Rapat para petinggi KKMD. Foto Credit: Abdul 

KEMARIN sore, hujan turun deras sekali. Angin kencang mendesau, tanpa jeda, membawa kabut. Sesekali lidah api berkilat-kilat. Ngeri.

Pukul sepuluh pagi, aura menghujan sudah terbaca. Terik, udara lembab, membawa gerah. Di bawah rimbun pohon pun, gerah. Gerah merata di mana-nana, di setiap sudut ruang terbuka.

Wajah seperti digarang di atas tungku. Dari tengkuk sampai ke bahu jadi terasa lengket bagai dibaluri minyak. Orang Pulo bilang "nylekeb", "bringsang". Rasanya, ingin berendam saja di bak mandi berlama-lama.

Pukul empat, hujan baru reda. Dari pukul tiga lebih sepuluh, air bagai ditumpahkan dari langit, seakan langit bocor karena derasanya. "Wah, bakalan tambah telat ini."|

KARENA tidak ada uzur kecuali keterlambatan, tidak ada alasan untuk tidak memenuhi undangan meskipun bisa saja memilih absen. Apalagi belum terikat dalam struktur kepengurusan, jadi tidaklah terlalu "berdosa" bila tak datang. Kalaupun mungkir, masih tergolong dosa kecil, belum kategori "al-kabair" yang tak berampun.😂

Ini kali pertama "nimbrung" rapat dengan pengurus Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok. Sebagai makmum, makmum betulan yang berdiri di belakang makmum juga, makmum level dua. Bolehlah saya merasa untung. Gembira juga bisa sama-sama satu meja dengan para imam. Untunglah, rapat baru akan dimulai. Masih dapat "takbiratul ihram" bersama imam.

Sebagai makmum, ada tiga kali mengisi acara Korps dengan keterbatasan kapasitas, setakaran yang ada di saku hasil mengaji, dari membaca, dan dari ghirah yang masih ada. Bolehlah tambah gembira lagi, hanya karena ghirah itu jadi bisa merasakan podium Korps.

Setiap aktivis persyarikatan tulen tahu betul, dari ghirah yang masih ada, kepercayaan diri ikut berkhidmat bisa bertahan. Ghirah, atau ruh daya juang tak mengenal artifisial meskipun ada pasang surutnya, ada kencang ada kendurnya, ada gesit ada leletnya, ada sehat ada sakitnya, bahkan ada hidup ada matinya bila ghirah sudah terlalu sekarat. Para imam satu meja itu, pastilah sangat mengerti soal ini. Tentulah mereka berjaga-jaga jangan sampai ghirah mereka sekarat sementara mulut masih sehat wal afiat merasakan lezatnya makan dan minum.

Idealnya, daya juang harus terus dibarengi daya belajar dan kapasitas ilmu. Rasanya, ini pekerjaan rumah yang belum selesai yang terus menggantung di benak penulis. Daya belajar dan kapasitas ilmu harus pula dilapis baju ghirah. Seringkali, segala-gala daya jadi "impoten" bila mana baju ghirah sudah ditanggalkan.|

DI ANTARA agenda rapat, soal Ketua Korps akan pamit mundur cukup panjang dibahas. Ustaz Irfan akan mlipir ke Korea. Rupanya, panggilan dakwah di Korea sudah menarik-narik hati Ustaz Irfan kuat sekali. Yang di Korea pun, sudah ngebet agar Ustaz Irfan segera terbang. Bagaimana dengan para makmum di KMMD?

Biarlah, tak mengapa. Asalkan mlipirnya untuk urusan dakwah, bukan urusan K-Pop yang digila-gilai gadis ABG kampung yang letak kampungnya saja hampir tidak terbaca di dalam peta. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Ustaz Irfan harus dilepas. Biarkan dia tambah "besar" di salah satu negeri ginseng.|

Bila Anda pernah membaca biografi HAMKA, Anda akan menjumpai narasi betapa HAMKA pernah bimbang memilih dua undangan; Tokyo atau Medan yang akan dipilih. Dua-duanya amat mengoda HAMKA meski dia harus meninggalkan Siti Raham, istri yang amat dicintai separuh jiwa, dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil dalam kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan.

"Kami di Jepang ingin meminta saudara Hamka datang untuk menjadi guru masyarakat Islam di Jepang," begitu isi surat Mansur Yamani, sahabat lama HAMKA dari Sulawesi saat dahulu HAMKA menjadi mubaligh utama utusan Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta ke Makassar di usianya yang masih sangat muda; 23 tahun.

Akhirnya, HAMKA memutuskan pergi. Bukan ke Tokyo, melainkan ke Medan dengan berbagai pertimbangan.  Jalan dakwah baru dipilih HAMKA dengan pertaruhan akal dan perasaan.

HAMKA pergi meninggalkan Kulliyyatul Muballighin Padang Panjang yang baru dirintisnya pada 1935. Sebagai direktur Muballighin saat itu, HAMKA, rela tak rela berangkat juga. Bukan karena gajinya kecil yang hanya 50 sen sehari, gaji seorang direktur yang terlalu minim untuk menghidupi Siti Raham dan Hisyam. HAMKA dan keluarganya harus pula menumpang tinggal di salah satu ruang kelas Kulliyyatul Muballighin bersempit-sempitan. Rusydi; anak kedua HAMKA bahkan lahir di dalam ruang kelas yang sempit itu.

Haji Rasul harus menahan sesak di dadanya saat HAMKA melangkah pergi. Putra harapannya itu memilih memimpin Pedoman Masyarakat, menjadi Tuan Redaktur majalah yang dirintis Haji Asbiran Yakub yang kelak merebut hati pembaca tokoh sekalas Tuan Soekarno dan Hatta.| 

Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok mau tak mau melepas Ustaz Irfan, seperti dahulu Haji Rasul melepas HAMKA buat berpisah. Tanggalnya sudah pasti, 8 April 2022. Ustaz muda ini berangkat pada bulan di mana aneka bunga di dunia sedang mekar.

"Annyeonghi kaseyo, Ustaz Irfan. Mianhamnida, kaga bisa ikut nganter."

Semoga istikamah di jalan dakwah. Sehat-sehat dan melimpah berkah. Jangan sering-sering makan Kimchi, kecuali rutin mengirim ke PDM buat menemani rapat-rapat para imam berikutnya😂.|