Hikmah


Hikmah itu, barang milik orang Mukmin yang hilang. Kadang, ia ditemukan pada tempat yang tidak diduga. Maka, orang Mukmin seperti para pencari hikmah dan mengambilnya di mana saja ia menemukannya.

Di masjid, musala, panti asuhan, rumah sakit, bahkan di kuburan hikmah itu berserakan. Di lingkungan rumah dan tetangga kiri kanan, hikmah mudah ditemukan. Bahkan di mall, tempat kerja, di cafe, dan tempat-tempat hiburan, hikmah masih mungkin tergeletak. Hanya saja, sinyal buat menemukan hikmah itu berbeda-beda statusnya.

Di masjid dan musala, hikmah berwajah ketaatan dan ketundukkan mudah sekali ditemukan. Bisa jadi karena sinyal di sini sangat kuat (very strong).

Di panti asuhan, di rumah sakit atau kuburan, sinyal hikmah juga sangat kuat. Di tempat-tempat ini, hikmah dalam wujud qanaah, syukur, sabar, dan insyaf bahwa kapan saja orang bisa jatuh sakit dan mati kenceng dari ujung ke ujung.

Di lingkungan rumah dan tetangga kiri kanan, sinyal hikmah masih kuat (strong). Orang masih mikir-mikir karena masih ada anak, istri, dan tetangga kiri kanan. Masih menaruh rasa malu dilihat orang-orang dekat bila begini atau begitu, bila tidak begini atau tidak begitu.

Nah, umumnya, di mall, di tempat kerja, di cafe, dan tempat-tempat hiburan, sinyal hikmah mulai putus-putus, timbul tenggelam. Kadang statusnya lemah (week), kadang bisa sangat lemah (very week). Bisa jadi karena di tempat-tempat ini hikmah sulit masuk. Hikmah hampir tidak kebagian tempat di sini. Seakan-sakan tiket masuk sudah diborong oleh kesenangan duniawi.

Namun, tidak berarti orang bisa dikatakan tidak akan mendapat hikmah saat ia sedang ngopi-ngopi di cafe. Tidak juga. Semua kembali pada diri tiap orang.

Sinyal

Zaman sekarang, orang lebih merasa miskin bila kehilangan sinyal internet daripada kehilangan sinyal hikmah. Sedih bila Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya cuma muter-muter saja. Padahal belum tentu Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya membawa kebaikan. Yang sering terjadi, platform media sosial itu merampas waktu ibadah, menyisihkan tilawah, dan mengajak menunda-nunda kebaikan tanpa disadari.

Selain itu, sebagian besar media sosial hanya menjadi ajang kesenangan semu, leyeh-leyeh seperti tidak ada kerjaan, tabarruj selfie-selfie dengan mulut dimonyong-monyongin sambil nunjukin dua jari, sharing berita atau gambar yang tidak semua orang merasa nyaman, memperpanjang penyebaran berita bohong (hoaks), dan lain sebagainya.

Tidak sedikit yang memanfaatkan medial sosial sebagai sarana hiburan dan berita. Apa saja dijadikan hiburan dan diberitakan. Lagi i’tikaf, habis sembayang Magrib, lagi nyiapin buka puasa, ke salon dulu mao malam Jumat, ketiduran abis Tahajud Subuh ketinggalan jamaah, lagi madang, lagi suntuk, habis berantem, semuanya dibuat status dan diberitakan. Sering berita itu diiringi dengan joke atau gambar jenaka. Banyak yang terhibur. Banyak juga yang mengernyitkan dahi.

Seharusnya, kuota dan sinyal internet digunakan untuk maslahat (kebaikan). Seharusnya, pemegang gawai sedih apabila Whatsapp, Instagram, Facebook, atau YouTube-nya tidak bisa digunakan untuk kebaikan karena masalah sinyal atau kehabisan kuota. Seharusnya begitu. Sekali lagi, masih sedikit yang open mengemas media sosial untuk maslahat, meskipun kuotanya unlimited dan sinyalnya very strong.

Masih sedikit orang memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan dan mengunduh hikmah, menyambung silaturahim, menjadi media dakwah yang mencerahkan, serta menjadikannya sebagai karunia yang bisa menyelamatkan, baik keselamatan dunia dan akhirat. Saya percaya, Anda adalah orang ingin menjadi bagian yang sedikit ini.

Sinyal dan Kuota Alami


Tiap orang sudah dibekali kuota alami dan sinyal yang melekat di dalam diri sejak ia mewujud jadi manusia. Kuota itu adalah umur. Sinyalnya pengalaman hidup.

Ada orang yang kuotanya panjang, ada yang pendek. Ada yang sangat panjang dan baru habis di atas 90 tahun atau lebih. Ada yang kuotanya normal, antara 60 sampai 65 tahun. Ada juga yang sangat pendek, yang kuotanya sudah habis sejak masih di dalam kandungan.

Kuota itu selalu berhadapan dengan masalah sinyal. Saat lahir, sinyal hidup sangat lemah seperti lemahnya bayi, perlahan menguat karena memasuki fase kanak-kanak yang senang bermain, menjadi kuat karena memasuki usia remaja yang energik, lalu mencapai puncak kekuatan sinyal saat memasuki masa dewasa yang produktif, mulai menurun lagi menjadi lemah saat memasuki usia senja, lalu kembali sangat lemah saat sudah tua nyanyuk, beberapa di antaranya bahkan mengalami kepikunan. Kalau sudah pikun, ibarat sinyal hidup hanya tinggal satu garis.

