Gambar diambil dari Grup Sejarah Betawi
https://www.facebook.com/
Benar dugaan saya, pasti ada alasan di balik waktu itu yang dipilih. Sebuah pertanyaan sederhana tentang tradisi mengaji di Ranting Muhammadiyah Pulo, mengapa ia dilaksanakan setiap malam Senin.
Sampai pada malam Senin pekan lalu–29 Agustus 2021/21 Muharram 1443 H–ia belum terjawab. Sepanjang itu, pertanyaan tetap menggantung selama hampir 20-an tahun saya menjadi bagian dari pengajian rutin malam Senin ini.
Bagi Anda, mungkin ini bukan persoalan menarik. Tapi bagi saya, ini bukan sekadar soal waktu malam Seninnya, tapi alasan di balik malam Senin itu dipilih. Sebab, saya percaya, orang-orang tua kita dahulu, selalu punya pertimbangan untuk meletakkan hal penting sebagai dasar filosofisnya. Ini alasan pertama, mengapa malam Senin itu harus dijelaskan.
Alasan berikutnya, tidak semua orang puas dengan jawaban: “emang dari sononya begitu”. Saya termasuk di antaranya. Bisa jadi, Anda juga demikian.
Mencukupkan diri dengan jawaban “emang dari sononya begitu”, memaksa nalar tetap tertidur. Orang tidak akan pernah mau tahu karena seakan dipaksa menerima tanpa perlu bersikap kritis. Apalagi jika jawaban: “emang dari sononya begitu” diiringi dengan penegasan; “yang kagak-kagak bae lu tanyain!” Selesailah perkara untuk sementara waktu.
Paradigma “emang dari sononya begitu” tidak terdengar pagi ini. Dan, malam Senin menjadi lebih terang dari biasanya.
Pager
Pasti Anda tahu soal pager. Ya, produk anyaman dari serat bambu. Pada dekade 90-an, masih ada satu dua orang Pulo yang memproduksi. Skalanya pun kecil. Sekarang, entah masih ada atau tidak orang Pulo yang menekuni usaha ini.
Pager itu istimewa. Ia punya ikatan emosional yang kuat dengan pengajian rutin malam Senin. Sebab, rata-rata, mata pencaharian orang-orang tua kita dahulu, generasi pertama Muhammadiyah Ranting Pulo berdagang pager. Dari hasil berdagang pager itu, keuangan persyarikatan dihimpun dari para anggota seperak demi seperak. Bolehlah dikatakan, saat itu, keuangan persyarikatan bisa berdenyut salah satunya karena pager.
Saya yang lahir di era tahun 70-an, masih menikmati masa-masa orang tua kita membuat pager. Sering nongkrongin mereka “ngeset”. Pernah juga mencoba belajar, tapi bukan serat bambu yang “dikeset”, malah tumit kaki kiri bagian dalam yang saya bacok. Untung saja yang kena bacok bukan mata kaki. Kapok.
“Ngeset” merupakan proses kedua pembuatan pager setelah sebelumnya bambu dipotong seukuran pager akan dianyam. Potongan bambu itu lalu dibelah menjadi bagian-bagian seukuran tiga jari. Belahan-belahan ini disebut “karagan”. Karagan itu kemudian dicacah bagian tengahnya–istilahnya disebut “nyacag”–dari ujung ke ujung. Dengan dicacah itu, karagan akan pipih dan lebih mudah saat dikeset.
Bendo, jengkok, dan talenan, adalah tiga piranti “ngeset”. Dengan tiga piranti itu, ruas-ruas karagan dikeset menjadi serat-serat bambu yang tipis dan lentur. Satu potong karagan bisa menghasilkan 5 sampai 8 lembar serat. Serat-serat itu kemudian dianyam.
“Nganam” adalah istilah proses menganyam serat-serat bambu menjadi pager atau bilik. Proses ini merupakan perpaduan dari keterampilan, kecerdasan, dan estetika. Jadi, “nganam” bukan proses biasa. Jika tidak terampil, tidak cerdas, dan tidak punya jiwa estetik, bisa saja ada posisi anyaman yang keliru, tidak bertemu pola siku dan ruas. Bila Anda pernah mendapatkan pengalaman “nganam” pager, Anda pasti paham.
Milir
Tradisi milir paling erat hubungannya dengan pengajian malam Senin. Milir merupakan kegiatan pemasaran produk pager. Orang-orang tua kita memikul lipatan-lipatan pager untuk dijual ke Jakarta berjalan kaki karena keterbatasan transportasi. Bayangkan, betapa harus bersusah-susah memikul berlembar-lembar pager dari Depok ke Jakarta. Syukur kalau cuaca sedang cerah, tapi kalau sedang hujan, bayangkan, betapa lebih berat milir itu harus dijalani. Karena itu, milir bukan perkara mudah, tapi pekerjaan yang mengucur keringat dan melelehkan air mata jika mental tidak sekuat baja.
Begitulah nasib milir. Demi mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga dan berderma untuk persyarikatan, orang tua memeras tenaga dan pikiran. Asalkan dapur rumah tangga tetap mengepul, asalkan bisa menyisihkan untuk kas perjuangan persyarikatan tetap ada, maka pundak dan kaki menjadi kendaraan “jihad milir” mereka.
