Tumis pepaya muda./Copyright cookpad.com/Christina Murni Utami
Saya aminkan saja candaan itu. Namun, seakan waktu jadi belenggu. Kaki tak jua melangkah. Hingga Mbak Upi berpulang, tumis pepaya muda racikan Mbak Upi itu tak akan bisa saya nikmati lagi selamanya.
Tumis pepaya sesedap itu, salah satunya hadir dari racikan dapur rumahnya. Dari bahan sederhana dan biasa-bisa, jadi istimewa. Komposisi rasa gurih, asin, manis, dan pedasnya pas sekali. Ngena betul di lidah.
Saya tak tahu, bagaimana cara Mbak Upi mengolahnya. Apa karena sudah jam makan siang dan perut sudah minta diisi? Bisa jadi. Adakah bumbu rahasia di baliknya? Mungkin. Apa karena gratis, ya? Nah, bisa jadi juga. Sudahlah lapar, dihidangkan gratis, ya, nikmat mana lagi yang harus didustakan?
Tapi, enggak, ah. Itu bukan kali pertama menikmati tumis pepaya muda. Berkali-kali, tak terhitung. Di samping praktis dan murah, tumis pepaya muda boleh dibilang sudah jadi menu familiar orang kampung. Jadi, Mbak Upi memang punya legacy tumis pepaya muda yang oke banget. Bisa jadi, keikhlasan Mbak Upi yang selalu menyiapkan tumis pepaya itu berlebih agar bisa dinikmati bareng teman-teman Pak Jabal di kantor dahulu saat masih membersamai. Makanan yang dihidangkan dengan ikhlas, maka, cita rasanya disukai Sang Pemberi Rezeki.
“Ibun”, begitu Mbak Upi biasa disapa. Oleh anak-anak, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Sesedih apa ditinggal Mbak Upi, mereka-mereka yang dekat pastilah yang merasakannya melebihi saya. Beruntung, masih dapat waktu untuk berdiri menshalatkan jenazah dan mengantarnya ke pemakaman. Itu kesempatan terakhir untuk memberi rasa hormat sebelum urusan kembali pada masing-masing di hadapan Sang Khalik.|
Hari itu, di sela duka, Pak Jabal; suami Mbak Upi masih bisa tersenyum. Saya yang agak kikuk karena terbawa suasana, semula menyangka Pak Jabal tak setegar itu. Ia memang selalu hangat saat kami bertemu, bercanda, melempar joke, lalu tawa kami sama-sama pecah. Namun, itu di saat perjumpaan suka.
“Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan” adalah topik candaan 16 tahun yang lalu milik kami, milik kami abadi. Sebab, tiap kali bertemu, “Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan”, tidak pernah ketinggalan. Dan, hanya kami yang paham maksudnya saat keywords itu kami sebut. Biarpun demikian, simpati merasakan berat perasaan ditinggal istri, saya mengerti meski seberapa remuk redamnya hanya Pak Jabal yang merasa. Akan tetapi, “Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan” masih pula ia singgung-singgung.
Saya harus katakan, persahabatan saya dengan Pak Jabal dan Mbak Upi adalah hubungan yang selalu berusaha merawat hal-hal yang baik. Sebagai manusia, saya dan beliau berdua pastilah mengerti bahwa tidak ada manusia sempurna. Mungkin saja Pak Jabal ada menyimpan kesan tak sedap tentang saya, begitu juga Mbak Upi. Beliau berdua juga pasti menyadari, ada hal yang tidak sedap yang saya simpan mengenai mereka. Itu manusiawi, manusiawi sekali. Akan tetapi, sisi-sisi manusiawi kami, lebih suka merawat dan mengenang yang baik-baik saja. Sebab dengan begitu, pasang surut persahabatan akan selalu membahagiakan.
Saya pun tidak tahu, apakah saya masuk list sahabat Pak Jabal dan Mbak Upi yang membahagiakannya atau tidak. Yang saya rasa, perkara tumis pepaya muda yang dipersembahkan Mbak Upi enam belas tahun lalu itu saja, sudah membahagiakan saya.
Kepergian Mbak Upi dan kepergian saudara kita yang lain sebenarnya sama. Kepergian mereka semua adalah pesan bagi kita yang masih hidup. Cepat atau lambat, antrian akan sampai waktunya pada diri setiap kita. Pintu loket alam barzakh terbuka 24 jam nonstop dan masing-masing kita sudah mengantongi nomor antrian. Hanya saja, jatuh pada antrian nomor berapa, tidak ada yang tahu. Bisa waktunya bersamaan, bisa tidak, di bumi mana kita masuk pintu barzakh, hari ini, besok, atau lusa, semuanya misteri.
Menunggu. Ya, menunggu. Cuma itu sekarang yang tersisa. Hanya saja, saat menunggu itu apakah setiap diri konsisten mencatat laba pahala jadi membengkak, atau malah menumpuk rugi menggunung. Tentu, setiap orang yang cerdas, akan tahu mana yang harus ia pilih.
Lazimnya, nomor antrian umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam itu akan sampai pada kisaran angka 60-an lebih sedikit. Jarang yang melebihi angka itu. Kalaupun ada, semoga itu tambahan keberkahan usia bagi yang mendapatkannya.
Akan tetapi, kita semua tahu, kematian keluar dari hukum angka hitungan manusia. Ia datang tidak memandang usia, tua atau masih muda, dan siap atau belum siap. Kematian itu datang sesukanya, sesuka takdir Yang Maha Pemberi Kehidupan menjatuhkan titah pada malaikal maut menjemput.
Benarlah jika kematian itu adalah pengajaran. Cukuplah ia sebagai pengingat; pengingat dari syirik kepada iman, dari lalai kepada istiqamah, dari salah menjadi salih, dari maksiat menjadi taat, dari dosa kepada taubat, dan dari semua hal yang buruk menuju pada kebaikan. Jika tidak, kerugian ditanggung masing-masing.
Kematian itu mengajarkan supaya manusia jangan terlambat seperti Namrud, Fir’aun, atau Abrahah karena singgasana, seperti Qarun karena harta, atau seperti Haman karena jabatan. Atau terlambat karena ketiganya ada di genggaman. Apalagi, harus terlambat tanpa pernah mencicipi manisnya singgasana, harta, atau jabatan berang sekejap saja.|
Sekecil apa pun kebaikan dihidangkan, mesti ada catatan timbangan beratnya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Ya Allah, jika tumis pepaya muda yang membahagiakan saya itu menjadi jalan kebahagiaan Mbak Upi di sana, berikan yang terbaik untuk Mbak Upi. Apatah lagi kebaikan-kebaikannya yang lebih besar dari itu. Maafkanlah segala khilaf dan kesalahannya. Allaahummaghfir lahaa warhamha wa ‘afiha wa’fu ‘anha.
Selamat jalan, Mbak. Maafkan saya yang tak sempat memenuhi janji.
0 Comments
Posting Komentar