Creativity. Photo Credit: https://lifestyle.kompas.com/
Toynbee dan Akar Peradaban
CREATIVE Minority. Idiom ini saya dapat dari Ketua Majelis Pengurus ICMI Orda Depok Prof. Dr. Eng. Ir. Sri Harjanto pada kata sambutan pembuka rapat kerja ICMI. Menarik sekali soal creative minority ini beliau ulas.
Creative minority merupakan gagasan sejarawan Arnold Joseph Toynbee, profesor sejarah Universitas London. Toynbee dalam bukunya; A Study of History menyebutnya sebagai cikal bakal peradaban yang lahir dari sekelompok minoritas yang kreatif, atau Creative Minority itu.
Menurut Toynbee, sebuah peradaban itu muncul bukan berasal dari individu dengan genetik yang superior, atau karena lingkungan geografis yang menguntungkan. Akan tetapi, peradaban terbentuk karena ada individu-individu atau sekelompok orang yang memberikan respons kreatif dari situasi atau kondisi, atau tantangan yang sulit.
Respons kreatif itu bisa berupa ide atau gagasan, metode atau program kerja sebagai upaya realisasi dari ide dan gagasan. Begitu kreatifnya, bisa jadi ia out of the box. Yang jelas, ide kreatif itu merupakan jawaban dari masalah-masalah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Nah, dari sanalah muncul peradaban baru. Dan, peradaban baru itu akan lebih baik dan berdaya tahan lama ketika Creative Minority ini selalu hadir dalam satu komunitas. Metode atau program kerja Creative Minority itu kemudian ditularkan dan disebarkan kepada komunitas yang lebih mayoritas, dalam lingkup dan skala yang lebih luas.
Begitulah Creative Minority yang diilustrasikan Toynbee.
Filosof di Tengah Para Sophis
SEBUAH novel setebal 700 halaman lebih; “Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat” hampir tuntas saya baca. Novel itu sangat menarik menurut saya. Membaca novel ini, seperti melahap menu filsafat yang berat, namun mata hampir tidak mau berhenti menyisir tiap paragraf. Penulisnya; Jostein Gaarder, intelektual dan novelis asal Norwegia, pandai sekali memikat saya yang gandrung pada filsafat dan novel.
Dalam novel itu, Gaarder ada menyinggung dua komunitas; sophis dan filosof. Para sophis adalah komunitas yang tidak mau menjadi pembelajar. Mereka orang kebanyakan, para penikmat dunia –digambarkan sebagai orang yang sibuk menyelusup ke dalam bulu-bulu kelinci dan meringkuk dengan nyaman di sana. Di dasar bulu-bulu itulah mereka tinggal sepanjang hidup dengan nyaman. Kenyamanan itu membuat mereka tidak mau mengambil risiko dari memanjati bulu-bulu halus kelinci untuk sampai ke ujungnya.
Para filosof adalah komunitas yang mau bersusah-susah memanjati bulu kelinci itu. Sebagian di antara mereka jatuh bertumbangan, namun bangkit dan memanjat lagi, jatuh dan memanjat lagi. Yang sudah sampai di puncak tetap bertahan mati-matian sambil meneriaki para sophis yang terbuai di tengah kelembutan yang nyaman. “Ibu-ibu dan Bapak-bapak! Kami melayang-layang di angkasa!” teriak para filosof antusias melihat dunia luar dari atas puncak bulu.
Akan tetapi, para sophis bergeming dan tetap asyik menjejali diri mereka dengan makanan dan minuman lezat. Tidak seorang pun di antara para sophis menaruh peduli. Bahkan, para sophis balik meneriaki para filosof itu dengan ketus. “Huh! Gerombolan pembuat onar!” kata mereka sambil terus berceloteh. “Tolong ambilkan menteganya, ya! Seberapa banyak saham kita naik hari ini? Berapa harga tomat?” sambung mereka bersahutan.
Keriweuhan para sophis itu semuanya soal uang, soal rumah dan kendaraan, soal kebutuhan perut, pokoknya soal kesenangan di zona nyaman. Tidak lebih. Kesibukkan mereka hanya seputar permasalahan pribadi sehari-hari sehingga keheranan mereka terhadap dunia tersuruk ke belakang.
Sementara, para filosof melihat dirinya hanya sebagian kecil dari permasalahan universal yang menggelisahkan. Karena itu mereka tidak suka berdiam diri di zona nyaman. Mereka mau berpeluh-peluh, memeras otak memasarkan ide dan gagasan. Mereka Creative Minority yang berusaha menjawab tantangan membangun peradaban baru yang akan diwariskan kepada generasi masa depan.
Bukan Genetik
Tipologi filosof dan komunitas Creative Minority bukan perkara kebetulan dan tiba-tiba. Akan tetapi, ia bisa muncul dengan sendirinya dipicu oleh kesamaan persepsi, ide, dan gagasan. Artinya, kebetulan dan ketiba-tibaan itu hanyalah momentum di mana “para filosof” itu bertemu lalu membentuk komunitas kreatif yang sedikit itu. Jadi, baik filosof maupun Creative Minority bukan bersifat bawaan, tapi ia “diciptakan” oleh problem yang membutuhkan jawaban.
Di setiap zaman, proses kreatif mengalami pasang surut. Konon menurut para sejarawan, pada abad pertengahan, Eropa tersuruk dan terbenam dalam lumpur zaman kegelapan (The Dark Age). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, peradaban Islam yang diwakili oleh Baghdad dan Andalusia sedang menikmati masa-masa keemasan (The Golden Age) hampir di segala lini hidup mereka. Bagaimana itu semua terjadi? Itu semua terjadi karena ketiadaan dan keberadaan Creative Minority di tengah-tengah mereka.
Lalu, pendulum sejarah berputar. Perdaban Eropa naik kelas sampai hari ini karena Creative Minority terus tumbuh bergantian sejak mereka belajar pada Islam di Andalusia. Sementara peradaban Islam masih terseok-seok dan semakin kekurangan Creative Minority dari hulu hingga hilir. Hmm, pekerjaan rumah yang berat.
Dunia membutuhkan komunitas Creative Minority. Sekolah; dunia kecil sebagai salah satu pusat peradaban, tidak boleh kehilangan Creative Minority. Bahkan ia, seharusnya menjadi semacam inkubator bagi persemaian bibit-bibit Creative Minority itu tumbuh setiap jenjang, setiap tahapan, mengikuti pola hierarki calon filosofis itu berkembang. Hanya saja, seleksi alam selalu sampai pada kesimpulan; para filosof amat sedikit saat ia berdiri di samping para sophis.|
0 Comments
Posting Komentar