Sudah aku bilang Ayah jangan sakit, malah sakit.
Ini hari ketiga saya demam. Lumayan berat rasanya. Obat hanya membantu mengatasi selama beberapa jam. Setelah itu, demam lagi.
Pada malam salat gerhana, rasa nyeri makin berat. Apa mau dikata, tugas tak tega saya batalkan karena waktu kedatangan si bisul tak mempertimbangkan jadwal gerhana yang mepet. Kasihan panitia, mau cari pengganti ke mana. Maka, tetap maju pantang mundur. Bismillah.
Akan tetapi, kondisi fit adalah kunci setiap pekerjaan sempurna dieksekusi. Kayaknya begitu. Inilah yang tidak bisa saya persembahkan. Saat takbirratulihram rekaat pertama sampai turun dari mimbar, saya sudah kesulitan mengkompromikan antara hafalan dan rasa nyeri. Konsentrasi pecah. Sempat dua kali bacaan saya dikoreksi jamaah.
Alhamdulillah, imam memang merasa tenang jika makmum di belakangnya oke. Semoga jamaah yang membetulkan bacaan saya tidak tahu, bahwa sejak berangkat ke masjid, saya sudah meringis-ringis. Cukuplah dia tahu bahwa saya sedang silap.
Hari ini, meski rasa nyeri makin hebat dan demam masih naik turun, sudah tampak "mata" si bisul. Selama "mata" itu belum enyah, pastilah nyeri dan demam belum akan mereda. "Awas lu!" Ancam saya.
Namun, tak kurang pula nikmat yang Allah beri. Pada beberapa jeda meringis-ringis dan banyak berbaring, Uwais sering menghibur. Celotehnya memaksa saya tersenyum. Bukan soal tutur katanya yang mendekati standar KBBI dan PUEBI untuk anak usia 5 tahun, tapi kadang kala, celotehnya agak-agak 'jail'.
"Sudah aku bilang Ayah jangan sakit, malah sakit."
Ini yang dikatakan Uwais pada hari pertama saya banyak berbaring. Bahasanya rapi dan berpola umumnya bahasa tutur yang baik.
"Semoga ayah cepat sembuh."
Ini kalimat keduanya sebelum anak ini kembali bermain.
"Hai, Ayah."
"Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut!"
Sapaan demikian saya nikmati hampir sepanjang waktu dan saat akan berangkat mengajar.
Kemarin sore, suara guruh lumayan sering selama beberapa menit. Hari mulai gelap. Bundanya belum pulang dari mencari keperluan. Uwais menanyakan ke mana bundanya pergi. Saat Bundanya tiba di rumah di saat guruh masih bersahutan, Uwais begitu senang. "Alhamdulillah." Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya dengan semringah saat melihat Bundanya datang. Saya yang sedang berbaring di sampingnya mengulangi hamdalahnya.
Siang ini Uwais memberi tahu apabila suatu saat saya mengalami gatal-gatal di lidah. Saya serius akan menyimak. Saya pikir, ini ilmu yang entah dia dapat dari mana. Palingan dari tokoh kesukaannya "Upin dan Ipin" pikir saya.
Sebelum anak ini menyampaikan tips mengatasi gatal-gatal itu, pikiran saya menerawang. Jawabannya, pastilah ada ramuan obat herbal yang harus diminum, pil, atau tablet resep dokter. Ternyata bukan. Tipsnya sungguh simpel dan murah.
Nyeri dan demam seperti hilang sesaat karena tips Uwais cukup membuat saya geli. Benarlah, anak-anak merupakan hiburan, perhiasan dan kesenangan, di samping ujian berat di dunia.
"Digaruk pake gigi." Katanya.
Duh, Uwais.
Jawaban ini membawa alam fiksi saya pada tokoh rekaan buku ringan yang kerjaanya mengajak pembacanya menertawai penganut SEPILIS. Tokoh yang jail, nyeleneh, kolot, dan kampungan, tapi otaknya encer.
Begitulah saya terhibur di tengah ujian. Semoga nyeri dan demam ini segera berlalu.|
Begitulah saya terhibur di tengah ujian. Semoga nyeri dan demam ini segera berlalu.|
0 Comments
Posting Komentar