Biasanya, milir dilakukan berombongan, seperti kafilah dagang suku Quraisy dahulu. Bisa lima sampai delapan orang berangkat bersama pergi milir. Kadang beberapa hari tidak pulang sampai lembar-lembar pager habis terjual. Kadang tetap harus pulang, meskipun pager belum laku dan tidak membawa pulang uang barang seperak.
H. Sabeni, salah seorang dari generasi awal persyarikatan pernah menuturkan pada saya. Beliau pernah mengalami pahitnya derita milir. Saat itu, bulan Ramadhan. Dan, inilah salah satu karakter generasi awal persyarikatan yang taat pada syari’at. Beliau tetap berpuasa seperti kawan-kawan yang lain berpuasa.
Satu hari, sampai maghrib, tak selembar pager pun yang laku dari 10 lembar pager yang beliau jajakan. Waktu itu, selembar pager seharga 8 perak. Tak ada seperak pun uang di kantong. Beliau tertidur di sebuah langgar karena kelelahan dengan lapar dan dahaga berpuasa.
Saat bedug maghrib berbunyi, beliau terbangun. Karena tidak ada bekal apa pun untuk berbuka, beliau segera ke kolam wudu. Dan, dengan air wudu itu pula, H. Sabeni minum berbuka. Setelah itu, beliau salat Magrib lalu memutuskan pulang dengan menitipkan pagernya pada seseorang yang tinggal di sekitar langgar.
Beberapa hari berikutnya, H. Sabeni datang untuk melanjutkan milir. Tanpa beliau duga, sesampainya di tempat pager-pager itu dititipkan, semua pagernya sudah terjual. Betapa girang beliau waktu itu. Diberinyalah 8 perak orang yang telah menjualkan pagernya itu. Dan orang itu luar biasa girangnya mendapatkan 8 perak pemberian H. Sabeni.
Pengajian Malam Selasa
Meskipun hidup susah, bergantung pada pager dan keberuntungan rezeki dari milir, generasi awal tidak meninggalkan kewajiban mengaji. Setiap malam Selasa, pengajian rutin digelar di masjid Al-Huda.
Dalam setiap pengajian, arisan menyertai sebagai sarana menghimpun dana persyarikatan dari sisihan uang arisan itu. Begitu berlangsung setiap minggu. Sedikit-demi sedikit uang terkumpul untuk keperluan tabligh dan membangun. Jangan tanya, betapa beratnya tantangan membesarkan Ranting Muhammadiyah saat itu. Kalau bukan karena tekad dan keyakinan pada jalan dakwah Muhammadiyah, tentu mereka akan lebih baik memilih fokus cari uang saja, tidak perlu menambah hidup yang memang sudah susah dengan memikul beban persyarikatan yang tidak memberi mereka gaji dan penghasilan.
Hari Minggu, adalah hari generasi awal persyarikatan berkumpul dengan keluarga sepulang milir. Jika rezeki sedang bagus, hari itu mereka membawa uang dan keuntungan yang cukup untuk menutupi kebutuhan hidup beberapa hari sampai nanti harus berangkat milir lagi.
Untuk mengantisipasi uang sudah menipis sampai malam Selasa, maka digeserlah pengajian menjadi malam Senin. Alasannya sangat logis, taktis, dan cerdas. Malam Senin, rata-rata mereka masih punya uang cukup untuk arisan dan beramal. Sementara jika pengajian tetap malam Selasa, besar kemungkinan separuh laba uang milir sudah dibelanjakan. Bahkan, bila keperluan sedang banyak dan mendesak, malam Selasa uang tinggal sedikit, atau bahkan mereka sudah tidak memegang uang sama sekali.
Begitulah kecerdikan para generasi awal persyarikatan Ranting Muhammadiyah Pulo dahulu. Mereka pandai menyiasati agar keperluan hidup rumah tangga tercukupi, dan amal untuk persyarikatan juga kebagian. Bagaimana dengan kita sekarang?
Pengajian rutin malam Senin adalah jariah para pendahulu. Kita adalah generasi sekarang, penyambung pahala itu terus mengalir untuk kita dan mereka, atau terputus sampai di sini. Para pendahulu yang suda tiada, terus akan menikmati fasilitas pahala itu karena peninggalan baiknya dilanjutkan generasi persyarikatan hari ini. Tapi, jika kita memilih jalan berhenti melanjutkan, maka selesai pula aliran pahala itu untuk mereka.
Siapa pun orang yang mencontohkan suatu sunnah (perbuatan) yang baik yang diamalkan oleh orang lain setelahnya, maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang lain yang telah melakukan perbuatan baik tersebut tanpa mengurangi pahala orang-orang yang telah melakukannya. Siapa orang yang mencontohkan suatu perbuatan yang jelek, maka maka ia mendapat dosa sebanyak dosa orang lain yang telah melakukan perbuatan jelek tersebut tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah melakukannya. (Hadits riwayat al-Darimi).Allaahu a’lam.
0 Comments
Posting Komentar