Flayer Fakta TVOne kiriman Ustaz Budi Nurastowo Bintriman
Hanya saja, badan yang sedang terasa “rontok” karena flu berat, Fakta tidak tuntas ditonton. Setelah menelan obat dari orang yang namanya sama, “Budi”, jamaah Ranting Muhammadiyah Pulo, mantan pekerja medis di PELNI, keluhan sedikit membaik dan badan kembali dibawa tidur.[]
INGAT Saifuddin, ingat antek-antek NII, ingat Nur.
Nur, gadis Penjaringan, Jakarta Utara. Dahulu, dia santri Saifuddin, juga santri Ustaz Budi. Beruntung, Nur lebih dekat pada Umi Ipit; istri Ustaz Budi. Selamatlah Nur.
Memang, sejak semula kedatangan Ustaz Budi di pondok tempat Nur nyantri, dia merasa seakan mendapatkan pertolongan. Ada kekuatan baru yang diharap melindungi meskipun hatinya sempat pula was-was, “Ini mereka ada di pihak mana, ya?”[]
NUR memang tidak intens berguru pada Saifuddin. Yang Nur ingat, pernah satu kali para santri putri blingsatan saat tiba-tiba Saifudin memeriksa kamar santri perempuan. Nur menyambar handuk karena sedang tidak berkerudung lalu ngumpet di WC. Ada Banyak santri putri yang tidak keburu menghindar karena sedang istirahat hanya dengan mengenakan rok dan singlet. Kata Nur, Saifuddin memang kadang dablek.
Akan tetapi, yang aktif bergerak adalah antek-antek Saifuddin. Mereka tidak pernah henti mendekati Nur. Namun, upaya mereka selalu gagal. Nur tidak bisa ditaklukan dengan bujukan, narasi, dan argumentasi. Namun, gerakan antek-antek NII mempengaruhi santri masuk dalam lingkaran mereka makin masif dan “brutal”. Santri yang selamat tinggal dihitung jari. Nur hanya salah satu dari santri yang selamat itu.
Pak Rauf; direktur pondok saat itu, sering menasihati Nur dan teman-temannya yang belum terkontaminasi paham NII untuk melawan mereka. “Kalau mereka pake Qur’an, jawab dengan Al-Qur’an, kalau mereka pake hadits, jawab dengan hadits, kalau mereka pake logika, balas dengan logika.”
Nasihat ini didengar, dihayati, dan digunakan Nur buat melawan mereka; antek-antek NII binaan Saifuddin si murtadin itu.[]
“KITA ini, masih periode Makkah, ” kata salah seorang propagandis NII pada NUR.
“Maksudnya, Kak?”
“Ngapain kamu shalat. Ibarat perjuangan Nabi, kita masih berada dalam periode Makkah, belum wajib shalat. ” Kata mereka untuk mengejek Nur dan kawan-kawannya yang masih patuh aturan pondok shalat berjamaah.
“Bukannya ini masa Orde Baru, Kak?”
“Bukan itu. Ini periode Makkah, periode perjuangan dakwah Islam, belum wajib shalat. Dalam Sejarah Islam, kan begitu fase-fase dakwahnya.”
“Lha, bukannya dalam Sejarah Islam kewajiban shalat turun di Makkah, setelah Nabi menjalani peristiwa Isra dan Mi’raj? Kakak baca Sejarah Islam yang mana?”[]
“KITA-kita ini, ibarat Ashabul Kahfi. Para pemuda yang bersembunyi untuk mempersiapkan perjuangan. Nanti masanya akan tiba kita menunjukkan diri.”
“Gua buat sembunyinya, di mana? Lalu, yang jadi anjingnya, siapa, Kak?”[]
SATU kali, Nur menjumpai antek-antek NII itu ngumpul-ngumpul di salah satu ruangan pondok. Perempuan-perempuannya tidak berkerudung, laki-lakinya ada yang tidur-tiduran dengan kepala di atas paha si perempuan. Nur merasa jengah. Nur menegur bahwa itu tidak baik. Apalagi menggunakan fasilitas pondok.
“Kamu jangan lihat luarnya, dong.”
“Maksudnya, Kak?”
“Kamu tahu durian?”
“Tahu.”
“Durian itu, luarnya berduri, jelek. Tapi coba lihat dalamnya. Bagus dan manis.”
“Tapi kan, tidak semua orang suka durian, Kak. Kebanyakan makan durian juga bisa muntah!”
Huh!
“Oh iya, Kak. Kata orang, makan apel bersama kulit-kulitnya itu bagus. Kandungan antioksidan pada kulit apel baik untuk kesehatan sendi. Cobalah makan durian dengan kulit-kulitnya sekalian. Siapa tahu bagus untuk kesehatan mental!”*[]
NUR tidak bisa dibujuk halus. Antek-antek NII gerah. Nur dikucilkan, diboikot, tidak punya teman di kamar sekali pun. Nur diteror, dibuat tidak betah di pondok. Alih-alih ingin membuat Nur tertekan dan tidak betah, Nur malah bahagia diboikot orang macam antek-antek NII itu.
