Foto pribadi. Jepretan Samsung A 12
Kampung ini memang sudah berubah. Sawah-sawahnya yang dahulu menghampar, tak lagi menjadi lahan subur di mana tumbuh genjer dan gulma yang sedap bila ditumis. Genjer dan gulma itu, kapan saja bisa dipanen cuma-cuma kalau mau. Akan tetapi, genjer dan gulma itu ikut raib bersama ikan-ikan liar dari sungai kecil itu. Bukan karena tanah sawah-sawah itu sudah tidak subur lagi, bukan. Melainkan, sawah-sawahnya juga sudah ditimbun pasir, split, aspal, juga conblock.
Kampung ini memang sudah berubah. Burung-burung liar yang selalu datang pagi dan petang, terbang entah kemana. Tak tampak lagi blekok yang putih, mandar dan terkoakan yang kecoklatan, atau ayam-ayaman yang hitam legam, begitu juga emprit dan peking yang ramai saat padi mulai berbiji.
Kawanan burung itu tidak punya harapan lagi di kampung ini. Katak-katak muda tak lagi dijumpai paruh panjang si blekok. Melik dan ikan-ikan kecil tak bisa dipatuk mandar dan terkowakan. Begitu juga peking dan emprit. Kawanan burung mungil ini tak mendapatkan lagi biji padi barang sebulir.
Burung-burung itu ikut pergi, minggat sejauh sayapnya mengepak, lalu hinggap di ekosistem baru yang masih asri ribuan kilo jauhnya. Sebab, kampung ini tidak lagi menyediakan makanan buat tembolok mereka yang kempis. Lumbung ikan dan rumpun padi tak pernah muncul lagi di air dan sawahnya yang digusur bulldozer. Karena itulah mereka semua terbang dan tak sudi kembali lagi.
Kampung ini memang sudah berubah. Orang tak bisa lagi memanen karuk saat dahan-dahan durian berkembang lebat. Tak ada lagi pohon durian tumbuh, karena setiap jengkal tanah di kampung ini didahulukan buat membangun pondasi rumah anak cucu. Lalu, karuk tinggal kenangan belaka. Makanya, tak ada lagi ritual mencari karuk. Bahkan boleh jadi, dahulu, para pencari karuk, lebih rela ketinggalan shalat subuh di masjid atau musala kampung daripada ketinggalan memungut karuk.
Kampung ini memang sudah berubah. Tak ada lagi galah asin, kasti, benteng, atau petak umpet menjelang mengaji. Semua kegembiraan, autentik, alami, murah, menyehatkan, dan menyenangkan itu telah dilupakan. Permainan kampung itu hanya tinggal dikenang tanpa dimainkan lagi. Bukan karena orang-orang kampung lupa cara memainkannya, akan tetapi, semua permainan itu tenggelam dilibas zaman smartphone. Sedih, ia dilupakan karena mengaji tidak seramai dahulu. Yang lebih menyedihkan lagi, pengajiannya mati mendahului galah asin, kasti, benteng, dan petak umpet. Pengajian lekar turut surut, istilah "uang minyak" menjadi asing. Untunglah TPA-TPA subur seperti cendawan di musim hujan.
Begitulah. Memang kampung ini sudah berubah. Namun, biarlah ia berubah mengikuti zaman asalkan nilai-nilai luhur, persaudaraan, akhlak, dan tradisi baik tidak turut punah bersama masa lalu.
Dan, di pagi yang mendung ini saya berbinar setelah mengaji. Kaki melangkah melewati sisa-sisa sungai kecil, sawah, dan entah berapa bekas-bekas pokok pohon durian yang telah tumbang. Di sana, di sisa sawah yang tertimbun tanah urug, ada pohon perdu. Ia tumbuh subur di antara bongkahan batu. Buahnya tampak menyembul dari balik dahannya yang berbulu halus. Saya sungguh senang menjumpai marga terung-terungan ini tumbuh liar menyendiri. Berarti, kampung ini masih menyimpan kekayaan meskipun sedikit. Jika saja ia halal saya ambil, biarlah diunder saja untuk lalapan dengan sambal terasi nanti siang.
Ya, tekokak. Masih ada tekokak tumbuh di kampung ini. Melihatnya secara tidak sengaja, seperti menemukan barang yang hilang bertahun-tahun lamanya.
Ia mirip leunca. Hanya saja aroma tekokak lebih kuat. Teksturnya pun lebih keras. Namun, bagi penyuka lalapan, launca atau tekokak sama-sama nikmat bersanding nasi panas, ikan asin, sayur asem, dan tentu sambal terasi. Jangan lupa, minumnya teh aur panas tanpa gula. Rasanya, keindahan kampung ini seakan kembali seperti dahulu.
Begitulah, kadang hal kecil bisa membangkitkan nostalgia pada masa kalu kampung yang elok, seperti ingatan pada Kampung Pulo 35 tahun yang silam.
Untuk tekokak, alhamdulillah.
0 Comments
Posting Komentar