Generasi Baru
Saya termasuk generasi yang lahir pada dekade 70-an. Graeme Codrington dan Sue Grant-Marshall menyebutnya “Generasi X”, generasi yang lahir tahun 1965-1980. Generasi ini lahir pada tahun-tahun awal dari penggunaan PC (personal computer), video games, tv kabel, dan internet. Oke, istilah-istilah tidak terlalu penting dalam tulisan ini.
Bila Anda juga termasuk dalam generasi ini, berarti kita sama-sama menjalani masa-masa remaja di era 90-an dan memasuki masa dewasa di era tahun 2000. Dalam catatan saya, kita cenderung tidak mengalami masa-masa “krisis ukhuwah” yang tajam. Yang saya maksud dengan masa-masa “krisis ukhuwah”, adalah renggangnya persaudaraan sesama muslim karena persoalan khilafiyah, yaitu masa-masa sesama orang Islam bersitegang hanya karena ushalli dan tidak ushalli, qunut tidak qunut, 11 atau 23 rakaat Tarawih, dan sebagainya masalah khilafiyah yang sudah masyhur.
Generasi yang mengalami “krisis ukhuwah”, kebanyakan adalah generasi Baby Boomer yang lahir tahun 1946 – 1964, atau yang lahir lebih tua dari tahun itu. Generasi ini lahir setelah Perang Dunia II. Dianggap sebagai orang lama yang mempunyai pengalaman hidup. Salah satu pengalaman hidup itu “krisis ukhuwah” yang saya sebut. Maka, bersyukurlah kita semua sebagai generasi baru.
Generasi Paling Baru
Tidak dipungkiri, orang-orang tua kita pernah mengalami “krisis ukhuwah” yang tajam itu. Setajam apa, coba tanyakan bagi yang masih bersanding dengan mereka. Hanya saja, gali informasi dari mereka tentang krisis itu bukan dengan maksud membuka luka lama. Akan tetapi, jadikanlah ibrah atau pelajaran. Bahwa krisis itu sudah terjadi, biarlah dia menjadi catatan sejarah, tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi berusaha dihapus jejaknya. Orang bijak tidak takut pada sejarah masa lalu, sepahit apa pun. Orang bijak adalah orang yang mampu mengambil pelajaran sejarah pahit masa lalu untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Hari ini, anak-anak kita adalah mereka yang tergolong sebagai “Generasi Z”. Mereka anak-anak yang lahir tahun pada era 1995-2010. Tebak, sekarang mereka pada jenjang sekolah apa. Mereka disebut iGeneration, generasi net atau generasi internet. Mereka anak-anak yang pandai mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Banyak berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget.
Di bawah mereka, anak-anak “Generasi Alpha” yang lahir tahun 2011 ke atas. Generasi ini lahir sesudah "Generasi Z". Mereka generasi yang sangat terdidik karena masuk sekolah lebih awal dan banyak belajar.
Generasi mereka ini sering disebut generasi milenial, generasi paling baru. Mereka yang akan melanjutkan membangun peradaban.
Warisan Peradaban
Ciri generasi muslim hari ini memiliki cara pandang baru. Mereka sudah menyadari, mereka terikat dalam tali persaudaraan sebagai saudara seiman, apa pun latar belakangnya. Mereka memiliki karakter critical thinking, terbuka, rasional, dan berpandangan jauh ke depan.
Persoalan khilafiyah yang dahulu menjadi pangkal “krisis ukhuwah” orang-orang tua mereka karena tidak tepat dalam menyikapi persoalan tersebut, dipandang tidak layak lagi dipertahankan, apalagi menerima warisan krisis tersebut untuk dilestarikan. Mereka sudah sampai pada kesadaran baru, bahwa sudah bukan saatnya lagi masih memelihara sikap sinis, memelihara nostalgia hanya karena persoalan khilafiyah. Gelombang “krisis ukhuwah” sudah tamat bagi mereka, kecuali sisa-sisa dari mereka yang masih terbelakang dalam hal literasi peradaban maju.
Pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakhiri gelombang “krisis ukhuwah” itu adalah ormas-ormas Islam. Mereka punya tanggung jawab langsung membangun sikap menerima hakikat khilafiyah.
Menerima hakikat khilafiyah yang saya maksud yaitu memahami bahwa khilafiyah akan tetap ada dan terus terjadi. Selama sebagian berpegang pada dalil atau qaul yang diyakini sebagai landasan suatu amalan beribadah dikerjakan, sementara sebagian yang lain tidak meyakininya demikian, maka sepanjang itu pula khilafiyah itu akan hidup di tengah-tengah umat.
