Halagh! Bukan! Itu halu tingkat dewa. Lagipula, pemerintah mana yang mau memberi saya subsidi sebesar itu? Pemerintah Majapahit? Saya lega karena kerja tim saya di perpustakaan yang menangani Pesta Literasi hampir selesai. Selebihnya, tinggal menyisir akhir naskah, acc, naik cetak, dan launching.
Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan 2020 memang sedikit telat. Apalagi, kalau bukan karena pandemi Covid-19 alasannya. Pandemi mengubah semua agenda tahunan program literasi perpustakaan yang saya inisiasi sejak 2018 itu.
Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan 2020 memang sedikit telat. Apalagi, kalau bukan karena pandemi Covid-19 alasannya. Pandemi mengubah semua agenda tahunan program literasi perpustakaan yang saya inisiasi sejak 2018 itu.
Akan tetapi, keterlambatan itu akan segera lunas terbayar dimulai dari suksesnya rangkaian acara sejak webinar penulisan, gelaran tantangan menulis, dan hasilnya, dua naskah novel terbaik tantangan menulis segera terbit. Tiga naskah terbaik tantangan menulis buku nonfiksi, akan segera menyusul proses layout.
Hari ini, dua naskah pracetak novel hasil Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan ada di tangan saya. Benar-benar melegakan.
Bina Satu Hari Bersama Ayah
Saat saya sodorkan padanya novel “Bina”, dengan sedikit ragu apakah dia bersedia meng-endorse, saya tidak terlalu berharap karena reputasinya itu. Akan tetapi, nama besar tidak membuat novelis ini tinggi hati. Dia bahkan bukan saja bersedia, melainkan juga memberi apresiasi lebih dari sekadar endorse; pujian dan motivasi.
Satu hal yang saya catat dari novelis ini. Dia tidak pernah mau menulis adegan tidak patut, meskipun novelnya berkisah tentang cinta, tentang asmara, layaknya novel-novel percintaan. Itulah dia, novelis dengan karakter yang sangat kuat.
Baca saja sekali lagi kalimat pertama endorse novelis ini: “Kehadiran novel Bina memberikan angin segar untuk para remaja, di tengah gempuran novel remaja yang sarat dengan kehidupan pergaulan bebas.” Ini bukan kalimat biasa; kalimat klise. Ini kalimat berkarakter yang lahir dari kebersihan worldview apa yang seharusnya ditulis seorang novelis.
Harus saya katakan, aura novel “Bina”, begitu hidup, seperti pasang surut kehidupan tokoh Bina dan Arsa dalam novel ini yang “malu-malu tapi rindu”. Apalagi, dihantarkan oleh endorsement novelis hebat.
Q Generations
Saya juga harus sepakat dengan novelis ini, bahwa membaca “Q Generations” bukan sekadar menghibur. Bagi saya, ada hal yang menonjok ulu hati, betapa tokoh utama “Q Generations” seperti ‘menyentil’ para orang tua yang kadang merasa kasihan untuk membangunkan anak-anak mereka untuk shalat Subuh karena alasan masih kecil. Sementara, tokoh utama novel ini sudah membimbing anak-anaknya yang baru usia anak SD dan PAUD menjadi hafiz dan hafizah, bahkan sudah membiasakan mereka yang sekecil itu untuk bangun shalat Tahajud. Bayangkan!
Lebih dari dua keistimewaan novel di atas, saya memang benar-benar beruntung bertemu dua novelis dengan karakter rendah hati, karya mereka yang luar biasa, dan akhirnya meng-endorse, serta persahabatan yang manis.
Sebagai pembelajar, sebagai yang pernah menulis novel, saya senang atas kehadiran novel “Bina” dan “Q Generations”. Senang, karena kedua novel ini masing-masing ditulis seorang guru, seperti saya. Sebagai editornya, ada sedikit sentuhan saya dalam novel ini. Namun, bukan itu poinnya, melainkan saya bisa terus belajar dari dua penulis sehebat novelis di atas, serta novelis “Bina” dan “Q Generations”.
