Foto Credit: www.kibrispdr.org

Bercanda

“Ini, enggak salah?”

Begitu hati saya bergumam. Saya ulang lagi membaca pesan WA yang dikirim Ketua KMMD (Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok) sebelas hari yang lalu. Saya sangka, pesan itu salah alamat. Substansi pesan itu terlalu tinggi. Itu bukan “maqom” saya. Biar orang lain saja yang mengisi pos-pos yang dibutuhkan itu.

Hanya saja, karena sedang diburu waktu menyiapkan satu naskah buku yang harus rampung di awal April, apalagi tugas-tugas di madrasah dan perpustakaan sudah mengantre untuk diselesaikan, jadilah pesan penting itu seolah menguap. Seperti uap dari secangkir kopi panas yang disapu angin, lenyap naik ke atmosfer tak terbaca lagi.

Rupanya, pesan WA sebelas hari yang lalu itu ternyata serius. Tadi malam sekitar pukul 20.46, masuk lagi pesan yang jumbuh dengan pesan pertama itu. Kali ini, bahkan pesan disertai undangan. Berarti, Kiai Irfan (Ketua KMMD) tidak sedang bercanda. Ini beneran.

Cendekiawan

Dimasukan dalam list 10 kader terbaik Muhammadiyah yang dititipkan untuk masuk dalam barisan cendekiawan, kening saya mengembun. Kader yang sembilan itu, tentulah amat pantas disebut cendekiawan, lha, saya?

Badan pun terasa meriang bak kebanyakan “makan angin”.

Cendekiawan itu domainnya orang cerdik pandai; orang intelek; orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Begitulah definisi cendekiawan yang saya tahu dari membaca KBBI.

Dalam makna yang lebih luas, seorang cendekiawan adalah pemikir. Seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam pencarian kebenaran lalu sungguh-sungguh menegakkan kebenaran. Yang lebih penting ia berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun menghadapi tekanan dan ancaman.

Berat ini, berat.

Samar-samar, melintas wibawa wajah Ayahanda Idrus Yahya. Ia seperti sengaja hadir di benak dan “menjewer” sayang saya sambil berkata :”Nggak boleh begitu. Inferior bukan karakter kader Muhammadiyah.”

Dan saya menelan ludah.

Setelah bayangan wajah Ayahanda menghilang, menyusul bayangan “Kiai Dahlan Muda”. Janggutnya yang lebat membuat iri janggut saya yang meranggas. “Mata pena sudah ditorehkan. Jangan begini-begitu!” Ucap “Kiai Dahlan Muda” itu masih dalam benak saya.

“Kiai Dahlan Muda” itu adalah orang yang bersama saya merasakan Maha Sayang-nya Allah pada kami berdua saat kami terlentang di badan mobil yang terbalik saat hendak menjemput anak dari pondoknya di Bantul. Mata “Kiai Dahlan Muda” itu seakan berbicara menghipnotik. Lalu, ada keberanian yang menyeruak. Dan saya sudahi lamunan dengan merespons, “Njih, Kiai.”

KaderMU ICMI Depok

Kelahiran ICMI bukanlah proses instant. Jauh sebelumnya, pada 1964 sudah dibentuk Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) yang dimotori oleh 100 orang sarjana Muslim. Banyak yang menganggap, Persami sebagai embrio ICMI di belakang hari. Saat itu, Muhammadiyah melalui H.M Sanusi (anggota PP Muhammadiyah) turut berperan membidani Persami. Namun, Persami lumpuh karena konflik internal. Sementara ISKI (Ikatan Sarjana Kristen Indonesia ) dan PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia) sudah mapan sejak 1958.

Dalam sejarah kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia) pada 7 Desember 1990 di Malang, Muhammadiyah termasuk pihak yang menyambut positif dan menaruh harapan besar akan kehadirannya. Tidak sedikit cendekiawan Muhammadiyah bergabung sebagai bentuk dukungan dan harapan pada ICMI. Konon, bahkan rencana untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muhammadiyah digagalkan. Muhammadiyah mengambil langkah mengintegrasikan saja rencana itu ke dalam ICMI.

Bisa jadi sikap Muhammadiyah ini karena dua tokoh Muhammadiyah; M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar lah bersama Imaduddin Abdul Rahim (pendiri Masjid Salman ITB) yang mempertemukan Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal, mahasiswa Unibraw yang menggagas simposium “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Dari simposium itu kemudian lahirlah ICMI dan Prof. B.J. Habibie menjadi Ketua Umumnya hingga tahun 2000.

Kehadiran ICMI waktu itu memang direspons beragam berbagai kalangan. Selain Muhammadiyah, ada kelompok-kelompok skeptis yang meragukan ICMI. Ada pula kelompok yang menaruh curiga dan menganggap ICMI sebagai ancaman seperti analisis sejarawan Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam.

Barangkali karena akar sejarah ICMI tidak lepas dari peran beberapa tokoh Muhammadiyah, maka Muhammadiyah Depok memandang perlu kader-kadernya mengambil bagian untuk berkiprah. Barangkali juga, dengan alasan itu pula nama saya dicantumkan. Sejujurnya yang saya keluhkan, saya bukanlah apa-apa dan masih terseok-seok untuk disebut sebagai “kader terbaik” Muhammadiyah.

Undangan Pelantikan

Sebab “Mata pena sudah ditorehkan. Jangan begini-begitu!” seperti dalam dialog imajiner saya dengan “Kiai Dahlan Muda” di atas, saat undangan pelantikan saya terima, cuma “Bismillah” bekal untuk memanggul amanah ini. Andaikata dalam perjalanannya nanti saya sanggup memikulnya, akan saya tuntaskan. Akan tetapi bila saya tak sanggup karena kapasitas yang tidak cukup, saya tak ragu untuk menyatakan mundur.

Dalam surat undangan pelantikan, saya tercatat sebagai Anggota Divisi Media, Komunikasi dan Humas ICMI Orda Depok Periode 2022-2027. Divisi ini tidak presisi dengan basic pendidikan saya di Fakultas Tarbiyah. Akan tetapi, bidang ini masih beririsan dengan kompetensi keguruan yang saya geluti meskipun spesifik pada media pembelajaran dan komunikasi pendidikan. Jadi, meskipun remang-remang, masih bisa ditaksir ke mana arah divisi ini bekerja. Tentu saja, dukungan dari kader-kader Muhammadiyah Kota Depok, remang-remang itu menjadi cerah, sebagaimana Muhammadiyah yang selalu menjadi “Sang Pencerah”.

Akhirnya, bismillah, kopi sore ini saya sruput, sambil menunggu pelantikan beberapa hari lagi.