Panggung Closing Ceremony Masterpiece 4 dan LDP. Foro Credit: Abdul
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Berkemul dengan pembelajaran jarak jauh, meeting class online, dan bertungkus lumus dalam pembelajaran digital, tengkuk sudah terasa kaku.
Mata sudah kelelahan memandangi layar zoom. Bak lampu tempel, cornea seperti tabung bahan bakar lampu yang minyaknya sudah tiris, cahaya di ujung sumbunya sudah pula redup. Andaikata embusan angin kecil saja melintas di ujung sumbu, padamlah apinya saat itu juga.
Dunia sekolah yang penuh warna, hampir hilang warna-warni tabiatnya yang gemuruh di saat jam istirahat tiba. Indonesia Raya seakan tiarap tiap Senin pagi. Dan lagi, kelas-kelas menjadi dingin, angker, seakan rumah tua yang tak berpenghuni.
Suara hati sudah gaduh berbisik-bisik, Corona, please, kami sudah lelah.[]
Di penghujung Sya'ban 1443 H, hari ini, Kamis 31 Maret 2022, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, Masterpiece 4, Closing Ceremony, dan Tarhib Ramadhan MTs Pembangunan UIN Jakarta seperti jawaban bisikan hati yang gaduh itu. Seakan, gelaran ini peluruh otot tengkuk yang kaku dan tetes mata yang makin dalam menyipit. Warna sekolah kembali mencorong meskipun belum sepenuhnya hidup. Namun, hati sudah berbunga-bunga karena sukses Masterpiece, Latihan Dasar Penelitian (LDP) yang keren, dan tamu agung yang akan segera tiba: Ramadhan Kariim 1443 H.
Acara ceremony dipandu dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia) yang dibawakan peserta didik kelas 7 dan 8. Amboi, pronunciation, fasih, dan lugas yang nyaris tanpa cela melompat dari lidah ketiganya seperti gelombang kejut yang membelalakkan mata karena lama tidak bertemu. Keren. Tahu-tahu, sedemikian majunya ketiga anak itu membawakan acara macam acara di tivi-tivi yang gemerlap. Sementara, ada ruang kosong selama dua setengah tahun yang tidak bisa dijangkau karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang benar-benar memisah jarak. Relasi guru–murid hampir-hampir saja sudah menjadi rasa sayur yang kurang garam, hambar.
Masterpiece semacam terjemahan dari simbol-simbol kecerdasan ganda, bahwa setiap peserta didik memiliki salah satu kecerdasan yang paling dominan di antara kecerdasan Spasial – Visual, Linguistik, Interpersonal, Intrapersonal, Musikal, Naturalis, Kinestetik, dan Logis – Matematis yang mereka miliki. Maka tumpah ruah minat peserta didik dalam pilihan lomba yang mereka sukai. Juara atau tidak juara tidak penting, asalkan bakat, minat, dan kecenderungan terpuaskan. 19 mata lomba Masterpiece penuh sesak peminat.
Masterpiece kali ini bukan saja mengemas berbagai cabang lomba yang melahirkan para juara. Terselip di sana even LDP dengan tagline-nya “Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematic”. Terselip, karena LDP bukan ajang lomba, tapi ajang praktik literasi sains ilmiah yang diselipkan. Meskipun begitu, output LDP sangat “menggemaskan”. Bagaimana tidak “menggemaskan”, produk LDP itu manis sekali, semanis hasil gula dari bahan singkong yang dihasilkan dari riset sederhana peserta didik setingkat Madrasah Tsanawiyah. Lidah saya menari-nari saat mencicip manisnya gula dari bahan singkong itu. Beneran, manis semanis perasan tebu yang segar dan autentik.[]
Ahmad Sandy Rizany (paling kiri, salah satu guru penggagas LDP), Dani Wahyudi (Pustaka MP), dan Abdul (Kepala UPT. Pepustakaan di depan stand LDP. Foro Credit: Ahmad Rudianto.
Pada mula pertama rencana LDP mendengung sampai ke dinding perpustakaan, rak-rak buku “bersorak”, buku-bukunya “bertasbih”, dan penghuninya semringah. Demikianlah, sebab perpustakaan dan penelitian seperti saudara kembar. Maka, saat dengungnya sampai ke perpustakaan, ia seperti pertemuan saudara kembar yang lama berpisah karena takdir memisahkan mereka. Dua saudara kembar itu berpelukan. Berpalun-palun, tanpa bicara lagi, hanya isak yang tertahan. Air mata keduanya tumpah berlimbak-limbak. Tentu karena bahagia, bukan sedih karena kecewa.
