Animasi Ngupil. Foro Credit https://tenor.com/


PUASA, atau "as-shiyam" dalam bahasa Arab artinya "al-imsak", menahan. Maksudnya, secara harafiah menahan dari segala yang membatalkan puasa. Menahannya pun tidak sepanjang hari, hanya mulai dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Tidak lebih.

Dahulu, sewaktu masih kecil, pengajaran orang-orang tua "kelewat hati-hati" soal menahan ini. Sehingga, puasa bukan saja menahan dari makan dan minum, berhubungan suami-istri, pokoknya menahan dari segala yang membatalkan puasa menurut syara', sampai mengupil dan kentut di dalam air pun, harus ditahan, sebab ia masuk dalam daftar list perkara yang "membatalkan" puasa versi puasa zaman dahulu, zaman "kegelapan".|

PUASA mengajarkan agar orang pandai menahan diri. Ini bukan sembarang menahan diri. Ini menahan diri dari perkara yang dibolehkan. Bila menahan diri dari perkara yang tidak dibolehkan, itu biasa. Orang awam sekalipun mengerti bahwa segala yang dilarang memang harus dihindari, ditahan untuk tidak dilakukan. Akan tetapi puasa, mendidik pelakunya menahan diri dari sesuatu yang tidak dilarang.

Di sinilah mahalnya harga puasa. 

Capaian puasa juga mahal, tidak murahan, yaitu takwa. Hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup membayar harganya. Maka, orang-orang yang sanggup memenuhi kewajiban puasa adalah orang-orang yang berharga mahal di hadapan Allah, orang-orang yang kelak memakai mahkota "muttaqin".|

DALAM konteks puasa, makna takwa rasa-rasanya bukan sekadar "melaksanakan perintah dan manjauhi larangan-Nya". Akan tetapi, ada yang lebih substansial dari sekadar melaksanakan dan menjauhi.

Tidak ada ibadah yang serahasia ibadah puasa. Tidak ada yang tahu seseorang itu puasa atau tidak, kecuali Allah dan dirinya saja. Seorang suami belum tentu tahu bahwa istrinya betulan puasa. Menantu dan mertua juga demikian. Anak dan orang tua, kawan karib dan koleganya, bahkan seorang kiai pun tidak tahu apakah santrinya berpuasa atau tidak. Jadi, puasa itu ibadah paling personal antara hamba dan Rabb-nya saja.

Karena itu, puasa merupakan ibadah yang hampir-hampir tidak ada celah pelakunya digrogoti penyakit riya. Kecil sekali celah itu ada. Tidak seperti ibadah yang terlihat amalannya, amalan yang mengundang decak kagum, takjub, dan pujian karena begitu transparan. Maka tidak mengherankan, sedikit sekali orang yang bisa selamat dari godaan riya meskipun kadarnya tipis, selintasan supaya orang tahu bahwa ia sedang ibadah.

Memang, sampai hari ini, tidak ada foto selfi orang yang sedang puasa yang di-upload pemilikinya di medsos, sebagaimana gambar "haji selfi" dengan background Ka'bah. Ya, karena memang haji ibadah terbuka, transparan, semua orang bisa tahu, bisa melihat dan mendengarnya. Puasa? Tidak.|

MERASA diawasi Allah, muraqabatullaah, rasa-rasanya sangat pas dengan idiom takwa dalam konteks puasa. Jadi, orang yang keluar sebagai pemenang dan mengenakan mahkota takwa setelah berpuasa, yakni orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya pengawas dirinya. Di manapun, di kala sendiri atau ramai, di dalam rumah atau di luar rumah, bersama orang-orang yang dia kenal atau asing, sama saja, sebab yang dia pandang adalah Allah, yang mengawasi detail gerak-geriknya, bukan makhluk yang kasat mata dan bisa dikibulin.

Kasarnya, bisa jadi ada menantu di hadapan mertua dia puasa. Di belakang mertua, lain soal. Di rumah, seseorang menjaga puasanya, di luar rumah lain perkara. Nah?

Maka dalam kondisi apa pun, dengan muraqabatullah, kewajiban tetap tegak meskipun sepi, sendiri, dan terasing. 

Selamat menjalankan puasa hari pertama.|