“Kamu 'nggak sedih, gak punya teman?” tanya salah seorang guru pada Nur.
“'Nggak, Ustaz. Malah senang.”
“Kok begitu?”
“Mereka itu kan, dulunya yang suka nebeng jatah kiriman saya. Sekarang saya diboikot, jatah kiriman orang tua saya, utuh.”[]
DI kali lain, Nur diancam akan dibunuh. Dikira antek NII itu, Nur takut diancam begitu, nyali Nur akan ciut, lalu dengan sukarela Nur bergabung jadi antek NII, jadi jongos Saifuddin, dan bersedia dibai'at.
“Heh, kafir! Darahmu halal. Kamu halal dibunuh.”
Diancam demikian, Nur membalas tidak kalah sengit.
“Hei dengar! Hari ini juga, saya kabarkan pada orang tua saya, saudara-saudara saya, bahwa kalau sewaktu-waktu saya benar mati dibunuh, kamu lah pelakunya. Bukan siapa-siapa. Saya minta pada orang tua saya, pada saudara-saudara saya, arahkan saja polisi datang mencari pembunuhnya ke rumahmu!”[]
SUDAH lama sekali Nur menuturkan pengalaman bergelut melawan dialektika dengan para antek NII di pondoknya. Saya paling tergelitik dengan soal analogi duren. Andaikan Nur adalah saya waktu itu, maka jawaban Nur saya tambahkan kalimat seperti balasan jawaban yang saya beri tanda asterik (*) di atas.
Sehabis menonton Fakta kemarin, pagi harinya, saya gali lagi pengalaman Nur. Tidak ada yang berubah. Penurutan Nur masih sama seperti kali pertama dia berkisah; cerita tentang “sisi kelam” pengalamannya pernah beririsan dengan Saifuddin dan antek-antek NII.
Sampai hari ini, Nur masih menyimpan nama-nama siapa antek-antek NII itu. Nur masih hafal; hafal nama dan hafal wajah. Nur paling hafal antek NII yang menyebut darahnya halal dan dia boleh dibunuh.[]
KADANG, saya berkhayal. Satu kali, saya dan Nur sedang berboncengan, ngabuburit mencari angin menunggu maghrib. Tiba-tiba, Nur meminta berhenti.
“Stop! Stop! Berenti dulu, Mas!”
“Ada apa?”
“Itu, antek NII,” jawab Nur sambil menunjuk seorang laki-laki.
“Yang mana?”
“Itu yang giginya agak seksi.”
“Yang dulu mau membunuh kamu?”
“Bukan. Dia yang dulu bilang jangan durian dilihat dari kulitnya.”
Saya menepi. Saya dan Nur mendekati laki-laki itu.
Laki-laki itu terkesiap. Rupanya dia masih mengenali Nur saat tahu ada seorang perempuan dan seorang lelaki datang menghampiri. Nur menyapa. Laki-laki itu kikuk.
Tangan saya gatel. Dan, pahala puasa saya yang tinggal sekelok saja akan dicatat di buku amaliyah ramadhan malaikat Rakib, tiba-tiba batal karena saya emosi. Saya tak tahan.
“Jbret!”
Laki-laki itu kaget sambil memegang mulutnya. Nur juga kaget atas tindakan saya.
“Ada apa ini? Mengapa saya ditonjok? Apa salah saya?”
“Makan tuh duren!” kata saya sambil menarik lengan Nur melanjutkan ngabuburit kami.[]
ANTEK-antek NII binaan Saifuddin memang nakal. Mereka bukan saja tidak shalat, tapi mengejek Nur yang rajin shalat. Mereka bukan saja tidak puasa, tapi menggoda-goda Nur yang puasa. Mereka juga nakal karena suka mengutil perlengkapan sekolah seperti pulpen di supermarket milik orang Cina dan dijual murah kepada para santri di pondok Nur. Mereka bilang, harta orang kafir dalam rangka perjuangan boleh diambil. Jadi menurut paham Islamnya mereka, nyolong sah hukumnya.
Hari-hari belakangan, Saifuddin dengan profesi barunya sebagai pendeta sering menuduh Islam sebagai agama yang menghalalkan darah orang non muslim. Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan kekerasan bahkan agama yang mengerikan. Alasan itu pula yang dipakainya untuk ajakan menghapus 300 ayat Alqur’an kepada beberapa pihak.