Jadi, jangan pernah berandai-andai qabliyah jumat itu akan ditinggalkan selama yang mengamalkan masih berpegang pada dalil dan qaul tentang amaliyah tersebut. Atau sebaliknya, juga tidak mungkin memaksa yang lain supaya mengerjakan qabliyah jumat sementara mereka tidak menjadikan dalil dan qaul yang sama sebagai landasannya. Begitu juga persoalan qunut dan tidak qunut Subuh, 11 atau 23 rakaat shalat Tarawih, ushalli atau tidak usahalli, dan lain-lain masalah khilafiyah yang sudah masyhur.
Maka, yang terpenting adalah saling memberi ruang dalam kesadaran beramal sesuai dalil yang dipegang masing-masing. Selama perbedaan itu baru menyentuh masalah furu’, maka tidak layak persaudaraan dikorbankan. Itu saja.
Pendidikan, dialog, dan literasi tentang khilafiyah menjadi kunci untuk sampai pada sikap menerima hakikat khilafiyah itu. Apabila proses pendidikan, dialog, dan literasi tentang khilafiyah tidak terbangun dengan baik, maka fanatisme akan selalu berada di atas ukhuwwah sampai kapanpun.
Sinergis
Pagi ini, Masjid Al Huda Ranting Muhammadiyah Pulo menerima kunjungan. Saya percaya, kunjungan itu bukan sekadar untuk menikmati nasi uduk dan semur jengkol yang sedap kreasi ibu-ibu Aisyiyah Ranting Pulo di akhir acara. Ada hal yang paling mendasar, dan dalam timbangan hemat saya, kunjungan itu sangat penting untuk membangun dan menguatkan literasi persaudaraan warga Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan MUI, DMI, dan pemerintah.
Forum ini sangat strategis untuk membangun kesepahaman bahwa tantangan dan bahaya umat Islam hari ini jauh lebih besar dari pada persoalan meributkan khilafiyah yang sudah basi itu. Tantangan umat Islam hari ini adalah penyakit sosial yang makin menggila (seks bebas, narkoba, miras, dan apatis atau sikap masa bodoh pada agama), pendangkalan akidah dalam wajah pemurtadan, paham Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama yang sudah difatwa MUI sebagai paham sesat, Syi’ah, dan problem bidang pendidikan dan ekonomi.
Yang mencengangkan dari temuan saya pada akhir-akhir ini, ternyata secara diam-diam, ada orang yang berusaha keras menyebarkan ajaran Syi’ah di Kampung Pulo. Upaya ini sudah cukup lama berjalan, lebih dari dua puluh tahun. Memang, hasilnya hampir tidak kelihatan. Boleh dikata, upaya penyebaran Syiah ini “gatot” alias gagal total. Namun, kegagalan itu bukan berarti upaya penyebaran itu harus dianggap sudah selesai atau berhenti. Belum tentu.
Ini pekerjaan rumah Muhammadiyah Ranting Pulo, NU, MUI, DMI, dan Pemerintah. Oleh karena itu, sinergitas gerakan antar elemen dakwah perlu dipikirkan, dirumuskan, dan dieksekusi. Maka, secara pribadi dan sebagai warga Muhammadiyah, saya sampaikan salam hormat kepada Ketua MUI Kecamatan Pancoran Mas, Ketua DMI Kecamatan Pancoran Mas, Pak Camat Kecamatan Pancoran Mas, dan Pak Lurah Rangkepan Jaya Lama atas silaturahim pagi ini.
Karena itu, silaturahim pada Subuh tadi sangat penting untuk merancang peta jalan dakwah bersama dalam menghadapi tantangan umat Islam akhir zaman di Pancoran Mas, Rangkepan Jaya Lama khususnya, dan lebih spesifik Kampung Pulo.
Subuh memang berat. Mata lebih lengket dari waktu lainnya. Semoga silaturahim Subuh mendatang, lebih semarak lagi. Mata sudah tidak lengket lagi. Masjid Al-Huda lebih makmur lagi. Aamiin.[]
1 Comments
Nasi uduk semur jengkolnya ada di setiap subuh atau pas ada tamu aja ustadz? ðŸ¤ðŸ˜‚
BalasHapusPosting Komentar