Foto Credit: Saling Sapa TV
SAAT itu masih muda, baru 28 tahun. Di usia segitu, sudah diberi amanah memimpin Ranting Muhammadiyah periode 2000-2005. Berat ini.
Beberapa hari setelah Musran usai, Drs. H. Moh. Muslim (Allahuyarham) membesarkan hati. "Anda pasti mampu. Terima dengan legowo." Begitu kata beliau dengan gaya bicaranya yang khas.
Tenanglah rasa hati sedikit. Apalagi, kepemimpinan dipanggul 9 anggota pimpinan. Tentu, hasil-hasil Musran lebih ringan dilaksanakan karena urusan ditanggung renteng.
Di tengah-tengah periode kepemimpinan, tiba-tiba dua anggota pimpinan menyatakan mundur. Apa ini?
Berkerut juga dahi saat itu. Saya tanya pada rumput yang bergoyang, tak ada jawaban.
Malang tak dapat ditolak. Itu hak setiap orang. Orang berhak maju, berhak juga untuk mundur. Apalagi dalam perkara mengurus Muhammadiyah yang tidak boleh dipaksa-paksa. Tidak pula digaji. Ini hanya soal komitmen. Maju atau mundur hanya soal pilihan posisi; memilih di depan atau di belakang.
Bermuhammadiyah, baik pimpinan atau anggota sama-sama berat. Sama-sama membawa contoh teladan Nabi Muhammad SAW baik di depan atau di belakang, sekadar kemampuan masing-masing. Ada yang kadarnya banyak, sedang, sedikit, ada juga yang lebih sedikit.
Hanya saja, menjadi pimpinan lebih berat tanggung jawab moralnya. Kalau ada pimpinan Muhammadiyah dan anggota Muhammadiyah melakukan pelanggaran, yang lebih disorot tentu pimpinan daripada sekadar anggota, padahal sama-sama melanggar. Sekadar contoh, kalau ada anggota Muhammadiyah, yang satu anggota biasa yang satu pimpinan dua-duanya pernah ketahuan godain istri orang, siapa yang paling ramai dibicarakan di warung kopi, di pangkalan ojek, di warung sayur, atau di forum-forum arisan?
Jamaah masjid yang jarang ke masjid untuk berjamaah, tidak terlalu disorot. Akan tetapi, jika pengurus DKM jarang ke masjid tanpa ada alasan (uzur syar’i), atau ustaznya jarang ikut jamaah, tentu akan jadi pusat sorotan. Begitulah hukum dialektika berlaku dalam sebuah organ.|
PENGALAMAN paling berkesan saat mengurus Muhammadiyah didapat ketika "dijewer" seorang kiai muda Muhammadiyah dari Sawangan pada pengajian bulanan. Kiai Muda itu diundang untuk menyampaikan ceramah. Beliau tamu saya. Saya yang mengundang.
Saat menyampaikan kata sambutan, persoalan liberalisme (yang menganggap semua agama sama, nikah beda agama bukan masalah, homoseksual dan LGBT dianggap halal, termasuk bolehnya mengucapkan selamat natal) saya kemukakan. Karena semakin hari paham ini makin menguat dan meresahkan.
Sebagai Pimpinan Ranting, saya pandang perlu membicarakan kembali problem ini kepada warga Muhammadiyah supaya sejak awal mereka paham bahwa tantangan dakwah ke depan semakin berat dan kompleks. Dan, bahaya paham ini sudah beberapa kali saya sampaikan dalam satu dua kesempatan pengajian. Jadi, bagi jamaah Ranting Muhammadiyah Pulo, wacana tentang liberalisme Islam bukan hal baru bagi mereka.
Akan tetapi, entah apa dasar pemikiran sang kiai. Dalam ceramahnya, secara terbuka beliau sampaikan, "Tak perlu lah kita bicara soal paham liberal. Tidak relevan dengan lingkungan kita," katanya dengan penjelasan sedikit sumir.
What?