Bukan Novel Biasa
Toni Morrison, seorang penulis Afrika-Amerika yang Romannya “Beloved” mengantarkannya memenangkan Pulitzer pada 1988, dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra pada 1993, tokoh pertama Afro-Amerika yang menerima penghargaan itu, pernah berkata: “If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.”
Kalau boleh saya ibaratkan, kata-kata Morrison itu dibuktikan oleh dua penulis “Bina” dan “Q Generations”. Boleh dikata, seakan Morrison memang berkata kepada mereka berdua, “Jika buku yang ingin Anda baca, tetapi belum ditulis, maka Anda harus menulisnya.”
Kedua penulis telah mendahului kita menulisnya, seperti yang dikatakan Morrison. Untuk membaca buku yang belum ditulis tentang lompatan tahun 2041 dengan alur mundur Pandemi Covid 19 seperti novel "Bina" dan cerita tentang anak PAUD dibangunkan untuk tahajud seperti dalam novel "Q Generations", maka saya dan Anda terlambat!
Hari ini, dua naskah pracetak novel hasil Pesta Literasi Perpustakaan Madrasah Pembangunan ada di tangan saya. Benar-benar melegakan.
Bina Satu Hari Bersama Ayah
Kehadiran novel Bina memberikan angin segar untuk para remaja, di tengah gempuran novel remaja yang sarat dengan kehidupan pergaulan bebas. Bina membuktikan bahwa masih banyak hal-hal positif dalam kehidupan remaja yang bisa dieksplorasi menjadi sebuah novel. Jalinan kasih antara Bina dengan sang Ayah tercipta dalam dialog-dialog yang natural dan berhasil dinikmati dengan asyik. Pada akhirnya novel Bina akan mengajak kita mencintai kedua orang tua kita tanpa syarat apa pun. Selamat menikmati irisan-irisan kisah yang menghanyutkan.Paragraf di atas milik seorang novelis hebat. Belakangan, karyanya diangkat ke layar lebar. Memang, dia benar-benar seorang novelis yang karyanya pantas difilmkan. Sebelumnya, novelis ini mengaku hampir ‘gantung pena’. Saya tak tahu alasan mengapa ia hendak mundur dari dunia menulis. Akan tetapi, niatnya itu urung. Menulis adalah dunianya.
Saat saya sodorkan padanya novel “Bina”, dengan sedikit ragu apakah dia bersedia meng-endorse, saya tidak terlalu berharap karena reputasinya itu. Akan tetapi, nama besar tidak membuat novelis ini tinggi hati. Dia bahkan bukan saja bersedia, melainkan juga memberi apresiasi lebih dari sekadar endorse; pujian dan motivasi.
Satu hal yang saya catat dari novelis ini. Dia tidak pernah mau menulis adegan tidak patut, meskipun novelnya berkisah tentang cinta, tentang asmara, layaknya novel-novel percintaan. Itulah dia, novelis dengan karakter yang sangat kuat.
Baca saja sekali lagi kalimat pertama endorse novelis ini: “Kehadiran novel Bina memberikan angin segar untuk para remaja, di tengah gempuran novel remaja yang sarat dengan kehidupan pergaulan bebas.” Ini bukan kalimat biasa; kalimat klise. Ini kalimat berkarakter yang lahir dari kebersihan worldview apa yang seharusnya ditulis seorang novelis.
Harus saya katakan, aura novel “Bina”, begitu hidup, seperti pasang surut kehidupan tokoh Bina dan Arsa dalam novel ini yang “malu-malu tapi rindu”. Apalagi, dihantarkan oleh endorsement novelis hebat.
