meme, yang timbul malah kesan sebaliknya.

Allahu a’lam bishawab.