Aduh, rasanya seperti murid yang disetrap disuruh berdiri sambil mengangkat sebelah kaki di depan kelas. Lalu, kuping dijewer di muka banyak orang. Wajah terasa hangat memerah. Barangkali jika bercermin, bisa jadi merahnya wajah ini semerah kepiting rebus karena menahan rasa tak enak hati di muka jamaah sendiri.|
DEDDY Corbuzier bikin heboh karena mengundang pasangan gay, Ragil Mahardika dan Fredik Vollert untuk podcast-nya di YouTube. Banyak orang Islam tersinggung karena Deddy dipandang mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Saya cuma narik napas melihat reaksi galau banyak orang Islam dan tokoh agama saat masalah ini mencuat lewat podcast-nya si Deddy. Telat! Ke mana saja selama ini?
Tapi, daripada tidak bereaksi sama sekali, tak apalah meskipun telat. Sementara bahaya liberalisme sudah semakin masif. LGBT di depan mata.
Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan berita pernikahan perempuan berjilbab dengan seorang pria Katolik. Pernikahan berlangsung di hotel. Yang bertindak sebagai penghulunya Ahmad Nurcholish, aktivis LSM dari Pusat Studi Agama dan Perdamaian, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Pemberkatan pernikahan tersebut dilakukan di gereja Saint Ignatius, Semarang. Asal diketahui, pengantin kawin silang ini merupakan pasangan ke 1.424 yang menikah beda agama di Semarang, Jawa Tengah.
Demikian pula yang dilakukan Staf Khusus Presiden Jokowi, Ayu Kartika Dewi jadi perbincangan hangat. Pernikahan beda agama yang dijalaninya dengan Gerald Sebastian berlangsung secara Islam dan Kristen, akad nikah dan pemberkatan.
Ayu mengatakan ia menikah dengan Gerald setelah dua tahun pacaran. Dalam unggahannya, Ayu menulis bahwa ia pernah mencoba menulis 100 kriteria teman hidup yang ia inginkan. "Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa nulis sampai ke angka 100. Beberapa tahun kemudian, saya dikenalkan dengan orang ini. Ternyata dia memenuhi 97 dari 100 kriteria. Jadi, ya gitu deh," tulis Ayu seperti dikutip https://www.liputan6.com/.
Bayangkan. Syari’at larangan menikah beda agama tersingkir dengan 97 kriteria yang dasarnya hanya keinginan. Akad nikah berlangsung pada 18 Maret 2022. Ayu tampak mengenakan hijab saat akad berlangsung. Setelah pernikahan, pemberkatan pernikahan dilangsungkan di Gereja Katedral, Jakarta.
Pernikahan semacam ini sudah seperti gelombang. Bukan mustahil, gelombang semakin membesar seiring liberalisme semakin menguat. Belum lagi kita dihadapkan pada fenomena islamophobia yang pernah diulas Prof Haedar dengan sangat lugas. Masihkah para ustaz berdiam diri mengunci mulut? Terus, masihkah kita dilarang-larang mengupas bahaya liberalisme? |
PAGI ini, rasa hati agak miris membaca pesan yang di-forward Ustaz Nur Fajri Romadhon di akun Grup WA KMMD. Pesan itu berisi kritik seseorang atas beberapa persoalan warga Muhammadiyah di akar rumput. Disinggung juga soal kasuistik kualitas ustaz-ustaz Muhammadiyah yang cara ibadahnya sudah centang perenang. Memang, maksud dari “centang-perenang” dalam pesan itu tidak jelaskan.
Akan tetapi, kata “centang perenang” sendiri bermakna “porak-parik; berantakan”. Artinya cara ibadahnya sang ustaz yang dimaksud sudah porak-parik; berantakan. Sedemikian centang perenangkah cara ibadah ustaz yang dimaksud di tengah kemudahan akses tuntunan ibadah menurut Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang bisa diakses 24 jam?
Miris memang, semiris hati saat “dijewer” Kiai Muda itu.|
Rabu, 18 Syawal penuh berkah.
0 Comments
Posting Komentar