“Hei dengar! Hari ini juga, saya kabarkan pada orang tua saya, saudara-saudara saya, bahwa kalau sewaktu-waktu saya benar mati dibunuh, kamu lah pelakunya. Bukan siapa-siapa. Saya minta pada orang tua saya, pada saudara-saudara saya, arahkan saja polisi datang mencari pembunuhnya ke rumahmu!”[]
SUDAH lama sekali Nur menuturkan pengalaman bergelut melawan dialektika dengan para antek NII di pondoknya. Saya paling tergelitik dengan soal analogi duren. Andaikan Nur adalah saya waktu itu, maka jawaban Nur saya tambahkan kalimat seperti balasan jawaban yang saya beri tanda asterik (*) di atas.
Sehabis menonton Fakta kemarin, pagi harinya, saya gali lagi pengalaman Nur. Tidak ada yang berubah. Penurutan Nur masih sama seperti kali pertama dia berkisah; cerita tentang “sisi kelam” pengalamannya pernah beririsan dengan Saifuddin dan antek-antek NII.
Sampai hari ini, Nur masih menyimpan nama-nama siapa antek-antek NII itu. Nur masih hafal; hafal nama dan hafal wajah. Nur paling hafal antek NII yang menyebut darahnya halal dan dia boleh dibunuh.[]
KADANG, saya berkhayal. Satu kali, saya dan Nur sedang berboncengan, ngabuburit mencari angin menunggu maghrib. Tiba-tiba, Nur meminta berhenti.
“Stop! Stop! Berenti dulu, Mas!”
“Ada apa?”
“Itu, antek NII,” jawab Nur sambil menunjuk seorang laki-laki.
“Yang mana?”
“Itu yang giginya agak seksi.”
“Yang dulu mau membunuh kamu?”
“Bukan. Dia yang dulu bilang jangan durian dilihat dari kulitnya.”
Saya menepi. Saya dan Nur mendekati laki-laki itu.
Laki-laki itu terkesiap. Rupanya dia masih mengenali Nur saat tahu ada seorang perempuan dan seorang lelaki datang menghampiri. Nur menyapa. Laki-laki itu kikuk.
Tangan saya gatel. Dan, pahala puasa saya yang tinggal sekelok saja akan dicatat di buku amaliyah ramadhan malaikat Rakib, tiba-tiba batal karena saya emosi. Saya tak tahan.
“Jbret!”
Laki-laki itu kaget sambil memegang mulutnya. Nur juga kaget atas tindakan saya.
“Ada apa ini? Mengapa saya ditonjok? Apa salah saya?”
“Makan tuh duren!” kata saya sambil menarik lengan Nur melanjutkan ngabuburit kami.[]
ANTEK-antek NII binaan Saifuddin memang nakal. Mereka bukan saja tidak shalat, tapi mengejek Nur yang rajin shalat. Mereka bukan saja tidak puasa, tapi menggoda-goda Nur yang puasa. Mereka juga nakal karena suka mengutil perlengkapan sekolah seperti pulpen di supermarket milik orang Cina dan dijual murah kepada para santri di pondok Nur. Mereka bilang, harta orang kafir dalam rangka perjuangan boleh diambil. Jadi menurut paham Islamnya mereka, nyolong sah hukumnya.
Hari-hari belakangan, Saifuddin dengan profesi barunya sebagai pendeta sering menuduh Islam sebagai agama yang menghalalkan darah orang non muslim. Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan kekerasan bahkan agama yang mengerikan. Alasan itu pula yang dipakainya untuk ajakan menghapus 300 ayat Alqur’an kepada beberapa pihak.
Saifuddin sudah offside. Ngapain lagi di mencomeli Alquran yang tidak dia imani lagi. Toh, baginya, seluruh ayat dalam Alquran sudah tiada guna, sudah dia hapus sendiri dari dada iman Islamnya sejak dia tanggalkan dengan pongah, jumawa, dan atraktif.
Saifudin memang dablek. Dia yang sebelum murtadnya sudah memahami Islam model pemahaman NII dan menanamkan paham itu kepada generasi yang tidak tahu apa-apa, tapi belakangan getol sekali menuduh Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan seperti pemahaman keliru yang dahulu dia anut. Kalau Saifuddin "sehat", bukan Islam yang harus dia tuduh-tuduh, habisi saja pemahaman Islam ala NII yang dahulu dia sebarkan itu.[]
Saifudin memang dablek. Dia yang sebelum murtadnya sudah memahami Islam model pemahaman NII dan menanamkan paham itu kepada generasi yang tidak tahu apa-apa, tapi belakangan getol sekali menuduh Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan seperti pemahaman keliru yang dahulu dia anut. Kalau Saifuddin "sehat", bukan Islam yang harus dia tuduh-tuduh, habisi saja pemahaman Islam ala NII yang dahulu dia sebarkan itu.[]
0 Comments
Posting Komentar