Foto Credit: islami.co

Satu kali, datang seorang wali. Wajahnya keruh. Matanya sayu. Dahinya yang lengar mengembun. Tampak sekali dia gelisah. Bukan saja dari sorot matanya, tapi juga dari dahinya itu.

Dahinya yang mengembun, ada pula membawa manfaat. Karena bias cahaya lampu pijar di ruang tengah rumah kami cukup terang, dahinya berkilat-kilat. Wajahnya jadi sedikit cerah meski tidak bisa menutup aura bahwa dia seperti sedang bingung.

“Tampaknya, ada yang penting, Pak?”

Bapak membuka bicara. Saya yang duduk bersebelahan dengan Bapak, menyilakan dia menyesap teh hangat di meja. Barangkali dia bisa sedikit lebih rileks.

“Iya. Saya mau minta pandangan.”

Berceritalah dia. Mula-mula pelan, seperti malu dan masih ragu. Direguknya teh hangat yang dihidangkan Ibu sekali lagi. Setelah itu, dia lancar bercerita. Cerita perihal anak gadisnya.

Bapak dan saya terkejut sesaat dia menyudahi kisah yang dibawa dari rumah tangganya. Entah mengapa, Bapak menyilakan saya yang menanggapi masalah yang dibentangkan sang wali di hadapan kami.

Saya tepekur, lalu sedikit mengurai jawaban persoalan yang ditanyakan. Tidak lama, hanya sepuluh sampai lima belas menit kira-kira. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Entah karena mengerti atau anggukan apa, saya tidak tahu. Saya beranjak mengambil beberapa buku.

“Jadi, begitu, Pak. Agama kita tidak mengizinkan. Ini, saya bawakan beberapa buku. Silakan bapak baca baik-baik. Minta juga putri bapak membacanya. Isinya lengkap untuk menjawab tuntas persoalan yang sedang bapak hadapi.”

Beberapa saat kemudian, wali dari seorang gadis yang sangat saya kenal itu pamit pulang. Sebelum dia melangkah pergi, sekali lagi saya katakan, bahwa ulama sudah sepakat soal keharaman perkara yang dia meminta pandangan malam itu.

Namun, belakangan saya dengar, perkawinan sang putri tetap dilangsungkan. Rasanya, pandangan yang dia minta dan buku-buku yang saya pinjamkan tidak berarti. Tapi, biarlah. Itu pilihannya sendiri.|


Malam ini, mulai pukul 19.30, MPP ICMI menggelar webinar dengan topik "Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam". Ada tiga pembicara kunci; Neng Djubaedah SH, MH, Ph.D (Ahli Hukum Islam UI), Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya (Dewan Pakar, Ahli Gender), dan Dr. Dra. Hj. Aan Rohanah, LC, MA (Ketum Sahabat Peradaban Bangsa). Meski terlambat bergabung lebih dari tiga puluh menit, saya masih bisa mengikuti paparan tiga pembicara kunci di atas.

Dari tiga pembicara, bisa saya simpulkan sikap ICMI memandang pernikahan beda agama; haram. Beberapa pertanyaan dijawab dengan elaborasi yang memperkaya dan memperkuat pandangan akan keharaman pernikahan beda agama ini.

Sayang sekali pertanyaan saya tidak sempat ditanggapi. Saya ingin tahu sikap ICMI tentang paham liberal. Saya berkesimpulan, para pengasong paham liberal lah biang keladi dari terus menguatnya arus pernikahan beda agama ini dari waktu ke waktu.

Jauh sebelum kasus pernikahan Staf Khusus RI 1 Ayu Kartika Dewi dengan Gerald Bastian yang menikah secara Islam dan secara Katolik di Gereja Katedral, Jakarta pada 18 Maret 2022 kemarin, dan pernikahan seorang wanita berjilbab di gereja yang beritanya sempat viral beberapa hari belakangan, para pengasong liberalisme bukan saja telah membuka jalan kebolehan pernikahan model ini, melainkan sudah menempatkan diri seperti “penghulu” pernikahan semacam itu.

