Foto credit diambil dari https://muhyidin.id/dan-apabila-aku-sakit-dialah-yang-menyembuhkan-aku/

ABANG saya berkelakar, menyebutnya penyakit “zaman prasejarah”. Bunda Alex menyebut penyakit yang tak dianggap oleh orang, “Tapi kita yang ngerasain setengah mati, Abdul.”

Itulah Abses, alias bisul.

Di Indonesia, ada lebih dari 150 ribu kasus bisul per tahun. Jadi, ini jenis infeksi yang umum terjadi di Indonesia. Artinya, ada banyak orang Indonesia rawan bisulan.

Abses ditandai dengan benjolan nyeri dan bernanah. Umumnya, orang Indonesia, apalagi orang kampung, sudah hafal di luar kepala soal ini. Orang kampung saya menyebut, dalam kandungan nanah itu ada matanya; mata bisul. Mata bisul ini adalah kunci, apabila ia sudah berhasil dikeluarkan setelah bisul ranum, selesai.

Umumnya, mata bisul dikeluarkan dengan cara memencet benjolan bisul. Ini fase puncak penderitaan orang bisulan setelah melawan efek nyeri dan demam. Benar kata Bunda Alex bila digabung dengan kelakar Abang saya, bahwa hanya orang yang sedang bisulan saja yang merasakan betapa berat penderitaan mereka melawan penyakit “zaman prasejarah” ini.

Karena itu please, ya. Jangan anggap remeh bisul.

Jangan Asal Pencet

Sejak Jumat di Minggu pertama Januari kemarin, saya merasakan gejala, namun belum menyadari sebagai gejala bisul sebab bukan pada tempat umumnya bisul memilih lokasi menetap. Gejala itu menyerang batang hidung bagian atas.

Mulanya ada warna sedikit gelap (merah ringan) pada hidung. Agak panas, nyeri ringan, dan area sekitar wajah menghangat. Karena sedang menangani urusan webinar Pesta Literasi Perpustakaan tempat saya bekerja dan revisi tiga buku karya guru, gejala itu tidak saya hiraukan. Barulah pada Ahad pagi saya sadar bahwa gejala yang saya rasakan dua hari kemarin itu sebagai gejala bisul. Ada titik nanah di sana.

“Yah, bisul lagi!” Begitu gumam saya.

Ya sudah, dirawat sajalah bisul itu.

Senin pagi demam mulai menyerang. Benjolan semakin membesar. Kantung mata sebelah kiri bengkak. Bentuk hidung selain bengkak, seperti bengkok. Nyerinya semakin berat.

Sementara, Senin Minggu kedua Januari, jadwal PTMT mulai berlaku. Karena satu dan lain hal, tetap masuk dan mengajar. Namun, pukul sebelas siang nyerah. Nyeri dan demam makin naik tensinya. Saya izin pamit pulang.

Pukul tiga sore, separuh area hidung ke atas semakin memerah. Mata bisul yang mencolok, bikin gregetan. Mulailah tergoda untuk mengakhiri penderitaan lebih cepat. Mata bisul harus segera dikeluarkan dengan cara dipencet.

Karena hidung saya agak tinggi, jadi, mata bisul itu seperti nantangin buat dipencet. Tapi, saya tertipu. Rupanya, mata bisul saya belum ranum, masih mentah. Meskipun sudah dipencet hingga berdarah, ia tidak bisa dikeluarkan. Lagi pula, memencet bisul di hidung, tidak sama dengan bisul di tempat lain. Memencet bisul di batang hidung, seperti memencet tiang telepon. Keras. Faktor ini pula yang menjadikan mata bisul susah keluar.

Dan, saya tidak menduga. Efek pencetan itu terasa sampai ke kepala bagian belakang. Dalam hitungan kira-kira satu menit, kepala bagian belakang nyeri sekali, agak panas, dan berat. Baru terasa reda setelah beberapa menit dibawa rebahan sambil terus menekan bagian tengkuk.

Penjelasan Dokter Bikin Bengong

Habis maghrib, si Bisul seperti ngamuk balas dendam karena dipencet. Ndilalah lagi, dokter yang biasa saya kunjungi full booked. Bertahan, tidak ingin beralih ke dokter lain, lebih baik sabar menunggu jadwal Selasa pagi. Malam Selasa itu, praktis tidak bisa tidur semalaman. Jangan tanya penderitaan saya kayak apa, rasanya seperti sakit pada “zaman prasejarah”.

Pukul tujuh di Selasa pagi, buru-buru ke dokter setelah grogi melihat nasib hidung di cermin. Bengkak, bengkok, kantung mata kiri makin besar dan menghalangi area pandang bila melirik ke bawah. Pada kondisi ini, saya enggan ambil gambarnya.

“Waduh! Kok, kayak Alien?!”

Beruntung dapat nomor antrean 23 setelah mendaftar antrean pukul 07.30. Jam praktik dokter dibuka pukul 08.00. Baru masuk diperiksa 10.35. Berangkat jam tujuh pagi, baru bisa pulang 10.55 setelah urusan menunggu obat selesai.

Saat diperiksa itulah yang bikin kalut.

“Pak Mutaqin, saya pesan, ya. Jangan sekali-kali dipencet.”

Degh!

Udah saya pencet dok, kemarin. Kata saya dalam hati.

“Ini area berbahaya. Wilayah segitiga kematian yang sangat sensitif di wajah. Areanya membentang dari sudut mulut hingga jembatan hidung. Jika ditarik garis lurus, akan membentuk segitiga. Disebutlah ia area segitiga berbahaya.”

Glek!

Sang dokter melanjutkan. Pembuluh darah yang ada di daerah "segitiga berbahaya" itu mengarah ke sinus kavernosus yang terletak di bagian otak.

"Jadi, jika ada infeksi kulit yang serius di daerah ini karena efek dipencet, kuman bisa menyebar ke otak. Secara teoritis, hal itu bisa berakibat fatal."

Degh! Glek! Allahu Akbar!

Mereda

Benar kata The New Master of Bookcreator di tempat saya mengajar, betapa yang kecil itu (baca: bisul) mampu menaklukan aktivitas dalam sekejap setelah sebelumnya sempat heran, “Subhanallaah .. bisul ampe ke dokter?” sambil menyarankan mengoles minyak butbut. Memang, efek butbut sangat bagus. Minyak ini mampu membuat bisul sangat menarik. Ia tampak mengkilap dan berkilau lalu kempes. Wkwkwkwkwwk.

Kata Pak Firman, penyakit apa pun harus diberi sugesti positif: “Sembuh! Sembuh! Sembuh! Fueh!” Begitulah, saya praktikkan juga saran Murid Si Jali ini meskipun sambil nahan geli.

Qadarullah. Mulai pukul 11.12 sampai tulisan ini belum rampung, nanah keluar dengan sendirinya tanpa bisul harus dipencet. Empat macam obat resep dokter bekerja efektif mengeluarkan nanah. Rupanya, efek obat yang saya minum diizinkan Yang Maha Menyembuhkan sedang bekerja sesuai tupoksinya.

Alhamdulillah.

Maha Benar Allah Dengan Segala Firmannya, “Wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin."

Oh iya, hati-hati juga yang suka mencetin komedo di hidung. Efeknya ternyata tidak sesenang hati bisa ngeluarin butiran kacang kecil itu dari sana. 

Salam sehat selalu.