Semua orang mengalami masalah sinyal sesuai jatah kuota masing-masing. Adakalanya sinyal begitu lemah, kuat, dan sangat kuat, lalu sinyal benar-benar mati mengikuti jatah kuota yang habis. Akan tetapi, sebelum jatah kuota hidup habis, sinyal sudah datang tiap hari. Sakit-sakitan, panca indera yang melemah, tenaga yang mulai loyo, atau karena sebab yang tidak harus menunggu tanda-tanda sinyal melemah seperti sinyal internet yang tiba-tiba hilang karena cuaca buruk atau mati listrik.

Umur dan pengalaman hidup adalah kuota dan sinyal paling berharga. Tinggal tiap orang bisa memanfaatkannya untuk kebaikan dunia akhirat atau tidak.

Uang dan Ketenangan

Kemarin, saya menemukan hikmah. Saat ganti oli mesin dan gardan selesai, hujan menahan saya dari segera pulang. Saat itulah barang hilang itu jatuh di hadapan, menetes seperti rinai hujan menjelang sore. Ya, di bengkel. Hikmah itu berkilauan di antara hitamnya sisa-sisa oli pemilik bengkel.

Sebelumnya, pemilik bengkel mengaku hidupnya tak tenang. Seperti ada yang hilang yang selalu dicari-cari, tapi sukar sekali ia temukan. Padahal, usaha bengkelnya tidak pernah sepi. Warung kecilnya laris manis dengan omzet 3 juta sehari. Akan tetapi, ia merasa hidupnya begini-begini saja. Lalu, apa yang hilang dari pemilik bengkel itu sebenarnya?

Rupanya, ia kehilangan Islamic Worldview (pandangan hidup Islami). Itulah barang hilang yang sekarang ia temukan. Ia menemukannya sejak mengaji, majlis di mana sinyal kebaikan sangat kuat.

Ia tetap membuka bengkel dan berdagang kecil-kecilan. Akan tetapi, hati dan pikirannya berubah. Ia merasakan ketenangan setelah mengaji dan mengerti bagaimana Islam mendidik orang cara mendapatkan uang yang benar. Ia berubah. Perubahan itu ia rasakan lebih kekal, lebih menghujam.

Warung kecilnya menjual obat-obatan. Sejak mengaji, obat-obatan yang mengandung alkohol diturunkan. Rokok juga diturunkan dari etalase. Sejak itu, warungnya bersih dari produk beralkohol dan rokok. Omzetnya menurun drastis. Akan tetapi, ketenangan hidupnya naik tajam. Tahulah ia, uang bukan segalanya.

Pola layanan bengkelnya pun berubah. Ia mulai menerapkan layanan baru. Ada maklumat di bengkelnya:
Pelanggan YTH. Barang Bekas Gantian Apapun Bisa dibawa Pulang dan Mintalah. Jika barang tersebut tidak diambil, berarti anda telah memberikan kepada kami. Hormat Kami. Harto Motor.
Begitu bunyi maklumat itu.

Pemilik bengkel itu menyadari, usaha bengkel adalah usaha rawan mengambil barang milik orang. Ia menjelaskan sambil menunjukkan sebuah baut. “Ini milik Bapak. Barang ini kecil. Tapi kalau saya ambil, berarti saya mengambil barang yang bukan hak saya.”

Saya termenung. Rupanya, pengumuman yang ia pasang semacam izin apabila pelanggan tidak membawa pulang barang-barang ganti servis atau oli bekas.

Katanya lagi, oli bekas itu ada nilainya. Satu liter dihargai Rp1000 dari pengepul. Saya bisa membawa pulang oli bekas karena itu milik saya. “Silakan dibawa pulang. Kalau tidak diminta dan tidak dibawa pulang, pengumuman itu sudah mewakili izin saya.” Katanya.

Keren, kata saya dalam hati.

Soal untung dagang, ia juga disiplin. Pemilik bengkel ini pantang berkata: “Yah, modalnya saja belum dapet” hanya untuk mendapatkan untung lebih sedikit dari tawaran pelanggan. Padahal harga tawaran pelanggan itu sudah ada selisih sebagai untung. “Itu gharar. Itu nipu. Bilang aja belom dapat.”

Ini juga keren.

Sebelum saya pamit pulang karena hujan sudah reda, pemilik bengkel itu mengaku sering takut mati. Ia takut saat malaikal maut datang menjemput, ia tidak sedang dalam ketaatan.

Ini lebih keren.

Saya meraba diri. Sadar bahwa kuota hidup makin menipis, sedangkan sinyal sudah dekat di kepala. Uban. Ya, uban di kepala ini. Semoga rambut putih ini seperti sabda Nabi shallalaahu alaihi wa sallam; “Barangsiapa memiliki sehelai uban di jalan Allah (dia muslim), maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang mau, silahkan dia hilangkan cahayanya (baginya di hari kiamat).” (HR. Ahmad)

Allahu a’lam|