Q Generations
Novel identik dengan bacaan yang menghibur di kala senggang. Karena memiliki nyawa seakan semua yang hadir di dalamnya terasa hidup. Sejak awal membaca novel Q-Generations–kisah perjuangan keluarga penghafal Quran, hati saya bilang "Wah ini bukan sekadar menghibur" tetapi banyak sekali muatan ilmu, semangat, dan perlu dibaca para orangtua agar bisa merasakan pergolakan emosi menghidupkan Al-Quran di hati anak anak. Salah satu kutipan dalam novel ini, yang berhasil membuat perenungan mendalam adalah, "Ingat, anda bukan sedang mengatasi masalah, anda sedang membesarkan seorang manusia." (Kittie Franz)Saya sendiri menikmati betul “Q-Generations” selama proses editing. Sama seperti kalimat endorsement dari novelis yang pernah mendapat undangan dari Kedutaan Besar Maroko untuk Indonesia. Novelis ini bisa jalan-jalan ke Rabat, ibukota Maroko dan beberapa kota di sana, negara di Afrika yang memiliki garis pantai yang sangat panjang di Samudera Atlantik ini. Sependek yang saya tahu, novelis ini mendapat penghargaan istimewa itu karena sebuah novelnya yang sangat edukatif, sarat akan nilai kebudayaan, religiusitas, hubungan diplomatik Indonesia–Maroko dan Hubb atau cinta yang memiliki integritas. Semoga saya tidak keliru.
Saya juga harus sepakat dengan novelis ini, bahwa membaca “Q Generations” bukan sekadar menghibur. Bagi saya, ada hal yang menonjok ulu hati, betapa tokoh utama “Q Generations” seperti ‘menyentil’ para orang tua yang kadang merasa kasihan untuk membangunkan anak-anak mereka untuk shalat Subuh karena alasan masih kecil. Sementara, tokoh utama novel ini sudah membimbing anak-anaknya yang baru usia anak SD dan PAUD menjadi hafiz dan hafizah, bahkan sudah membiasakan mereka yang sekecil itu untuk bangun shalat Tahajud. Bayangkan!
Lebih dari dua keistimewaan novel di atas, saya memang benar-benar beruntung bertemu dua novelis dengan karakter rendah hati, karya mereka yang luar biasa, dan akhirnya meng-endorse, serta persahabatan yang manis.
Sebagai pembelajar, sebagai yang pernah menulis novel, saya senang atas kehadiran novel “Bina” dan “Q Generations”. Senang, karena kedua novel ini masing-masing ditulis seorang guru, seperti saya. Sebagai editornya, ada sedikit sentuhan saya dalam novel ini. Namun, bukan itu poinnya, melainkan saya bisa terus belajar dari dua penulis sehebat novelis di atas, serta novelis “Bina” dan “Q Generations”.
Bukan Novel Biasa
Toni Morrison, seorang penulis Afrika-Amerika yang Romannya “Beloved” mengantarkannya memenangkan Pulitzer pada 1988, dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra pada 1993, tokoh pertama Afro-Amerika yang menerima penghargaan itu, pernah berkata: “If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.”
Kalau boleh saya ibaratkan, kata-kata Morrison itu dibuktikan oleh dua penulis “Bina” dan “Q Generations”. Boleh dikata, seakan Morrison memang berkata kepada mereka berdua, “Jika buku yang ingin Anda baca, tetapi belum ditulis, maka Anda harus menulisnya.”
Kedua penulis telah mendahului kita menulisnya, seperti yang dikatakan Morrison. Untuk membaca buku yang belum ditulis tentang lompatan tahun 2041 dengan alur mundur Pandemi Covid 19 seperti novel "Bina" dan cerita tentang anak PAUD dibangunkan untuk tahajud seperti dalam novel "Q Generations", maka saya dan Anda terlambat!
Maka, bolehlah saya katakan, dua novel ini bukan novel biasa. Tunggu sampai keduanya terbit, dan nikmatilah.[]
1 Comments
Mantap ...
BalasHapusPosting Komentar