Pengurus Pimpinan Ranting Muhammadiyah Cipayung dan Anggota. Foto Credit Ustaz Saifudin, S.Pd.I
Sejak 1991, selepas lulus dari Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah, Ranting Muhammadiyah Cipayung jadi ladang eksperimen saya belajar berdakwah. Berarti, sejak tahun itu pula pengajian menjelang Ramadhan saya catatkan dalam kenangan. Pak Aziz lah orang yang mula pertama menarik lengan saya bergabung mengawal Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Tiap malam Jumat, pengajian dibimbing Pak Aziz, Pak Rahmat, dan saya bergantian. Jika tak salah ingat, pernah pula pengajian dilaksanakan malam Ahad.
Pada 1997, di pertengahan tahun-tahun belajar di IAIN (sekarang UIN) Jakarta, sudah mulai diberi porsi di majis ranting. Mulai didorong-dorong bicara di hadapan orang-orang tua Ranting Muhammadiyah Pulo. Waktu itu, banyak tokoh tua perintis Muhammadiyah Ranting Pulo kelompok "as saabiquunal awwaluun" yang masih hayat ikut mondorong lebih bersemangat. Saat kesempatan pertama untuk saya itu diberikan, lalu saya penuhi, mata-mata mereka mengikuti langkah saya sampai ke mimbar seolah berkata "mengancam": "Sekarang, atau tidak sama sekali!"
Pada kali pertama bicara di depan para orang tua itu, dada berdebur-debur, keringat sebesar biji jagung menetes dari dahi efek melawan gerogi. Meskipun air bening sudah diteguk-teguk sebelum tangga mimbar dilangkahi dan doa minta dilancarkan lidah diulang-ulang, di atas mimbar masih saja mulut terasa kering. Tenggorokan pun seperti sedang menelan sekam. Apatah lagi, materi yang sudah disiapkan di kepala separuh dihafal, menguap entah ke mana perginya. Kalau saja tak mengapit buku ikhtisar materi ceramah waktu itu, bisa serta merta turun dari podium dengan muka memerah saga menahan malu.
Saya merasa, menghadapi kharisma orang-orang tua dahulu itu beda sekali dengan menaklukan tatapan mata mahasiswa di meja diskusi yang sangat dialektis. Jika di kampus oleh beberapa kawan saya dijuluki macan diskusi, giliran di majlis ranting, saya menciut, tak ubahnya seperti kucing belajar mengeong yang gigi taringnya saja baru separuh tumbuh.
Akan tetapi, dengan berlatih dan belajar langsung, sampai pula kesempatan berdamping dengan para guru; KH. M. Awab Usman, Drs. Moh. Muslim, dan M. Ma'ruf di majils pengajian rutin malam Senin, baik di Pulo dan Cipayung.
Hari ini, saat pengajian menjelang Ramadhan yang ke sekian di Ranting Muhammadiyah Cipayung, takdir atas kesempatan naik podium pertama kali itu terkenang-kenang lagi di pelupuk mata.[]
IBU-ibu Aisyiyah Cipayung menghidangkan satu menu "verrukkelijk"; sayur asem kuah kuning. Seger, pas sekali dinikmati pada cuaca panas tadi siang usai pengajian. Ikan asin, tempe dan tahu bacem, pecak ikan mas, bakwan dan kerupuk seolah dapat vibrasi cita rasa jadi ikutan lebih nikmat di lidah.
Terus, adakah kesejajaran sayur asem kuah kuning itu bila dihubungkan dengan aktivitas dakwah?
Ada.
Jika juru masak punya tantangan buat menyajikan resep-resep masakan baru yang lebih sedap, demikian pula berlaku bagi juru dakwah.
Pertama, karena dakwah adalah dunia pesan, maka penting diperhatikan bagaimana pesan itu disampaikan. Bukan sekadar pesan itu harus sampai ke telinga jamaah serta tidak membuat pekak telinga mereka, melainkan ia harus terasa sedap sampai meresap ke jantung hati dan perasaan, seperti sedapnya masakan di lidah dan terekam kelezatannya di long term memory otak secara permanen.
Kedua, jika cara penyajian hidangan bisa memberi efek menawan dan nafsu makan para foodies berlipat dua, maka cara penyajian dakwah juga demikian. Jangan sampai objek dakwah tidak bergairah datang ke majlis ilmu hanya karena persoalan sajian dakwah yang kurang menarik. Ini masih untung daripada orang kapok dan tidak mau lagi datang buat mengaji.
Ketiga, jika produsen masakan piawai memanfaatkan media digital dan media sosial sebagai sarana publikasi dan promosi, maka keniscayaan dunia dakwah memanfaatkan media yang sama perlu diupayakan. Jangan berlambat-lambat keong, sebab segementasi dakwah generasi milenial hari ini kompetibel dengan media sosial yang daya jangkaunya secepat angin.
Cukuplah tiga poin ini saja buat menjawab ilustrasi kesejajaran sayur asem kuah kuning dengan aktivitas dakwah hari ini.[]
Kurikulum Kajian Ramadhan sempat saya lontarkan pada pengajian tadi siang. Selama ini, kurikukum Ramadhan hanya diterapkan di masjid-masjid tertentu saja. Maksud saya, tradisi kultum atau Kuliah Ramadhan ada baiknya dikemas tematis sistematis. Misalnya, materi kultum malam pertama bicara sabar, malam kedua syukur, malam berikutnya qona'ah, malam esoknya lagi itsar, terus mengalir dengan materi berbeda sampai malam terakhir tarawih.
Boleh juga materi yang spesifik mengupas puasa Ramadhan, akidah, ibadah, akhlak, sirah, atau Kemuhammadiyahan. Jadi, materi kultum tidak dibiarkan disajikan secara sporadis dan diserahkan pada selera pembicara.
Kemasan tematik seperti ini banyak manfaatnya, di antaranya menghindari materi berulang oleh narasumber berbeda di samping jamaah mendapatkan konten kuliah Ramadhan yang kaya dan beragam.
Rujukan pokoknya diambil dari khazanah keIslaman persyarikatan, baik dari buku-buku atau publikasi PP. Muhammadiyah, Majelis Tarjih, atau Majelis Tabligh. Ini penting untuk menjaga otentitas dan validitas paham Islam yang sesuai dengan Muhammadiyah.
Oleh karena dakwah adalah medan jihad juga, sedangkan tantangan dakwah makin kompleks dari hari ke hari, rasanya akal kita bersetuju dengan filosofi tipologi muslim sejatinya HOS Tjokroaminoto: Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.
Terima kasih sayur asem kuah kuningnya ya, Ibu-ibu Aisyiyah dan Muhammadiyah Ranting Cipayung. Selamat menyambut Ramadhan 1443 H. Semoga kita bisa meraih kemuliaan taqwa, cita-cita tertinggi nilai ibadah puasa nanti. Aamin.
0 Comments
Posting Komentar