Madang
Madang. Pasti Anda paham arti kata “madang”. Ya, di kampung saya, “madang” artinya, “makan”. Namun, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata ini jauh dari arti yang menunjuk pada aktivitas makan. Dalam kamus tersebut, “madang” berarti "tidak patuh terhadap adat (Dayak-Matan)".
Kata “madang”, ternyata juga dipakai untuk nama satu kecamatan di wilayah Bogor. Namanya kecamatan Babakan Madang. Bagaimana pula arti “Babakan Madang” itu, saya tidak tahu.
Dalam tulisan ini, “madang” yang saya maksud seperti yang dimengerti orang kampung saya; “makan”. Itu pun sebatas makan nasi, bukan makan yang lain. Di kampung saya, biarpun seseorang sudah makan semangkuk bakso, sepotong roti, atau sepiring ketoprak sekalipun, itu tidak disebut madang. Akan tetapi, meskipun hanya sepiring nasi dengan garam, itu sudah disebut "madang".
Madang itu kebutuhan hidup. Orang bisa tersiksa jika seharian tidak madang. Apalagi tidak madang berhari-hari, dia bisa mati. Karena itu, setiap orang rela bekerja untuk bisa madang. Apapun pekerjaan itu, asalkan ia pekerjaan halal, dilakoni asalkan dia bisa madang. Banyak juga orang yang khilaf. Dia tidak peduli pekerjaan itu halal atau haram, yang penting dia bisa madang. Pendek kata, madang itu penting.
Akan tetapi, bagi manusia, hidup bukan hanya untuk urusan madang atau urusan mengatasi lapar tok, melainkan madang sekadar untuk bertahan hidup. Jadi, madang bukan segala-galanya, meskipun segala aktivitas bisa loyo gara-gara belum madang.
Ngaji
Ngaji sama dengan belajar atau menuntut ilmu. Dalam agama, menuntut ilmu wajib hukumnya. Dalam hadits yang sangat populer riwayat Ibnu Majah dari jalur Anas bin Malik radhiyallahu anhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Thalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin”, bahwa “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Menuntut ilmu dalam riwayat di atas tidak disebut fardhu, melainkan faridhah. Kata faridhah mengikuti bentuk (wazan atau pola) fa'iilatun yang mengandung makna "mubalaghah", pengukuhan. Maka, kata faridhah maknanya bukan sekadar wajib, tapi ‘sangat wajib’. Sedangkan fardhu maknanya ‘hanya’ wajib.
Sekian banyak ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya ilmu dan kemuliaan bagi penuntutnya. Sekian banyak hadits memperkuat, betapa beruntungnya fadhilah menuntut ilmu.
Sedemikian penting kedudukan menuntut ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa kebutuhan manusia akan ilmu lebih besar daripada kebutuhan makanan dan minumannya. Makanan dan minuman hanya dibutuhkan manusia sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang napasnya. Maka, orang yang tidak memiliki halangan yang dapat dibenarkan meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, dia bisa dihukumi berdosa.
Rezeki
Madang itu menikmati rezeki pemberian Allah. Sementara, mengaji merupakan cara bersyukur atas rezeki madang yang Allah berikan. Maka, sudah sepantasnya, bila orang bisa madang tiga kali sehari, seharusnya dia bersyukur bisa mengaji sekali atau dua kali dalam seminggu. Tidaklah mengherankan, bila dahulu, orang-orang tua di kampung, mati-matian cari madang supaya bisa ngaji. Seminggu dagang pager, pulang bawa uang dan bisa madang, malam Seninnya ngaji. Begitu seterusnya.
Rezeki yang melimpah, termasuk bisa madang, jangan dikira sebatas ia sampai di perut. Tidak. Nanti di akhirat, apa yang dapat dia madang sepanjang hidup itu, akan dimintakan pertanggungjawabannya. Orang-orang yang madang itu akan ditanya, bagaimana caranya dia bisa madang. Apakah dengan cara halal atau haram. Setelah madang dan kenyang, apakah energi itu disalurkan untuk kebaikan atau kejahatan. Apakah sesudah madang dia ingat Allah dan memenuhi perintah-Nya, atau justru melupakan-Nya.
Apabila sebelum, sedang, dan sesudah madang seseorang mengingat Allah, bersyukur atas rezeki, maka selamatlah dia. Akan tetapi, jika setelah madang dan kenyang dia malah lupa kepada Allah, sama saja dia melupakan zat yang sudah memberinya madang.
Ada orang yang lupa, dia lebih takut tidak bisa madang sehari saja, tapi tidak takut meninggalkan kewajiban menuntut ilmu. Ini keliru. Ini sama saja berburuk sangka kepada Allah, Tuhan yang Maha Kaya yang memberi madang hampir lima miliar lebih manusia penduduk bumi. Padahal, hewan melata sekalipun sudah disediakan rezekinya agar dia bisa madang. Jadi, kalau ada makhluk yang paling elok penciptaannya seperti manusia takut tidak bisa madang karena pergi menuntut ilmu, bisa jadi Allah kabulkan dia tidak bisa madang tiap kali akan melakukan kebaikan yang berbenturan dengan urusan mencari madang. “Ana ‘inda zhanni ‘abdi bii”. Ngeri, sebab “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku,” demikian arti potongan hadits Qudsi di atas riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Berbaik sangkalah kepada Allah, Allah akan berikan kebaikan. Jangan sekali-kali berburuk sangka kepada Allah, bisa jadi Allah berikan keburukan sesuai persangkaan buruk itu.
Menuntut ilmu tidak akan menutup pintu rezeki. Apalagi sekadar rezeki untuk bisa madang. Yang sebenarnya, orang akan diberikan jalan kemudahan hidup, lebih dari sekadar bisa madang jika dia rajin menuntut ilmu. Imam Turmuzi ada meriwayatkan sebuah hadits, “Man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah.” Artinya, “siapa saja yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga.”
Surga adalah rezeki tertinggi. Orang yang menuntut ilmu, berhak mendapatkan fasilitas kemudahan sampai ke surga. Nanti di surga, dia bisa madang sepuasnya. Jadi, mengapa harus takut tidak madang bila pergi ngaji?
Wallahu a’lam bishawab.
Menuntut ilmu tidak akan menutup pintu rezeki. Apalagi sekadar rezeki untuk bisa madang. Yang sebenarnya, orang akan diberikan jalan kemudahan hidup, lebih dari sekadar bisa madang jika dia rajin menuntut ilmu. Imam Turmuzi ada meriwayatkan sebuah hadits, “Man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ilman sahhalallahu lahu thariqan ilal jannah.” Artinya, “siapa saja yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga.”
Surga adalah rezeki tertinggi. Orang yang menuntut ilmu, berhak mendapatkan fasilitas kemudahan sampai ke surga. Nanti di surga, dia bisa madang sepuasnya. Jadi, mengapa harus takut tidak madang bila pergi ngaji?
Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments
Posting Komentar