Apatah lagi, katanya hasil-hasil LDP akan diparagrafkan. Menjadi buku karya ilmiah meskipun baru tahap pemula. Tidak mengapa, bukankah semua keberhasilan besar orang-orang besar berawal dari langkah kecil dan dipandang sebelah mata karena pemula?
Menuliskan proses penelitian menjadi karya ilmiah bukan saja penting, tapi sebuah keharusan bagi komunitas yang bergelut pada lembaga pendidikan. Memang, tidak semua ilmuwan besar lahir dari lembaga pendidikan formal. Thomas Alfa Edison konon dikeluarkan dari sekolahnya. Bukan karena Edison bodoh, melainkan karena Edison menderita disleksia yang kesulitan beradaptasi dengan situasi belajar yang statis. Thomas tahu kalo di sekolah pun dia dijuluki addled oleh gurunya. Sebuah sebutan yang kasar lagi tak berbudi.
Madrasah ini bukan lembaga sekejam pengalaman kelam Edison. Madrasah ini sangat adaptif, kooperatif, punya visi insight dalam mendorong tradisi ilmiah. Apalagi tagline Akhlak, Bahasa, dan Sains masih belum diturunkan dari statuta, brosur, banner, dan running text di pintu gerbang. Tentulah tagline itu tidak berani dilangkahi, apalagi dikhianati.
Semestinya, dan harus semestinya, civitas akademikanya pun lebih berapi-api, lebih bergairah, dan lebih bersukacita setiap ada gerakan literasi ilmiah. Bila perlu, isi brankas dari saving kegiatan yang tidak sedikit itu keluar sendiri tanpa perlu anak kuncinya diputar hingga brankas menganga untuk mendukung finansial literasi ilmiah yang memang tidak murah.[]
Sebagian dari titik lemah dari menulis, baik menulis karya ilmiah maupun nonilmiah adalah kesabaran berlatih dan keterbatasan pemahaman teknis menulis. Ada banyak orang punya potensi menulis, bahan melimpah untuk dituliskan, dan waktu luang yang memadai. Namun, dia tidak punya cukup sabar menjalani proses menulis yang memang kompleks. Satu-satunya obat buat mengatasi penyakit ini cuma satu, yakni mulai menulis.
Soal teknis menulis, masalah yang cukup penting adalah soal kutip mengutip. Untuk karya ilmiah, persoalan ini bukan saja penting, tapi riskan. Riskan apabila penulis banyak mengutip, namun tidak cakap menguasai teknik mengutip. Salah-salah, dia bisa terjebak pada plagiarism. Sedangkan plagiarism merupakan cacat ilmiah, baik dari sisi konten, maupun etika penulisan karya ilmiah yang dilanggar.
LDP seperti persemaian untuk menumbuhkan kesadaran literasi ilmiah sejak dini. Penggagasnya memberi ruang bagi saya sekadar berbagi teknik seni mengutip meskipun hanya sekejap. Namun yang sekejap itu, bagi saya terasa bermakna berhari-hari. Sudah barang tentu apabila nanti karya ilmiah itu benar-benar menjadi rangkaian huruf, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan narasi dia akan menjadi khazanah ilmiah yang berumur panjang. Ini keren.
Kepala MTs. Pembangunan, Momon Mujiburrahman, MA mengunjungi stand LDP. Foro Credit: Ahmad Rudianto.
Satu hal lagi. Bila peserta didik MTs. sudah dibiasakan dengan tradisi menulis ilmiah dengan didahului kegitan riset, pembekalan-pembekalan yang memadai seperti teknik mengutip yang benar, ini akan sangat bagus untuk mendukung visi MA Pembangunan dengan tagline-nya sebagai Madrasah Riset bila nanti peserta didik MTs. Pembangunan akan melanjutkan ke MA Pembangunan. Jadi, ketika mereka melangkah ke MA Pembangunan, mereka sudah membawa tradisi menulis ilmiah yang kuat. Keren lagi, kan?
Baiklah. Pelipur lara sudah dinikmati hari ini. Selamat para pimpinan MTs. Pembangunan UIN Jakarta, selamat panitia Masterpiece 4 dan penggagas LDP, selamat para peserta dan para juara.[]
0 Comments
Posting Komentar