Sebut saja Zainun Kamal. Pada Minggu 28 November 2004 silam, Zainun membimbing pernikahan seorang Muslimah; Suri Anggreni alias Fithri dengan lelaki Nasrani; Alfin Siagian, di Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Zainun juga tercatat sebagai yang menikahkan mentalis Deddy Corbuzier yang waktu itu masih Katolik dengan Kalina Ocktaranny yang seorang muslimah pada Kamis 24 Februari 2005.

Pada pernikahan Ahmad Nurcholish–Deputy Director Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP)–dengan Ang Mei Yong (Konghucu) pada 8 Juni 2003, penghulunya adalah Kautsar Azhari Noer. Saksi pernikahannya, Ulil Abshar Abdalla.

Tentu, bagi yang sering mengikuti wacana Islam Liberal, siapa Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noer, dan Ulil Abshar Abdalla sudah terang benderang. Media memberi tahu siapa ketiganya dari A sampai Z dalam wacana liberalisme di Indonesia.

Buku Fiqih Lintas Agama, rujukan pernikahan beda agama produk pemikiran liberal yang digagas Paramadina telah lebih dulu disiapkan jauh sebelumnya. Zuhairi Misrawi, salah seorang penulis buku ini bahkan memandang letak keberhasilan buku itu bukan pada cetak ulangnya, melainkan pada dilaksanakannya isi buku ini, di antaranya dengan mewadahi kawin beda agama.

Ada pula naskah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang digawangi Musdah Mulia. Pada pasal 13 CLD KHI disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Perkawinan yang dilakukan di luar asas sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum. Lalu, Pasal 54 CLD KHI dijelaskan bahwa pelaksanaan perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan.

Jika iseng diselisik produk hukum pasal 13 dan 54 model CLD KHI ini, maka poligami harus dinyatakan batal demi hukum sebab tidak sesuai dengan asas perkawinan yang monogami, padahal poligami bukanlah perkara yang dilarang atau diharamkan. Sedangkan larangan pernikahan beda agama yang jelas disebut dalam Alquran dinafikan begitu saja dengan memperbolehkan perkawinan orang Islam dengan bukan Islam. Jungkir balik logika fikih produk pemikiran liberal seperti telanjang bulat.

Begitulah.|

Dan, saya pun sedikit bersedih mengenangkan momen kedatangan wali buat meminta pandangan beberapa tahun silam yang saya bawakan dalam tulisan ini. Pada akhirnya, sang wali tidak berdaya. Saya dengar, putrinya tetap melangsungkan pernikahannya di gereja.

Kasus seperti ini banyak terjadi. Dengan berbagai alasan dan dalih, atas nama HAM, dan atas nama universalisme kemanusiaan serta atas nama cinta yang katanya tidak boleh dihalang-halangi. Katanya, bahkan dengan bahasa vulgar, Tuhan tidak berhak mengatur urusan kelamin manusia atas nama agama.

Kasus-kasus pernikahan seperti yang dibahas dalam webinar malam ini memang sering luput dari pandangan khalayak. Saking banyaknya, andaikata ada sebuah gudang buat menyimpan kasus-kasus serupa, bisa jadi, ia sudah tidak muat lagi buat menampung. Belum lagi kasus-kasus pernikahan sesama jenis, makin ramai saja dekonstruksi hukum perkawinan yang dipelopori paham kebebasan dari hari ke hari.

Maka, bagi generasi lurus yang tersisa, tetaplah memegang prinsip. Cinta memang berharga, tapi cinta bukan segalanya. Iman bisa jadi kau anggap biasa, tapi sesungguhnya, iman lah yang segala-galanya.

Bersahabat beda agama, mengapa tidak?
Menikah beda agama, nanti dulu!

Para wali, mengertilah.
Para gadis dan jejaka, mengertilah.|